Sekat

Imelvay
Chapter #5

#4

Hati tak pernah memilih kepada siapa dia akan jatuh cinta, bahkan walaupun itu adalah orang yang pernah dia benci sekali pun.

###

"Thanks, We," ujarnya letoi.

"Oke," jawab Roni—yang sering Oka panggil dengan sebutan Sikat WC karena rambutnya mekar seperti pembersih kloset tersebut. Kemudian menoleh ke arah Oka. "Eh, udahlah, Ok. Nggak pa-pa, nggak usah jadiin masalah lagi. Lagian masih banyak tempat futsal yang enak, kok! Ya? Kalo gitu gue pulang ya, Ok!" hiburnya melihat kekecewaan yang tergambar di wajah itu. Oka cuma tersenyum simpul. Setelah itu Roni berlalu dari hadapan Oka bersama motornya.

Setelah mencopot helm, Oka merenung geram seraya menyisir asal rambutnya dengan jemari. Dia bersandar sejenak pada gerbang. Bisa-bisanya ban Trillnya tiba-tiba bocor di tengah jalan. Jadinya dia kalah dalam pertaruhan. Sempat ada kericuhan di antara anak-anak buahnya dan Rahman karena mereka langsung membuka mulut saling mengolok atas masalah yang terjadi padanya. Ada pula kasak-kusuk yang mengatakan kalau Rahman curang. Tapi sudahlah, tidak penting dipikirkan terlalu keras. Toh taruhannya hanya tentang tempat futsal. Benar kata Roni, di Jakarta masih banyak stok, kali.

Oka pun membuka gerbang dan langsung masuk rumah pelan-pelan dengan kunci cadangan. Ketika hampir sampai di kamar, ruang sebelah terbuka sedikit dengan cahaya yang masih benderang, tanda si ratu penghuni belum tidur cantik. Oka melangkah dengan sangat pelan ke arahnya. Diintipnya si penghuni kamar dari celah pintu. Niatnya untuk mengagetkan melebur begitu Oka menangkap basah adiknya yang duduk bersila di atas ranjang tengah mengusap air mata dengan hidung tersusut-susut. Oka memutar bola mata. "Malem-malem baper!" gumamnya. Tanpa permisi, Oka menerobos masuk dan berebah di samping adiknya.

"Song Joong Ki nggak bakal peduli mau lo nangis sampe guling-guling di lumpur kek babi sekalipun. Mau, diejekin temen pas sekolah karna mata lo bengkak kayak ikan koki?"

"Siapa juga yang lagi nonton drakor? Michelle itu lagi bikin review cerpen dari blog buat tugas bahasa besok. Tapi ternyata cerpen yang Michelle temuin cerpen sedih."

"Jadi lo nangis kejer gini cuma gara-gara cerpen? Penulisnya yang hebat, apa lo nya aja yang baper tingkat dewa?"

"Tokoh utamanya mati, Kak Baaaam."

"Lo nya yang baper! Itu tuh cuma cerpen! Fiksi! Imajinasi! Udah gih, tidur! Sampe besok lo telat bangun, nggak bakal gue anter!" Oka angkat kaki dari kamar Michelle dengan langkah berat disertai mata yang mengantuk hebat. Sedangkan Michelle mengerucutkan mulut kesal dan menutup laptopnya.

"Dari mana aja kamu, Bam?"

Oka terperanjat saat baru mengatupkan daun pintu kamarnya. Rasa kantuknya mendadak lenyap. Tanpa rasa segan atau takut, dia berbalik pada pemilik suara itu, lalu menyahut, "Tentu Mama tahu," suaranya terdengar ogah-ogahan. Matanya tak menatap orang yang diajak bicara, melainkan jam dinding di belakang mamanya.

"Balapan lagi? Mama itu ngebesarin kamu buat jadi anak baik-baik, Bam." Raut wajah Elis menyiratkan perhatian yang begitu besar.

"Kalau aja Mama mau ngasih tahu siapa Papa Bam yang sebenernya, mungkin Bam udah berhenti, Ma. Mama, kan, tahu Om Tama-"

"Papa!" Elis menekankan.

"Papa Tama kerja di luar kota dan jarang pulang ke rumah. Terus Bam disuruh main sama siapa? Ikut arisannya Mama? Nobar drakor sama Michelle? Atau main boneka sama Velin?" Oka mulai kesal dengan perdebatan ini.

"Tadi ada Genta. Kamunya malah pergi." Elis masih kukuh menahan amarahnya.

"Kak Genta itu cacat, Ma. Mana bisa Bam ajak dia main bola!?"

"Bam, Genta itu kakak kamu! Kamu nggak boleh ngomong gitu!"

"Dia itu cuma kakak tiri Bam! Nggak lebih. Lagian emang gitu kan, faktanya!?"

"Dia emang kakak tiri kamu. Tapi seenggaknya kamu harus hormati Genta!"

Oka mendengus kesal. Jika dia tak segera mengalah, maka pasti perdebatan ini tak akan berakhir sampai matahari terbit pagi nanti. "Bam capek, Ma. Bam mau tidur." Akhirnya Oka menyerah dan memilih untuk masuk ke kamarnya.

Hati Elis berat untuk memberi tahu sebuah hal tentang ayah kandung Oka yang sebenarnya. Tapi kali ini Elis akan mengatakannya, tak peduli bagaimana perasaan Oka nantinya.

"Soal papa kamu ...."

Oka yang baru berjalan satu langkah langsung diam di tempat, memasang telinga untuk mendengarkan mamanya memberitahukan hal yang sesungguhnya. Jantung Oka berdetak kencang. Ayo ... jawaban yang dia nantikan selama ini sudah tiba di depan mata!

"Papa kamu udah meninggal waktu kamu masih bayi, Bam. Mama harap kamu mengerti."

Oka seolah baru ditampar. Napasnya tertahan beberapa saat dan jantungnya yang tadi berdetak kencang seakan berhenti seketika. Matanya enggan berkedip. Hanya itukah jawaban yang sebenarnya? Setelah bertahun-tahun mamanya terus mengelak dari pertanyaannya, hanya itu jawaban yang diberikan? Sesederhana itu? Lantas untuk apa selama ini mamanya menyembunyikan jawaban itu dan malah selalu mengalihkan pembicaraan?

Dada Oka terasa sesak. Oka ingin sekali mengerang tak terima. Dia tak terima dengan jawaban itu. Dia ingin mamanya menarik jawaban itu. Dia tak mau mendengarnya. Tapi kemudian, dengan satu tarikan napas berat, Oka menenangkan diri. Melanjutkan langkahnya lagi dengan hati yang masih teremas-remas.

Meninggalkan Elis di luar, yang tanpa Oka ketahui, tengah mati-matian menahan tangisnya supaya tak menimbulkan suara.

Langsung dihempaskannya tubuh nan lelah itu di atas ranjang. Oka memejamkan mata, lalu mengusap-usap wajahnya frustrasi. Hari ini benar-benar sangat melelahkan. Juga menjengkelkan. Pusing, marah, bingung, dongkol, sebal .... Ah, rasanya Oka ingin mengamuk sambil mengumpat keras-keras. Guling kanan, guling kiri, kanan, kiri lagi.

"Agh! Sial!" umpatnya pelan dengan tangan memukul ranjang. Dia merasa betapa tega Tuhan tak mengizinkannya untuk terlelap agar semua yang terjadi hari ini terlupa oleh ingatannya. Sekali lagi Oka memejamkan mata kuat-kuat. Tapi yang terbayang dalam pejaman matanya justru cewek sinting yang ada di Koubutsu Cafe siang tadi.

Oka berpikir sebentar. Otaknya berputar mengaitkan sebuah hal pelik yang dia dapat hari ini. Cewek itu maupun Rahman, sama-sama memberikan pernyataan tentang dirinya yang memakai kacamata. Tentu ada yang salah di sana. Selain tidak punya mata minus, Oka bahkan tak pernah suka bergaya menggunakan kacamata hitam yang menurut anak-anak lain membuat penampilan lebih keren dan gaul.

Sudah jelas. Itu sangat keliru. Memangnya kapan Rahman bertemu dengannya hari ini selain di arena balap liar tadi?

Cowok itu bangun. Ada yang tidak beres ...

●●●

Jalan menuju gerbang SMANSA macet total. Rapat disesaki anak-anak bermotor yang hendak masuk dari segala penjuru. Terlihat beberapa anak berompi hijau lemon turun tangan menyeberangkan anak-anak yang baru turun dari kendaraan umum sambil mengatur jalannya motor- motor tersebut.

Annisa terbatuk ketika mobil pick up di sebelahnya mengeluarkan asap hitam. Rahman yang biasanya bisa menerobos jalan bahkan sampai kebingungan dengan kemacetan itu. Salah sendiri sih, bangun kesiangan.

"Nis, si Oka aneh, deh. Kemarin dia pulang sekolah pakai sepeda onthel sama kacamata, lhoh."

Lihat selengkapnya