Bukan tidak mungkin seseorang yang kita sukai ternyata juga menaruh hati pada kita. Kita hanya harus lebih peka.
###
Air berkecipak ketika Virgo berlari dengan langkah panjang menyebrangi jalan raya. Kendaraan tak lagi berlalu lalang. Mungkin orang-orang malas keluar disaat hujan deras seperti ini.
Segera setelah Virgo sampai di sebuah halte, dikeluarkannya laptop dan beberapa buku. Takut ikut basah bersama tas punggung karena lupa membawa payung. Untunglah bagian dalam tasnya tidak basah, jadi dia tidak perlu menenteng laptop dan buku-buku tebalnya sampai sebuah bus menghampirinya.
Matanya memandang jauh menembus tetes hujan. Lama-lama kacamatanya mengembun dijatuhi titik-titik tempias.
"Permisi, Kak."
Virgo terperanjat ketika matanya menangkap bayangan kabur seorang cewek berkerudung yang tengah meletakkan payung di sampingnya. Kacamata yang baru dilap dia pakai. Meski tak sefokus menggunakan kacamatanya yang kemarin rusak, namun setidaknya sedikit membantu penglihatannya. Cewek itu familiar di mata Virgo. Cewek yang memanggilnya dengan nama Oka.
"Kak Virgo baru dari rumah pak Kirman, ya?" Pak Kirman adalah guru kimia kelas tiga, yang rumahnya berada dekat dengan komplek rumah Annisa.
"Iya," jawabnya singkat sambil tersenyum cukup lebar. Ya, lebih baik dari pada sekadar mengangguk dan berdeham seperti kebiasaannya sehari-hari.
Nisa terperangah. Lebih lagi disaat memar itu tampak tersembul jelas di pipi Virgo. Senyum aja sama! Apa jangan-jangan dia punya saudara kembar?
Virgo bimbang apakah dia harus menanyakan soal siapakah itu Oka atau tidak pada adik kelasnya tersebut. Seandainya tidak, apa dia akan pulang membawa sesal? Kemungkinan besar; iya.
Kekakuan mengepul bercampur dengan kesenyapan di antara mereka. Diam-diam, mereka sebenarnya ingin berusaha mematahkannya. Namun rasa segan satu sama lain yang mendominasi membuat usaha itu telantar sebagai rencana semata.
Hujan semakin deras seiring dua orang itu mematung. Keduanya pun kesal dan ingin memberontak.
"Kamu—"
"Kakak—"
Mereka tertawa kecil.
"Juga nunggu bus?"
Nisa tertegun. Ah, gara-gara saking canggungnya dia jadi lupa kalau harus cepat-cepat pulang. Padahal rumahnya dekat sekali dari halte.
"Em, hehe," tawanya jengah. "Sebenarnya rumah saya dekat, Kak."
"Dekat? Kenapa masih di sini?"
Hati Nisa semakin mencair dibuatnya. Ternyata kakak kelasnya yang terkenal dingin itu bisa lembut juga cara bicaranya.
"Nunggu ...," matanya menyapu rintik hujan itu. "Hujan reda!"
Virgo manggut-manggut saat Nisa membuang muka. Menyeringai atas keplin-planan dirinya hanya karena cowok yang mirip Oka itu.
"Oh iya. Saya jadi penasaran. Waktu itu, kenapa kamu panggil saya Oka?" tanya Virgo pelan penuh selidik.
Wajah Nisa langsung menegang. Pertanyaan itu mengunci dirinya. Melilit tenggorokan membuatnya lupa bagaimana cara bernapas dengan benar.
●●●
Suasana santai dipadu buaian lagu True Colours di dalam toko buku kini lebih diramaikan oleh derai hujan di luar. Rendra masih berkutat pada dua novel di tangan, menimbang-nimbang apakah dia akan membelinya atau tidak.
"Pulang kalo ujannya udah reda aja ya, Gas?"
Bagas yang sedang menatapi layar ponselnya cuma berdeham. Ketika pandangannya tak sengaja jatuh pada sesuatu, jantungnya berdebar-debar. Segera dia langkahkan kaki ke sana.
"Ck. Gas, menurut lo tulisan Judy Blume sama Ann Martin bagusan mana?"
"...." Tak ada jawaban.
"Gas?" Ternyata Bagas sudah tidak berdiri di belakangnya. Rendra menoleh ke sana kemari mencari sahabatnya. Sampai akhirnya dia pun mendapati berpasang-pasang mata pengunjung tengah menatap satu titik yang sama. Di mana dia menemukan Bagas. Sahabatnya itu seperti tengah bertengkar dengan seseorang. Ketika Rendra bergeser ke sebelah rak untuk melihat lebih jelas, perutnya mencelus.
Dia melihat Bagas tengah berusaha meminta maaf pada seseorang yang duduk di kursi roda itu. Seseorang yang tak asing bagi dirinya sendiri. Seseorang yang dulu selalu bersamanya dan Bagas. Genta, sahabat dekatnya. Dulu, jauh sebelum insiden yang membentuk selat luas di antara Genta dan Bagas terjadi.