Setiap orang punya alasan masing-masing kenapa mereka memilih diam. Tak ingin menyakiti dan disakiti, adalah dua dari sekian banyak alasan yang ada.
###
Dilintangkannya sebuah garis kecil di bawah tanda tangannya. Setelah itu dia meletakkan pulpen di samping kertas. Mata hitamnya menjelajahi setiap baris kalimat yang tertera. Lalu tersenyum. Peningkatan kedua muridnya benar-benar sangat sugnifikan dari hasil belajar mereka di waktu awal. Mungkin begini pula rasanya seorang guru bila muridnya mendapat nilai yang bagus dengan usaha sendiri tentunya. Ada bahagia dan kesejukan yang mengaliri dada.
Ini akan menjadi hadiah terkonyol darinya untuk kedua makhluk yang telah membuat semangat hidupnya melunjak akhir-akhir ini. Hadiah sebelum dia harus pergi beberapa hari untuk menjalankan tugas dari sekolah.
Pintu tiba-tiba terkuak. Devina muncul dari sana.
"Kok belum tidur?" tanyanya sambil menatap jam dinding yang menunjuk angka sepuluh kurang seperempat. Lalu beralih pada Rendra yang telah tertidur pulas.
"Lagi ngerjain PR. Tadi ada pembimbingan di sekolah, jadi belum sempet dikerjain."
Devina melihat dua kertas yang hampir mirip seperti ijazah, disertai keterangan identitas, nilai, template pasfoto, dan tanda tangan putra bungsunya itu sendiri.
"Buat apa bikin beginian segala?" Lipatan dahinya tampak. Tangan itu meraih salah satu lembar kertas tersebut.
Virgo meringis malu didapati membuat ijazah ecek-ecek semacam itu. "Buat hadiah aja."
"Abraham Christianoka Stevan? Siapa?"
Virgo cukup kaget ibunya melafalkan nama tersebut. Matanya membulat di balik kacamata.
"Itu temen Igo, Bun."
Kembaran Igo. Anak Bunda yang hilang.
"Kamu nggak pernah cerita punya teman yang namanya ini?"
"Temen lain sekolah, Bun. Nggak sengaja ketemu waktu lomba. Terus pengen belajar bareng Igo."
"Coba Bunda lihat fotonya?"
"Emh?" Virgo melirik foto yang sebenarnya sudah jadi di sebelah meja kanan. Namun dengan pelan dia pura-pura merenggangkan otot-otot seraya menutup kedua foto itu dengan lengan.
"Fotonya belum jadi, Bun."
Entah harus berapa kali Virgo berbohong demi membuat semua baik-baik saja.
"Oh. Kalau gitu kamu mau enggak, nemenin Bunda nunggu ayah pulang? Katanya jam sepuluh sampai rumah. InsyaaAllah sih, kalau nggak ada halangan yang tiba-tiba."
"Ayo, Bun!" Dengan semangat Virgo merangkul bahu ibunya keluar. Dilirik kedua foto yang tergeletak di sana sebentar. Apa kira-kira yang akan Devina reaksikan jika melihat foto Oka?
Virgo menyalakan televisi di ruang keluarga.
"Bunda gimana kerjaannya di kampus? Baik, kan?" Dia duduk di sebelah Devina, bersila sambil menggenggam tangan hangat ibunya, memainkan jemari lentiknya. Kesibukan masing-masing dari mereka membuat keduanya jarang berbasa-basi seperti ini.
"Selalu baik, tenang aja. Kamu sendiri? Gimana persiapan olimpiadenya?"
"Alhamdulillah udah sembilan puluh lima persen. Tinggal berangkat pokoknya. Doain Igo ya, Bun."
"Pasti, Go. Oh iya, kamu beneran mau ngambil beasiswa Jepang itu? Enggak ITB? Atau balik ke Jogja, terus di UGM?"
Virgo mengembuskan napas untuk melegakan dadanya yang terasa tak lega mendengar Devina mengatakan hal tersebut. Pasalnya dia jadi selalu bingung menentukan pilihan.
"Tuh kan, kalau dibilangin itu mulu Igo malah jadi bingung, Bun," rajuknya. Dibanding bersama Zifa, intensitas Virgo menampangkan muka ekspresifnya jauh lebih besar ketika di hadapan kedua orang tua dan kakaknya sendiri.
"Hehe, Bunda kuatir, kamu kan enggak pinter masak kayak kakak kamu. Bunda enggak mau kamu sakit gara-gara makan produk instan melulu."
"Nanti kan bisa kursus sama Kak En."
"Iya, iya. Kamu beneran bakal betah?'