Sekat

Imelvay
Chapter #14

#13

Terkadang mengalah adalah sebuah final yang akan memperbaiki keadaan. Tapi dalam situasi genting apapun, janganlah pernah mengalah pada emosi.

###

Bukan hanya bagi Zifa dan Oka. Bagi teman sekelasnya pun, Virgo sudah menjadi guru kedua. Kelas yang harusnya sudah sepi sejak setengah jam lalu-karena kelas 3 sudah tidak lagi menjadi pengurus di ekstrakurikuler, kini justru berubah menjadi tempat bimbel dadakan. Ketua kelas bahkan sudah membuat jadwal belajar tiap pulang sekolah. Demi mendapat hasil bagus untuk berbagai ujian yang sebentar lagi menghadang, semua anak di kelas XII-IPA-1 itu sudah belajar rutin sejak dini.

"Jelas? Ada pertanyaan?" Virgo mengacungkan spidol yang telah dia tutup ke arah whiteboard yang penuh pembahasan rumus.

"Sip, Bren, udah pada mudeng semuanya."

Semua anak langsung mengangguk setuju dengan perkataan Wira, si ketua kelas yang selalu duduk di bangku guru. Cowok mantan kapten futsal itu bertugas mengamati ekspresi teman-temannya. Apakah sudah paham atau masih dalam mode bingung. Virgo sendiri, yang selalu punya cara untuk membuat semua tampak mudah, tak pernah sekali pun membuat teman-temannya pusing memikirkan cara mengerjakan soal.

Mendapati Zifa tengah terang-terangan mengintip lewat jendela sampai hidungnya tampak gepeng menempel di kaca membuat Wira terkekeh.

"Tuh, Bren. Udah ditunggu kesayangannya. Sana gih, kalau mau kencan."

Cowok itu hanya melayangkan pandangan datar dari kacamata half frame-nya ke luar kelas. Disusul siulan-siulan jahil teman-temannya.

Sebenarnya, tidak ada yang tahu kalau Virgo dan Zifa pacaran. Di mata anak-anak lain, mereka hanya tampak sebagai sepasang sahabat. Yang tak lebih dari sekadar dekat dan secara ajaib, atau lebih tepatnya kebetulan, akrab. Karena bagi mereka, tak mungkin si dingin Virgo mau bersahabat dengan si cerewet Zifa selama hampir tiga tahun ini. Meski demikian, tak jarang mereka berdua dijadikan bahan godaan. Dikira pacaran pun sering, tapi lebih banyak yang menolak pernyataan tersebut dengan dalih kalau itu mustahil.

Lagi pula, dari segala tindak-tanduk dan cara mereka berhubungan, mereka memang lebih pantas disebut sebagai sepasang sahabat. Karena itulah tak ada yang pernah menyadari, bahwa sebetulnya Virgo diam-diam menjalin hubungan spesial dengan Zifa. Yang barang tentu, bila cewek-cewek di sekolah tahu, akan patah hati satu per satu.

Tanpa bersusah payah meladeni godaan murid-muridnya, dengan santai Virgo melangkah menuju bangkunya di sebelah Difta. Yang ternyata juga tengah mengerling jahil seolah minta pajak jadian. Virgo sedikit bergidik risih. Mata Difta justru dialihbahasakannya sebagai tanda sedang kasmaran dibanding menggoda.

Akhir-akhir ini Difta memang sedang berubah menjadi sedikit manis. Katanya lagi punya gebetan. Namanya Arinda, anak kelas satu, yang entah seperti apa rupanya. Yang dapat Virgo duga, cewek itu pasti punya lesung pipi, karena begitulah cewek yang selalu Difta idamkan.

Dia pun merapikan seluruh bawaannya ke dalam tas. Siap-siap menuju tempat mengajar lain.

Saung taman kota tempatnya biasa mengajari belajar Zifa dan Oka. Sejak Zifa mengenal Oka, Virgo jadi tak perlu pusing-pusing menentukan jadwal belajar mereka dan membuat ribuan alasan untuk Zifa agar percaya kalau dia sedang punya kepentingan olimpiade. Cukup dalam satu waktu dan tempat, Zifa dan Oka bisa mendapat hak yang sama.

"Hati-hati, Bren!" Serentak satu kelas mengatakannya dengan nada menggoda. Namun masih hanya membuat Virgo bersikap lempeng.

"Ati-ati bawa cewek, Bren. Jangan ngajakin ke tempat sepi, apalagi yang mojok-mojok. Gue masih pengen lo jadi guru les gue."

Barulah Virgo menoleh ke arah Galih yang tengah mencatat materi sambil menahan tawa. Dengan ekspresi yang begitu datar namun diam-diam menyiratkan pertanyaan retoris, "Kamu pikir aku kelihatan pengen begitu?"

Zifa menghadangnya ketika keluar dari kelas sambil tersenyum lebar. Rok baru Zifa yang sekarang rimpel dengan balutan sweter warna putih gading dengan motif garis-garis berwarna coklat dan merah membuatnya kelihatan berbeda. Ditambah rambut terkuncir dua. Gayanya macam anak kecil, memegangi cangklongan tas dengan senyum yang membuat Virgo hampir kehabisan napas.

Manis.

"Gue kok enggak sabar ya, ketemu lo? Hehehe." Perkataan itu sontak membuat Virgo berhenti menahan kedipan. Cowok itu mengerjap-ngerjap.

"Ciye, Bren, ciye!"

"Ketahuan nih, sekarang!"

"Pacaran kok di depan kelas. Jangan kelihatan kayak nggak punya modal gitu dong, Bren!"

Anak-anak kelas yang mengintip di jendela sambil meledek sontak tertawa melihat ekspresi Virgo yang seolah kebakaran jenggot.

Merasa tertangkap basah, Virgo langsung berjalan cepat, menjauh dari kelas, meninggalkan Zifa.

Sebenarnya Zifa punya cara membalas kejahilan teman sekelas Virgo. Tapi melihat Virgo yang tidak tahan lagi dan akhirnya pergi, dia segera menyusulnya.

Namun, tak lama setelah itu, pintu kelas tiba-tiba tertutup dari luar. Wira segera mendorongnya untuk memastikan tidak ada kejadian yang akan membuat teman sekelasnya panik, namun seolah ada yang menahannya. Dan tak lama kemudian terdengar bunyi palang pintu yang dipasang segembok-gemboknya. Wira langsung melotot ke arah teman-temannya yang sedang menatapnya kebingungan.

"Woy, Bren, Peh! Kurang ajar ya lo pade!" Difta berteriak dengan kepala keluar lewat jendela. Semua anak beramai-ramai merapatkan turut diri ke sana.

Virgo dan Zifa tampak sedang beradu tos di depan pintu. Lantas tersenyum menang ke arah wajah-wajah malang yang tengah berbaris mengintip di jendela kelas. Sementara yang lain yang ada di dalam kelas mulai menjerit-jerit tak jelas, meminta pintu dibukakan secepatnya.

"Bren, jahat lo ya sama temen sekelas!"

"Kita merasa terzalimi, Bren!"

Lihat selengkapnya