#Sekartaji
#Sekar #Dulay #Panji
Part 5. Masih dalam Ingatan
"Tolong Pak. Sekar belum siap buat nikah muda. Sekar masih mau belajar dan nikmati masa muda. Sekar janji Pak nggak akan merepotkan bapak lagi. Setelah ini Sekar akan mandiri. Nggak minta jatah uang lagi sama Bapak dan Ibuk," mohonku pada bapak dengan berlinang air mata. Aku tidak pernah menyangka kalau bapak akan melakukan perjodohan juga kepadaku.
Hidup susah di kampung tidak cukup membuatku menyerah dengan keadaan. Patuh dan taat dengan perintah orang tua adalah kewajiban anak, dengan catatan perintah itu tidak melanggar perintah Gusti Allah. Sedikit prinsip yang selalu aku jaga.
"Sekar. Tolong Bapak, jaga nama baik Bapak. Ini pak sekertaris desa yang datang Sekar. Bagaimana bisa Bapak mengacuhkan dan menolak niat baiknya. Ayo Sekar, pulang!"
"Bagaimana bisa Bapak melakukan ini sama Sekar? Bapak bisa saja menyuruh Sekar melakukan apapun tapi tidak dengan hal ini Pak. Sekar tidak bisa."
"Pulang Sekar! teriak Bapak menggema di rumah Mbak Maya.
***
"Assalamualaikum," salam Bapak begitu sampai di rumah.
Pintu terbuka lebar. Halaman rumah penuh dengan kendaraan, baik kendaraan roda dua atau roda empat. Kursi plastik yang biasa diletakkan di teras, malam ini terpakai semua.
Ini beneran? Tadi sore tidak ada apa-apa di rumah. Ibu istirahat seperti biasa, sepulang dari pasar. Bapak juga bersantai di teras minum kopi sambil mendengarkan siaran radio dari ponsel jadul. Laksmi, adikku sedang ke masjid ngaji sama pak kyai.
Dadakan? Ehm jadi memang tidak bapak rencanakan. Jadi ini inisiatif Pak Sekdes Slamet murni? Tunggu, siapa yang dia lamarkan untuk meminangku? Bukankah anak laki-lakinya ada 3 dan hampir sepantaran dan belum menikah semua?
Masih mengenakan seragam sekolah aku menyalami semua tamu wanita. Kutangkupkan kedua tangan di depan dada sambil tersenyum ketika beradu pandang dengan tamu lelaki. Penuh. Aku perkirakan ada 20 orang lebih orang dewasa ditambah beberapa anak-anak dan balita. Astaga. Ini serius.
Suara berisik khas segerombolan nyamuk terdengar menyengat di telinga. Kulihat kiri kanan tak kutemukan ibu. Di mana ibu? Hanya ada bapak dan aku. Jadi selama ditinggal bapak menjemputku tadi, tak ada orang di rumah ini? Ajaib sekali bapakku.
Kusenggol lengan kiri bapak, aku kode menanyakan keberadaan ibu dan Laksmi. Hanya desisan yang bapak isyaratkan. Baiklah aku akan ikuti rencana bapak.