Part 7. Gagal
"Nggak boleh Pak. Nggak boleh. Mas Panji hanya milik Dayu. Dayu nggak rela Mas Panji mengemis cinta begini sama perempuan kampung kaya dia." teriaknya. Jari tangan kanan menunjuk ke arahku ketika berkata dia.
Siapa gadis ini? Apa urusannya sama aku? Kenal juga enggak. Cantik sih parasnya, hanya sayang sikapnya tak serupawan wajahnya.
"Mas Panji tolong hentikan semua ini. Aku tak akan membiarkan Mas Panji menikah sama perempuan itu. Aku tidak rela. Lebih baik aku mati sekarang daripada menyaksikan kalian berbahagia."
Semua mata memandang ke arah sumber suara. Perempuan itu datang bersama seorang lelaki paruh baya. Di bahu jalan utama tampak mobil mewah terparkir, mesin belum dimatikan.
Gadis ini? Berkelebat seperti pernah bertemu dengannya. Aah... Benar. Bukankah Tiwi? Anak perempuan kepala sekolah saat SMP dulu? Makin cantik. Dayu Pratiwi?
"Mas Panji apa lagi yang harus Dayu lakukan biar Mas Panji mau sama Dayu?" histeris suara Dayu menjerit.
Aku dan bapak diam melihat keadaan. Pak Juned dan rombongan semua hadirin berebut keluar dari rumah. Ingin menyaksikan lebih dekat dengan sumber suara.
"Dayu, apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah kamu sedang di luar kota?"
"Ikut aku mas." Tangan kanan Dayu menarik lengan kiri Panji. Mereka menuju mobil yang masih dihidupkan mesinnya, parkir di luar pekarangan.
***
"Maafkan keributan ini Pak Rusman. Kami sekeluarga mohon undur diri. Terima kasih telah menerima dan menyambut kedatangan kami." kata Pak Juned masih mewakili keluarga Panji.
Aku jadi bingung, sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Aah... Biarlah, toh aku juga tidak mengiyakan. Seandainya ini hanya permainan Panji dan keluarga, mereka juga yang akan kena getahnya.
Rumah kembali sepi selepas rombongan keluarga bapak sekertaris desa Slamet pulang. Hanya ada aku dan bapak, sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam di tempat yang sama sejak acara tadi.
Aku enggan mengeluarkan suara, padahal berjuta tanya menguar di kepala. Aku lelah. Tak kuhiraukan rasa penasaran dan gamang ini. Berdiri dari kursi plastik warna hijau, tanpa kata berjalan ke kamar meninggalkan bapak yang tak bergerak.
"Maafkan Bapak Sekar. Tak usah kau pikirkan apa-apa. Fokuslah dengan apa yang ingin kau lakukan. Bapak akan mendukung dan membantu semampu Bapak." lirih Bapak bersuara.
Aku yang baru berjalan tiga langkah berhenti tertahan. Lirih gumaman bapak aku dengarkan. Aku merasakan sayatan kecil dari getar yang terasa menyakitkan