“Tidak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Semua terjadi untuk sebuah alasan, sekecil apapun itu”
Sekat(a)Rasa
Social Distancing. Media-media sepanjang jalan kini memberitakan hal yang sama. Bencana yang kini menimpa dunia. Lebih dari 200 negara sedang berjuang melawan wabah yang disebut dengan Covid-19 ini. Kemunculan virus jenis baru yang belum ditemukan obatnya. Penularannyapun lebih cepat dari penyakit-penyakit menular pada umumnya. Sampai saat ini masih banya pemberitaan simpang siur mengenai penularannya. Namun semua tetap meyakini bahwa virus ini memang sangat berbahaya.
Sebagian besar orang-orang di dunia harus beradaptasi dengan perubahan drastis yang cukup dinamis.Tidak terkecuali di Inggris. Baru-baru ini perdana menteri Inggris menganjurkan untuk tetap berada di rumah. Masyarakat hanya diperbolehkan keluar rumah untuk hal-hal yang mendesak saja, seperti membeli bahan makanan misalnya. Suasana tidak seperti biasanya. Jalanan yang biasanya ramai siang dan malam seolah menjadi kota mati.
Aku berjalan menyusuri jalan menuju Halls tempat tinggalku. Rasanya sepi sekali tidak seperti biasanya ditambah suhu dingin karena salju sedang turun sekarang. Hanya beberapa orang dari tadi yang berpapasan denganku di jalan.
Aku menemukan beberapa belanjaan yang tercecer di jalan. Tentu saja aku berhenti setelah melihatnya. Buah-buahan yang terlihat masih baru berserakan di atas salju sepanjang jalan yang aku lalui. Aku melihat sekitar dan melihat seorang wanita paruh baya dengan barang belanjaannya yang sepertinya bocor sehingga membuat belanjaanya tercecer.
Aku segera membantunya memungut beberapa buah yang tercecer.
“Ya ampun” Gumamnya sambil melihat tas belanjaanya yang sepertinya tidak bisa diperbaiki. Membuatku spontan bertanya padanya.
“Ibu orang Indonesia?” tanyaku sambil membantu Ibu tersebut membantunya memegang belanjaannya yang sempat tercecer.
“Wah, kamu bisa berbahasa Indonesia?”
“Saya orang Indonesia Ibu.” Jawabku singkat sambil tersenyum ke arahnya.
Ya, semenjak aku tinggal disini, bertemu dengan orang Indonesia selain aku merupakan kebahagiaan tersendiri untukku. Seperti bertemu dengan sanak saudara yang sudah kenal dari lama.
“Apa iya?” tanya ibu tersebut sambil memandang wajahku. Bukan pertama kali aku mendapat pertanyaan semacam ini.
Kata teman-temanku yang di sini wajahku memang tidak seperti orang Indonesia, padahal aku asli orang Indonesia. Ayah dan Ibuku asli Sumatera Utara. Tubuhku tidak terlalu tinggi, mataku tidak terlalu kecil dan juga tidak begitu bulat, rambutku hitam, hidungku lumayan mancung kata nenekku, dan kulitku kuning langsat. Harusnya Indonesia sekali bukan? Tetapi ciri-ciri tersebut ternyata tidak berhasil menggambarkanku menjadi terlihat seperti orang Indonesia. Ada yang bilang Filipina, Thailand, bahkan India. Jauh sekali. Mungkin wajahku memang menyomot beberapa ciri dari orang-orang di negara-negara itu.
Aku mengambil paper bag-ku yang tidak terpakai. Memang kebiasaanku saat belanja membawa paper bag lebih untuk jaga-jaga.
“Iya Bu.” Kataku sambil memberikannya paperbagku.
“Siapa nama kamu, Nak?” tanyanya setelah semua belanjaannya aman.
“Lyora Orzora, tapi biasa dipanggil Lily Bu. Ibu sendiri?” Tanyaku kembali. Kami hampir saja melupakan anjuran untuk tidak kontak fisik. Aku baru saja ingin menjabat tangannya untuk berkenalan. Untung saja aku segera mengingatnya dan menyatukan kedua tanganku untuk memberi salam.
Ibu tersebut memperkenalkan dirinya. Kami berbincang banyak sehabis itu. Aku tidak menyangka ternyata rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku. Ibu Tania berasal dari Jogja. Kota tempat perantauanku yang cukup lama dulu saat SMA. Belum sampai dua tahun aku tinggal di Inggris. Aku baru menyelesaikan S1 matematikaku sekitar dua tahun lalu di salah satu Universitas di Australia. Aku merasa menjadi salah satu orang yang beruntung dan tidak pernah menyangka sebenarnya aku bisa menjalani studi di UK. Tidak mudah. Sangat sulit malah.
Aku berasal dari keluarga sederhana. Ibuku hanya seorang penjahit di desaku, sedangkan ayahku dituduh melakukan pembunuhan dan harus berada di tahanan dan harus menjalani hukunman yang tersisa 13 tahun ke depan. Hal yang sampai sekarang belum bisa aku terima.
Aku tidak menyangka narasi hidup membawaku melangkah sejauh ini dan pastinya menggandeng lika-likunya. Setelah memperoleh gelar sarjana, aku mengikuti seleksi salah satu beasiswa yang diselenggarakan oleh University of Oxford.
Sebelum diterima di Oxford aku sempat memperoleh kesempatan intership bersama salah satu profesor di Oxford. Sekitar enam bulan lamanya sampai akhirnya aku menerima kabar bahwa aku diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di Oxford. Selama di Oxford aku ikut dalam project laboratorium yang tergabung dalam Wolfson Centre for Mathematical Biology.
Hari-hariku dipenuhi oleh penilitian di lab dan seminar-seminar bersama profesor intershipku dulu. Hari-hari sibuk yang kini harus terhenti. Aku paling tidak suka waktu yang kosong karena itu akan membawaku ke dalam pemikiran-pemikiran yang menyedihkan. Pikiran-pikiran tentang masa lalu yang sangat ingin kulupakan.
Lamunanku pecah ketika ponselku berdering menunjukkan nama ibu di layarnya.
“Iya Bu. Pesawatku sabtu malam.” Kataku menjawab pertanyaan ibu tentang keberangkatanku.
Ya, minggu ini aku memutuskan pulang ke Indonesia. Sebenarnya wabah ini masih terbilang sedikit di Indonesia. Kabarnya di Jakarta pembelajaran pun masih berlangsung sebagaimana biasanya. Seperti biasa, tidak sedikit acara seminar yang telah memintaku untuk menjadi pembicara karena mendengar kabar kepulanganku ke Indonesia bulan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke Jakarta dan Yogyakarta terlebih dahulu untuk mengisi acara tersebut. Acara dari kampusku dulu. Hitung-hitung untuk mengobati rindu di kota istimewa tersebut. Walau pada akhirnya aku kembali bertanya pada diriku, untuk mengobati rindu atau mengawetkan kenangan sedih disana.
***
Angin malam berhembus membuat beberapa daun dari pohon di atas gugur. Hingga terdapat daun yang terjatuh tepat di atas telapak tanganku yang berada di atas tangannya.
"Daun ini tepat jatuh di tangan kamu Ly. Dia ngga bisa minta dia jatuh dimana. Tapi takdirnya ya jatuh di tangan kamu."
"Maksudnya?" tanyaku menginginkan penjelasan lebih.
"Aku ngga percaya Ly sama yang namanya kebetulan di dunia ini. Aku yakin semua terjadi untuk sebuah alasan. Sekecil apapun itu. Kayak daun ini"
Ia menutup tanganku. Seolah menyuruhku menyimpan daun tersebut.
"Daun ini ditakdirkan untuk kamu simpan. Kamu tahu kan berapa banyak daun yang jatuh ke tanah tadi? tapi daun ini ditakdirkan jatuh di tangan kamu Ly. Dia beruntung"
"Ly, aku yakin pertemuan kita kembali bukan sebuah kebetulan. Itu takdir."
...dan aku berharap bisa jadi daun yang jatuh itu Ly, kamu jadi takdirku.
Aku terbangun dari mimpi burukku. Mimpi buruk yang sebenarnya sering kali terulang dan anehnya terasa nyata. Bukan memimpikan kejadian-kejadian baru. Aku memimpikan masa laluku satu persatu seolah mengulang semuanya. Disuguhkan dengan mimpi yang manis di awal dan selalu dijatuhkan dengan trauma menyerampakan pada akhirnya. Benar-benar memimpikan kejadian demi kejadian di masa lalu. Napasku masih memburu. Keringatku bercucuran padahal saat ini musim dingin.