"Kala?"
Aku dan Mika kompak bersuara. Kala menatapku dengan ekspresi menyeramkan. Lirikannya seperti orang gila. Aku tidak tahan rasanya ingin kabur dari sini.
"Apa yang kamu mau?"
Mika bertanya. Suaranya lantang. Tidak ada perasaan takut, terlihat jelas di wajahnya.
"Mik! Sebaiknya kita pergi! Bukannya lo yang bilang, gue harus jauhin Kala?"
"Sebentar, Ar! Kala atau siapapun lo, mau apa lo sebenarnya?"
"Ar..."
Ucapnya. Suaranya mengerikan. Membuat bulu kudukku merinding.
"Aku mau Ar...Ar!!"
Ia berteriak ia mengarah padaku dengan gerakan cepat. Aku refleks berlari, Mika menggenggam erat tanganku.
"Jangan takut! Gue juga pernah di kondisi seperti ini. Kita berdoa Ar! Berdoa!"
Mika menyuruhku. Lebih tepatnya memerintah sambil berteriak. Mulut kami mulai mengucap. Ayat-ayat pendek yang kami hapal. Aku benar-benar berdoa pada Tuhan untuk segera di jauhkan oleh Kala. Aku menyesal telah mendekati Kala terus waktu itu. Tapi aku benar-benar tidak tau Kala adalah makhluk halus.
"Ar! Dia pasti pergi! Kuncinya lo jangan takut!"
Aku menoleh ke arah Mika yang kembali membacakan ayat-ayat pendek. Kala yang semakin mendekat kini tubuhnya sudah pergi entah kemana.
"Ada apa? Ar, Mik?"
Mama berlari ke arah kami berdua. Wajahnya panik dan melihat beherapa piring sudah pecah berantakan di lantai dapur. Bagaimana menjelaskan ini semua kepada Mama?
"Kami sedang latihan acting Tante, tugas sekolah."
Mika tersenyum. Ia menjawab pertanyaan Mamaku dengan sangat santai seolah beberapa detik yang lalu tidak pernah terjadi.
"Lalu kenapa piringnya pecah?"
"Si, Ar Tante. Dia bilang mengantuk, jadi piring yang dia bawa pecah semua."
Aku diam-diam melotot dengan alasan Mika. Kenapa aku sih?!
"Ar... pasti kamu begadang lagi ya, semalam? Makanya jangan begadang terus, ngantukkan jadinya? Lihat piring Mama jadi pecah!"
"Maaf, Ma."
"Yasudah, bereskan, Ar! Mika jangan bantu, Ar, biar dia bereskan sendiri kesalahannya."
Aku mengangguk lesu dan Mama kembali lagi ke kamar menemani Papa. Mika yang berada di sampingku tertawa puas.
"Gara-gara lo!"
"Terus gue harus bilang yang sebenarnya, hah?"
"Tapi lo gak usah libatin gue juga! Jadi gue yang kena marah."
Mika mengangkat bahu tidak peduli. Tubuhnya berbalik menuju ke ruang makan.
"Eh? Mau kemana lo? Bantuin gue beresin ini semua!"
"Lo tadi gak denger Mama lo bilang apa? 'Mika jangan bantu, Ar, biar dia bereskan sendiri kesalahannya.'"
Mika tertawa puas lalu meninggalkanku begitu saja. Aku mendengus sebal lalu mulai merapihkan semua pecahan piring ini.
***
"Woy, Ar! Kemarin gue liat lo jalan sama Mika. Ciee lo berdua jadian, ya?"
Boim heboh sendiri saat aku baru masuk ke kelas.
"Enggak! Masa gue sama si cewek perkasa itu!"
"Tapi cocok, Ar!"
Boim tertawa sambil merangkulku. Lalu segera kutepis. Tidak sengaja aku melihat Kala di tempat duduknya. Ia menunduk dan tiba-tiba menatapku tajam. Mulutnya berbicara pelan. Tidak bisa kudengar apa yang ia ucap. Tapi bisa kulihat dari gerakan mulutnya ia berbicara,
"Jangan menjauhiku!"
"Woy, Ar!"
"Hah?"
Aku menoleh kaget ke arah Boim yang menepuk pundakku, cukup kencang. "Kenapa?"
"Lo yang kenapa? Malah ngelamun pagi-pagi. Eh, itu Mika! Pujaan hati lo tuh!"
Boim pergi dariku sambil tersenyum jail. Kulihat Mika memasuki kelas seperti biasa jalannya tidak pernah anggun.
Ia berlalu dari hadapanku tanpa menyapa. Kulihat ia seperti melirik keberadaan Kala di bangku belakang. Aku segera duduk di bangkuku. Menaruh tasku dan mengeluarkan ponselku.
Satu pesan masuk kulihat Mika yang mengirim.
(Ar, sepertinya Kala menyukai lo)
Aku melirik Mika di sampingku sebelum membalas pesannya.
(Ada yang belum gue ceritain sama lo, Mik.)
(Apa?)
(Kala dulu memang pernah bilang, dia suka sama gue, dia pengen selalu di dekat gue)
(Jangan bilang lo juga menyukainya)
(I don't know. Walaupun gue harus akui waktu dia bilang kayak gitu gue senang. Tapi gue belum bisa bilang gue juga suka sama dia.)
(Bisa jadi, lo hanya senang karna memang ada yang menyukai lo di saat lo di jauhi semua orang)
(Ya... sepertinya begitu. Kenapa lo bilang kayak gini?)
(Saat gue baru datang ke kelas, Kala menatap gue sangat menyeramkan. Dulu dia gak pernah natap gue semenyeramkan itu. Kayaknya dia gak suka gue dekat sama lo.)