Sekat

Imelvay
Chapter #2

#1

Awan hanya punya dua. Putih dan abu-abu. Sementara pelangi punya tujuh. Mejikuhibiniu.

###

Mata Zifa terbeliak dengan jantung berdesir. Mimpinya sangat buruk. Firasatnya pun demikian. Bulu kuduknya seketika meremang. Jangan-jangan Zifa mau dibunuh seseorang!? Kan Virgo sering bilang, kalau nyawa itu bisa diambil kapan pun Tuhan mau. Bagaimana kalau Zifa bakal menemui ajalnya hari ini!?

Ya ampun, Zifa melantur kejauhan.

Eh, tapi kalau teringat Virgo, kok Zifa seperti teringat sesuatu juga ya? Seperti ada sebuah hal dalam kepalanya yang mengiang-ngiang, namun tak tercerna oleh pikirannya sendiri.

Apaan, ya?

Dia lalu menoleh ke arah jam dinding. Kembali matanya membulat kaget. Dia pasti akan dimarahi Virgo!

●●●

Tergopoh-gopoh Zifa menuntun sepedanya keluar. Dia sesekali berdesis, merutuki tas yang pundi-pundinya melorot atau ban sepeda yang terjepit di antara gerbang.

Terdengar decakan dari belakangnya. Dia meringis jengah kemudian menoleh ke sumber suara. Mendapati cowok berkacamata duduk di atas sadel sepeda lipat, yang sepertinya masih baru. Mukanya kelihatan gusar. Mata di balik kacamata itu seolah ogah-ogahan menatap ke arahnya.

"Fa, kalau lagi males, tolong i-nget kata-kataku waktu itu, ya," suruhnya datar setengah menyindir. Lalu membuang muka karena muak.

Zifa ingat sekali bagaimana dia sering gelisah tiap malam hari waktu itu. Waktu di mana Virgo akan meninggalkannya jauh. Berdoa pada Tuhan sepanjang bulan menyinari bumi hanya agar sahabatnya tidak jadi mengambil undangan beasiswanya ke Jepang lebih awal. Namun begitu harapan itu terwujud, Zifa malah menjadi pribadi yang tidak bersyukur seperti ini. Ckckck .... Padahal demi dirinya, Virgo sudah sangat ikhlas menahan keinginannya untuk kuliah, kemarin.

"Iya, iya. Janji deh nggak bakal ngulang," katanya dengan nada sesal. "Lo tahu enggak? Gue tuh tadi habis mimpi buruk tau! Masa gue mimpi lo mau bun-"

"Hush! Mimpi buruk itu enggak bagus diomongin. Ayo berangkat!"

Zifa mengerucutkan bibir begitu cowok itu meninggalkannya lebih dulu. Padahal biasanya dia selalu mengiringi dari belakang untuk menjaganya, terutama saat melewati jalan raya.

Atau jangan-jangan, habis dari Jogja, pribadi Virgo yang dulu kembali ke tempatnya semula?

Virgo itu tipe orang disiplin dan selalu memanfaatkan waktu dengan hal-hal berguna-bagi dirinya sendiri. Kadang sampai egoismenya membengkak. Sangat berbeda dengan kepribadian Zifa yang ekstrovet dan lebih suka kumpul-kumpul dengan temannya menghabiskan waktu bersama.

Bahkan pernah suatu kali ketika hendak berangkat sekolah, Virgo menggertak seperti ini kepadanya, "Ngomong aja terus! Waktu yang kamu buat ngomong itu bisa bikin aku sampai di kelas sampai baca novel Harry Potter seri satu sampai tujuh, tahu!"

Tempe.

Huh, menyebalkan sekali bukan? Ngomong sering pendek, tapi begitu panjang nyelekitnya minta ampun. Virgo pikir celotehan Zifa itu sepanjang sungai Nil dilipatgandakan apa? Zifa kan cuma pengin curhat.

Yah, walau sifat dingin Virgo tak pernah berubah, setidaknya dia senang bila menyadari bahwa dia berada di posisi yang membuat orang lain iri. Bahwa hanya kepadanya Virgo membuka diri, meruntuhkan dinding tebal dan dingin yang dulu sangat tinggi. Sampai Zifa berpikir seolah tak akan pernah bisa masuk ke dalamnya. Menggapainya seperti saat ini.

●●●

Cowok itu menuntaskan pukulan terakhirnya pada salah satu lawan yang kini telah ikut terkapar bersama temannya di tanah. Lalu menegakkan tubuh seraya mengelap darah yang menetes di sudut bibirnya itu dengan senyum remeh. Matanya turun melirik arloji di pergelangan tangannya. Dia sudah terlambat hampir satu jam ke sekolah.

"Dasar adek kelas goblok! Mau aja kalian jadi antek-anteknya Rahman! Rugi, kan?" oloknya.

Dia mengambil tas merahnya, menyelempangkannya pada setang motor.

"Bilang ke dia, entar malem jangan sampai telat!" ancamnya sebelum kepalanya tertutup helm. Dan Trillnya pun melaju cepat meninggalkan dua orang dengan rupa tak berbentuk itu.

●●●

"Terima kasih, Kak!"

"Kak, saya, Kak!"

"Saya, Kak!"

Cewek berkerudung itu kemudian berbalik meninggalkan si artis dadakan sekolah. Berjalan menerobos kerumunan anak berseragam sama yang mulai kembali berebut giliran. Seraya memeriksa daftar kakak pengampu yang harus dia mintai tanda tangan, diketuk-ketukkannya ujung pulpen itu pada dagu.

"Kurang siapa?" Seseorang sudah berdiri di depannya.

"Kurang ... kak Virgo!"

Cewek kuncir kuda itu mengernyit tertimpa cahaya matahari yang semakin tinggi sambil mengembangkan senyum. "Kita samaan, dong, Nis! Nyari bareng, yuk!"

"Kalo kata kakak kelas yang gue tanya sih, orangnya pake kacamata. Cuma itu clue-nya. Di sini kan, anak pake kacamata bejibun, Ra," terangnya putus asa.

"Kita coba carilah .... Yuk!" Rara menarik lengan temannya itu. Menuntunnya kembali pada tepi kerumunan.

"Eh, kacamata! Mungkin dia orangnya?" pekiknya tertahan.

Lihat selengkapnya