Sekat

Imelvay
Chapter #16

#15

Penerimaan adalah sebuah bentuk sederhana dari ribuan cara menghargai seseorang.

###

Devina menatap lekat ke isi makalah mahasiswa ampuannya. Berharap tak ada yang mengganggu supaya hitungannya tak meleset. Sayangnya harapan itu musnah ketika ponselnya berbunyi nyaring. Melihat siapa yang menelepon, Devina reflek memutar mata. Virgo? Bukannya dia ada di rumah? Tapi Devina mengangkatnya. Siapa tahu anak bungsunya itu membutuhkan sesuatu tetapi tak berani menyelanya di tengah kesibukannya secara langsung.

"Halo? Ada apa, Go? Bunda sibuk ini."

Beberapa detik tak dijawab. Lalu,

"Halo?"

"Igo, jangan main-main! Bunda lagi sibuk!" ucapnya tegas.

Orang di seberang telepon malah menutup sambungan begitu saja.

Devina menghela napas. Lalu menggeleng-geleng. "Igo! Jangan iseng! Bunda sibuk!" teriaknya.

Tak lama kemudian daun pintu itu terkatup. Virgo muncul dengan wajah polos seolah tak tahu apa-apa.

"Bunda manggil Igo?"

Devina menatap Virgo agak geram. "Iya. Jangan ngisengin Bunda lagi. Bunda sibuk banget, lhoh."

"Ha? Iseng? Igo dari tadi di kamar, kok," belanya pada diri sendiri. Masih dengn wajah polos yng membuat Devina serasa ingin mencubitnya sekeras mungkin.

"Lewat hape," dengusnya.

"Hape? Orang Igo aja dari tadi lagi nyari hape Igo, nggak ketemu-ketemu."

"Jangan bohong. Terus itu nomor hape siapa? Wong jelas-jelas punya'e kamu, kok." Jiwa orang Jawa Devina memang sering muncul ketika dia dilanda emosi. Suara Devina beda kalau bicara pakai logat Jawa. Lebih melengking dan keibu-ibuan.

Mata Virgo langsung melebar gembira. "Pinjam hape ya, Bun?!"

Devina berdeham. Membiarkan ponselnya dibawa Virgo keluar.

Tak ada berapa menit, Virgo sudah kembali dengan senyum penuh akan rasa syukur. "Makasih, Bun."

"Hape kamu beneran nggak ada?"

"Udah ketemu, Bun. Tadi yang nelpon itu temen Igo. Ketinggalan di dia ternyata," terangnya.

Devina ber-oh pendek. Setelah Virgo keluar dan menutup pintu ruang kerjanya, dia malah heran sendiri.

Tapi ... yang tadi itu kok persis suara Virgo?

●●●

Oka tepekur memandangi layar ponsel Virgo. Badannya bersandar pada kusen pintu kelas Aldi. Tangannya men-scroll layar melihat-lihat foto yang ada dalam galeri. Lalu berhenti pada sebuah foto yang begitu formal. Di mana ada Virgo yang masih cukup kecil dan belum pakai kacamata. Wajahnya sama saja, polos, datar, dan begitu serius. Usia delapan tahun mungkin. Oka tahu, karena dia kelihatan sama persis seperti dirinya waktu kecil. Di sisinya juga berdiri seorang anak laki-laki kecil, lebih kurus dan kecil dari Virgo. Pasti Rendra.

Mungkin karena penyakit itu yang membuat tubuhnya demikian. Tapi dia lebih ceria. Anak sepertinya memang harus harus selalu gembira. Karena sedih hanya akan membuatnya lebih dekat dengan batas hidupnya.

Sementara di belakang berdiri dua orang berkacamata. Orang tua Virgo. Ayahnya memakai setelan jas. Ibunya memakai baju toga. Mungkin wanita itu baru saja menamatkan pendidikannya di bangku kuliah.

Jantung Oka berdesir. Yang tadi itu suara ibunya Virgo?

"Lo nggak bohong, kan??!"

Oka terperanjat mendengar sentakan Roni yang begitu lantang. Dia berbalik dan menemukan cowok itu tengah berkacak pinggang sambil melotot pada Aldi sampai matanya mau mencelat. Roni sepertinya bakal patut disatuin sama napi kelas kakap kalau lagi begitu. Itu saja sebenarnya bukan marah sungguhan. Lah, kalau sungguhan? Mungkin sudah jadi kain lap pel kelasnya tuh, si Aldi. Bahkan bisa jadi Oka malah alih jabatan jadi waket dalam gengnya.

"Se-serius, Bang!" ucap Aldi tegas dengan segenap keberanian yang tersisa. Basah sudah seragamnya menyerap keringat dingin.

"Kalau sampai lo bo'ong, bakal gue tambah bejek-bejek, lo! Ngerti?!"

"Tahu, Bang!"

"Gue bilang ngerti! Tahu, tahu! Tahu bulet?!"

"Udah ah, Ron! Yuk, cabut! Suntuk gue!" Oka sudah melangkah lebih dulu meninggalkan Roni.

Tangan kanan Oka itu pun keluar sambil melempari Aldi dengan gertak sambalnya. Menyusul Oka menuju parkir siswa. Lalu mengendarai motor beriringan hingga Oka berhenti di sebuah rumah di tepi jalan.

"Ini rumah siapa, Ok?" Roni menyapukan pandang ke seluruh penjuru rumah. Pagar pembatas yang mengelilingi rumah dan memiliki banyak celah itu membuatnya dapat menarik sebuah kesimpulan. Pasti pemilik rumah ini maniak bunga dan tanaman. Kelihatan sekali tanaman-tanaman di pekarangan rumahnya itu segar dan sangat terawat. Rumah yang kelihatannya sederhana jadi tampak begitu meriah dan indah dengan tanaman hias yang memutari pekarangan tersebut.

"Temen spesial." Oka memencet bel yang melekat pada dinding pagar.

Lihat selengkapnya