Sekat

Imelvay
Chapter #9

#8

Awan selalu berarak, kemana angin menuju.

###

Satu tangan Oka mengepal menyangga kepala. Sementara yang satunya lagi berulang mengetuk meja. Mulai bosan. Dia sudah habis semangkuk ramen dan seteko kecil ocha. Tapi ya salah sendiri sih, bolos di jam terakhir dan langsung ke tempat yang dijanjikan seseorang yang kemarin menelepon. Orangnya saja ngajak ketemuan pukul setengah empat juga.

Saat ini dia sedang tidak nafsu sekali membaca komik yang disediakan dalam kafe. Pengennya segera bejek-bejek orang yang ngajak ketemuan. Soalnya ini jam berapa? Sekarang pukul empat tepat!

"Maaf, telat!" Orang di telepon kemarin sore itu kini sudah ada di depan Oka.

Tatapan mereka yang sama-sama melebar bertemu dan terkunci. Sama-sama terkejut. Ketercengangan yang begitu menggetar memberi sensasi menggelitik dalam hati mereka masing-masing. Mereka jadi ingin tertawa menyangkal apa yang mereka lihat. Tapi tawa itu tak terealisasikan menyadari bahwa ini adalah kenyataan. Kenyataan yang sangat-sangat aneh, ajaib, dan lucu. Siapa yang akan mengira sepasang anak kembar bertemu dalam keadaan tak saling mengenal?

"Jangan-jangan lo ngefans ya sama gue, sampai-sampai lo rela oplas biar muka lo sama kayak gue?!!" sembur Oka sekenanya.

"Ck." Dengan wajah datar dan seriusnya, Virgo membuang muka dan menggeleng-geleng. Tanpa kacamata seperti sekarang pun dia bisa lihat kalau wajah Oka itu mirip sekali dengannya. Tapi kekecewaan Virgo setelah mengetahui bahwa dia punya kembaran segila Oka tak ada apa-apanya dibanding rasa senangnya, kendati hanya dengan tahu dia memang punya kembaran. Kejutan dari Tuhan yang satu ini memang sangatlah istimewa bagi Virgo. Terlalu sulit untuk dipercaya.

Oka mencibir. "Lo dingin banget, sih? Kelahiran mana lo? Kutub Utara?" Dagunya naik. Mulai songong.

"Mana kacamata lo? Entar lo kena damprat lagi, sama tuh merica gila!" omelnya pedas.

Mendengar Oka menyebut merica tak urung membuat Virgo menoleh. "Zifa?" nadanya sih nanya, mukanya? Datar kayak papan karambol.

"Oooh ... tuh cewek namanya Zifa? Jadi lo yang nelpon gue kemarin? Lo Virgo-Virgo itu, kan?" Oka tersenyum mendengus, lagi-lagi dengan ekspresi meremehkan. Bukannya Oka tidak terkejut dengan keberadaan Virgo, sehingga dia berbuat seenaknya. Tapi, seperti biasa, rasa gengsi Oka yang melebihi batas membuatnya sulit untuk mengakui kembarannya itu. Apalagi mengumbar rasa terkejutnya dengan lenguhan beserta ekspresi norak, "Ya ampun, kok bisa? Kok bisa, ya, kita kembar?" Percayalah, Oka bukanlah orang yang sedramatis itu.

Sekarang Virgo tau kenapa waktu itu Zifa marah. Sahabat-eh, pacarnya sudah salah sangka soal insiden dalam KC. Dan dia marah pada Oka, bukan dirinya. "Nama kamu Oka, kan?"

"Udah tau nanya! Lagian, lo tuh nggak asik banget sih jadi orang? Irit banget coba, ngomongnya? Buat apa diirit-irit? Ditabung? Ati-ati, entar keluar lewat bawah lagi, hehe." Sepertinya Oka benar-benar mau mengejek Virgo habis-habisan.

Sedikit demi sedikit rasa dongkol mulai merambat dalam benak Virgo. Dia menghela napas, kemudian mengembuskan kemarahannya, menggantinya dengan rasa cuek, sabar, dan tenang. Tapi yang tergambar pada wajahnya justru raut sadis. Tatapannya intens dan sinis. Membuat Oka sok bergidik ngeri.

"Muka lo nyantai aja, kek? Kayak psikopat aja. Gua nggak rela ya, jadi korban pedofilia?" Oka meringis remeh. Giginya pun sama seperti Virgo, gigi kelinci. Yah, secara keseluruhan mereka memang identik. Bahkan gaya rambut pun sebenarnya hampir sama, hanya saja punya Virgo lebih cepak. Juga penampilan yang membedakan keduanya.

●●●

"Jadi, lo baru dua tahun, hidup di Jakarta?" Oka bersuara di kejauhan sana, disusul debukan bola basket yang dipantulkannya berkali-kali.

Gara-gara kerewelan Oka yang membuat gaduh suasana KC tanpa tahu malu, mereka berdua kini sudah berpindah ke sebuah lapangan basket terbuka. Virgo kan juga tidak mau menahan malu dipelototi pengunjung terus-menerus.

Dia duduk membungkuk di kursi semen yang melekat di tepi lapangan. Novel tebal terbuka di pangkuannya. Waktu membaca Virgo selalu terusik oleh Oka yang terus menginterogasinya. Seraya memantul-mantulkan bola basket yang ditemukan di dekat ring, Oka memberondong kembarannya itu dengan sederet pertanyaan.

"Iya."

"Berarti waktu itu yang Rahman keroyok elu, ya? Huh, kasian banget," dengusnya mengejek.

Namun Virgo selalu merespon dengan jawaban singkat, padat, dan terlalu serius. Malahan terkesan dingin dan apatis seolah tak memedulikan keberadaan Oka sama sekali. Sebenarnya Virgo begitu karena dia keki sendiri dengan pertanyaan Oka yang terlalu menyebalkan.

Lihat selengkapnya