"Terima kasih untuk selalu ada. Bangunkan aku saat aku tidur nyaman dalam sepi. Terima kasih untuk selalu mengerti, saat aku tidak mengerti diriku sendiri"
~Sekat(a)Rasa
Matahari sedang cerah-cerahnya pagi ini. Jalanan masih sepi. Gian mengayuh sepedanya ke sebuah rumah yang tidak jauh dari rumahnya.
"Kring kring kring..."
Gian membunyikan sepedanya dari depan gerbang rumah tersebut. Ia berulang kali membunyikannya.
"Lyo..." Teriaknya
Namun masih belum ada jawaban. Gian memasukkan sepedanya dan memarkirkannya sembarang di halaman rumah Lyora. Ia duduk di sofa yang tersedia di depan rumah. Terdengar suara barang-barang yang jatuh dari dalam. Tidak sekali dua kali. Gian mengabaikannya dan tetap menunggu Lyora di kursi yang berada di teras depan rumah Lyora. Ia ingin mengetuk pintu tetapi ia urungkan karena merasakan ada yang sedang tidak beres di rumah ini. Setelah beberapa menit suara itu mulai mereda.
Gian akhirnya berdiri hendak mengetuk pintu. Belum sempat Gian mengetuk pintu, Lyora keluar dengan wajah yang terlihat menahan kesedihannya. Seperti habis menangis.
"Ayo Gi". Ajak Lyora sambil mengambil sepedanya di garasi.
Gian hanya mengiyakan dan memperhatikan gadis tersebut dari belakang. Banyak yang ingin ia tanyakan pada gadis di depannya itu. Gian memang anak yang pendiam, tetapi ia sangat peduli pada sekitarnya, terlebih Lyora. Lyora dan Gian sudah berteman dari kecil semenjak Gian pindah ke perumahan ini. Lyora adalah teman pertama Gian hingga kini mereka sudah kelas 7.
Gian yang dari tadi hanya berbicara dalam hati dengan dirinya sendiri mempercepat langkahnya sambil menuntun sepedanya ke samping Lyora. Menatap baik-baik sahabatnya itu.
"Ly, tadi lagi ya?" Gian memberanikan diri bertanya pada Lyora yang sedari tadi terdiam lesu sambil menuntun sepedanya.
"Iya, Gi. Papa kambuh lagi tadi" Jawab Lyora singkat.
Gian selalu bingung harus menjawab apa setiap kali Lyora mengalami hal seperti ini. Padahal bukan sekali dua kali dia mengetahui Lyora mengalami hal seperti ini. Hal yang sering ia pertanyakan. Dari banyaknya manusia di dunia mengapa harus Lyora yang mengalami hal seperti ini.
"Sabar ya Ly"
"Iya Gi. Santai" jawab Lyora sembari tersenyum lebar, senyum yang bisa ditebak Gian. Senyum yang hanya menutupi kesedihannya.
Dari kecil Gian terlihat sangat mengagumi gadis yang ada di hadapannya ini. Bagaimana tidak, ia masih bisa tersenyum di tengah-tengah musibah yang sedang menimpa keluarganya. Gian tersenyum kecil melihat Lyora yang kini kembali mengalihkan pandangannya fokus ke jalan.
Papa Lyora telah lama mengidap penyakit langka dan aneh. Para dokter memperkirakan Papa Lyora mengidap salah satu jenis penyakit Autoimun. Jenis penyakit autoimun ini sangat langka. Bahkan baru sedikit pengidap penyakit ini di dunia. Penyakit ini juga masih kurang dikenal masyarakat. Sehingga masyarakat sering menyalah artikan ini dengan penyakit sakit jiwa atau bahkan bagi sebagian masyarakat yang mempercayai hal mistis beranggapan bahwa ini adalah penyakit yang disebabkan oleh hal gaib. Entahlah, Lyora masih terlalu kecil untuk memahami hal seperti ini.
Di luar negeri penyakit ini dikenal dengan "Brain on Fire". Mulai dikenal setelah keluarnya buku “Brain on Fire” pengalaman nyata seorang wanita bernama Susannah di New York. Penderita penyakit ini sering berhalusinasi berlebihan bahkan mengamuk melukai orang lain. Namun orang awam tidak akan dengan mudah menerima penyakit semacam ini, yang mereka tahu ini adalah penyakit sakit jiwa.
Papa Lyodra sering berhalusinasi hebat. Ia merasa orang-orang berbicara buruk tentangnya, padahal nyatanya orang-orang bahkan tidak melihatnya. Pernah juga ia ingin melukai dokter, ia berhalusinasi bahwa dokter itu adalah pencabut nyawa dan masih banyak kejadian-kejadian lainnya.
Lyora harus kuat menjadi anak pertama dari tiga bersaudara di umurnya yang semuda ini. Oleh karena itu ia harus terlihat kuat dan tidak panik di hadapan Dave dan Anne, adik-adiknya. Bertahun-tahun papanya mengidap penyakit ini. Penyakit ini tidak selalu kambuh. Ayahnya masih bisa bekerja. Ayahnya satu-satunya tulang punggung keluarga yang menumpu perekonomian mereka. Apalagi akhir-akhir ini penyakit tersebut semakin sering kambuh.
"Ly ayo kita lomba. Kalau aku kalah aku bakal traktir kamu es krim deh"
"Boleh. Siapa takut"
"Oke. Satu dua tiga mulai..." Gian melajukan sepedanya dengan cepat setelah memberi aba-aba kilat pada Lyora yang belum bersiap.
"Ih, Gian curang. Belum siap aku..." teriak Lyora kesal pada Gian yang telah jauh meninggalkannya.
Sesampainya di parkiran sepeda di sekolah, Gian sembari mengunci sepedanya terkekeh kecil melihat Lyora yang terengah-engah ketinggalan di belakangnya.
"Ih kamu curang, Gi" Lyora dengan ekspresi ngambeknya.
"Loh aku udah bilang satu dua tiga hahah"
"Kesel tau" Lyora mengunci sepedanya lalu pergi meninggalkan Gian.
"Eh Ly, jangan ngambek gitu dong, kan biar seru-seruan aja".
Lyora yang dibuntuti Gian dari belakang memasang wajah kesalnya. Lyora masih diam. Gian jadi tidak enak hati. Lyora dan Gian sekelas. Mereka semeja. Pikiran Gian jadi jauh. Apa ia keterlaluan pagi ini Lyora sedang mengalami masalah tetapi ia malah membawanya becanda pikirnya.
"Ly, kamu marah ya? Maaf deh Ly"
Lyora masih diam bahkan tidak melihat Gian sama sekali. Lyora mengeluarkan bukunya. Saat pelajaran dimulai, Gian berbicara lewat tulisan dengan Lyora seperti biasa jika guru mengajar di depan kelas agar tidak ketahuan.
Ly masih marah?
Gian memberi buku yang ditulisnya ke Lyora. Tetapi Lyora mengembalikan buku itu tanpa menulis apapun.
Ly jangan diem gitu dong, kamu lebih serem diem dari pada marah-marah. Nanti aku biarin kamu di deketin Adul loh kalo kamu diem terus. :p
Tulis Gian lagi dan memberikannya ke Lyora. Kali ini Lyora membesarkan matanya dan sedikit mencubit lengan Gian.
"Aduh duh" Gian sedikit kaget dengan cubitan Lyora. Walaupun bukan pertama kalinya ia dicubit olehnya seperti ini. Bahkan Gian bisa menghapal level kemarahan Lyora melalui rasa sakit cubitan yang Lyora beri.
"Gian, Lyora, ada apa?" Tanya Bu Rere membalikkan badannya yang tadi sedang menulis di papan tulis.
"Eh ngga Bu, ini tadi kejepit" kata Gian menutupi kelakuannya.
Bu Rere menggelengkan kepalanya. Lalu kembali menulis di papan tulis. Bukannya jera, Gian malah menulis lagi dan memberikannya pada Lyora.
Ly, kamu mau diganggu Adul?
Suka ya sama Adul?
Hayoo ngaku kamu :p aku kasi tahu adul ah
Lyora sepertinya naik darah. Kali ini ia refleks memukul Gian dengan bukunya. Buku tersebut jatuh dan ketahuan Bu Rere yang terkenal galak tidak pandang buluh.
Lyora memang paling anti dengan Adul, anak lelaki yang selalu mengejar-ngejarnya sampai diceng-cengi teman-temannya. Pernah suatu hari Adul datang ke kelasnya dan berdiri di atas meja sambil membawa bunga dan mengungkapkan perasaannya pada Lyora.
"Lyora kaulah permata hatiku, yang
selalu menghiasi hari-hariku,
sejak pertama melihatmu rasanya deg deg serrr gitu,
apakah ini yang namanya getaran cinta.
Wahai Lyora maukah kau menjadi kekasihku?"
Kira-kira seperti itulah Adul pernah mengungkapkan perasaannya ke Lyora disaksikan oleh seluruh teman sekelasnya saat kegiatan Porseni semester yang lalu. Lyora geli dan sangat malu. Bahkan ia sempat menangis. Untuk gadis polos seperti Lyora hal itu sangat memalukan untuknya. Wajar karena ia baru beranjak remaja. Mungkin shock dengan keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
"Gian, Lyora, ada apa lagi? Sini bukunya" Perintah Bu Rere. Di mata Bu Rere siapa yang melanggar aturan ya tetap salah, sekalipun dia anak pejabat tertinggi atau siswa berprestasi.
Lyora adalah siswa berprestasi di sekolah ini. Ia menyandang juara paralel sekaligus siswi teladan di sekolahnya. Sangat sulit menemukan kesalahan Lyora yang sangat amat taat pada aturan. Tentu saja dengan posisi itu banyak anak remaja yang sedang gembar-gembornya mulai mengenal kata cinta mendekati Lyora.
Gian adalah orang yang selalu melindungi Lyora dari orang yang mengganggu Lyora, termasuk kakak kelas yang iri pada Lyora dulu. Bahkan Gian juga yang memarahi Adul karena membuat Lyora merasa dipermalukan dulu dan sekarang ia malah membuat Lyora kesal karena membahas Adul. Siapa yang tidak tahu Gian sahabat Lyora sekaligus saingan Lyora dalam hal akademik.
Berbeda dengan Lyora yang taat aturan, Gian tidak begitu memperhatikan itu, yang penting tidak keterlaluan saja melanggarnya. Sama dengan Lyora, Gian juga memiliki fans yang rata-rata anak perempuan dan tentu saja sebagian dari mereka iri dengan kedekatan Gian dan Lyora.
Bu Rere membaca buku itu sambil menggelengkan kepalanya.
"Gian, Lyora, sekarang kalian berdiri hormat tiang bendera sampai mata pelajaran Ibu selesai"
Lyora membesarkan matanya dan melihat Gian kesal. Kini mereka berdua harus dihukum karena melakukan kesalahan dan tentu saja ini akan jadi trending topik, siswi dan siswa teladan sekolah kena hukuman untuk pertama kalinya. Kini mata beberapa siswa yang kelasnya kosong dan yang sedang berolahraga di lapangan tertuju pada mereka.
Mata Lyora terasa panas. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Pikirannya jauh, ia khawatir orangtuanya akan dipanggil ke sekolah.
"Semua ini salah kamu Gi" kata Lyora sambil menangis sesenggukan.
"Loh kok aku? Kamu juga salah pake mukul aku tadi" jawab Gian yang terlihat tidak sekhawatir Lyora.
"Aku malu dihukum Gi"
"Gpp, kan ada aku Ly"
Hening beberapa detik. Hanya terdengar suara sesenggukan Lyora yang sedang menangis sambil sesekali melepas hormatnya untuk sekedar mengelap air matanya yang mengalir.