Part 4. Sekar Mingga
"Mimpilah yang tinggi nak, jadikan itu alasan setiap kali kamu merasa jatuh. Tulis besar-besar mimpimu di tempat-tempat kamu mudah melihat. Sebab alam bawah sadar dan semesta akan mendukungmu!"
***
'Memang susah jadi anak kuper dan nggak doyan nongkrong. Sok-sokan mau minggat lagi. Mau jadi gelandangan gitu?' sentak satu sisi hatiku. Berjalan gontai sejak mengambil surat pengumuman dari meja bapak meninggalkan halaman rumah. Kini melemah sudah langkah kakiku. Kebingungan arah.
"Iya emang aku kuper, emang napa? Masalah buat kamu? Orang yang ngejalani aku. Ya suka-suka aku dong mau ngapain aja. Aku juga yang nanggung resiko." Aku membela diri menghalau sentakkan sisi hatiku.
Kampung yang masih jauh-jauh selisih antar rumah membuat aku harus berjalan panjang tiap kali melewati kebun atau lahan kosong. Walaupun sudah hampir 20 tahun menghayati dan menikmati alam ini, tetap saja masih begidik ngeri tiap berjalan sendirian. Teringat cerita-cerita horor yang sudah viral diperbincangkan oleh semua kalangan.
Selisih antar rumah yang jauh ditambah jarak rumah dengan jalan umum yang kulalui juga jauh. Layaknya lapangan sepak bola yang begitu luas. Masih juga rimbun pepohonan tinggi dan tanaman-tanaman perkebunan menghiasi setiap pekarangan rumah warga.
15 menit lagi magrib. Aku harus lebih cepat supaya segera sampai di rumah Mbak Maya, kakak sepupu yang paling dekat denganku. Ibunya adalah kakak pertama bapakku.
Rumahku yang berada di ujung kampung, cukup strategis untuk dijadikan tempat nongkrong sebenarnya. Cocok sekali misalnya buka warung, tapi dari pengalaman tetangga sebelah rumah yang buka warung, duit tidak bisa muter cepet, sebab banyak warga yang ngambil dulu bayarnya kapan-kapan. Benar juga ya?
Aku jarang berjalan kaki menyusuri kampung, seingatku terakhir kali ketika masih SMP. Sering belajar kelompok dengan teman-teman yang masih sekampung. Ngaji di masjid yang terletak di tengah-tengah kampung. Cukup jauh cukup dekat dari rumahku.
Huft hah... Keringat segar bersatu dengan keringat sisa seharian yang memang belum kubersihkan. Kombinasi yang bikin pusing tiap aromanya terbawa angin petang ke lubang hidung. Asem.
"Mbak Sekaar.... Mau ke mana mau magrib gini jalan sendirian?" sapa Mbah Jumirah yang masih "anguk-anguk" di cakru depan rumahnya. Kheeer... Berdiri semua bulu kudukku.
"Assalamualaikum Mbah, nderek langkung." jawabku sekenanya. Blas tidak nyambung kan ya sama pertanyaan Mbah Jumirah? Tak apa yang penting aku sudah mengeluarkan suara dan membentuk bulan sabit di antara bibir.
Laju kaki semakin kupercepat. Rumah Mbak Maya sudah kelihatan, tinggal 2 rumah lagi aku akan sampai. Jantungku masih berdetak kencang sejak disapa Mbah Jumirah tadi. Huwow nanti sajalah ya aku ceritakan tentang Mbah Jumirah. Saat keadaan sudah kondusif.
"Sekar... Mau kemana mau magrib gini?" tanya Mbak Maya di depan pintu rumahnya. Sepertinya dia sedang menutup pintu dan jendela karena sudah petang. Kebiasaan orang-orang sini memang berbeda dengan orang kota, yang menutup pintu atau jendela ketika akan beranjak di peraduan.
"Assalamualaikum mbak, Sekar mau ke sini," jawabku memburu pintu.
"Waalaikumsalam. Nafasmu tersengal-sengal, kamu lari ke sini? Atau...? Kututup mulut Mbak Maya dan ku dorong masuk ke rumah.
"Mbak aku mandi dulu ya, gerah dan bau. Nanti aja lah aku cerita 'yang itu'.
***
Yang ini pun akan berlalu. Tak usah risaukan hari esok, fokuslah hari ini seakan tak ada lagi mentari. Selalu libatkan Tuhanmu woy!