Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #2

1. Keheningan sebelum badai

Langkah kakinya terasa berat, bukan karena lelah semata, tapi karena udara di sekitarnya seolah ikut menahan, mencekik pelan, menempel di kulit seperti lapisan tipis asap yang enggan beranjak. Sepatu pantofel berhak lima sentimeter seakan menolak bergeser, terjepit di antara lantai stasiun dan semesta yang tidak ramah.

Lucia Andrea menghela napas. Dalam. Panjang. Ada denyut halus di kepalanya, hasil dari ikatan rambut kuncir kudanya yang terlalu kencang, tapi ia tak berani melonggarkannya. Sedikit saja dikendurkan, rambutnya akan berantakan seperti benang kusut yang dilepas dari gulungannya, menyerbu wajah, melekat di pelipis dan tengkuk, menambah panas, menyulitkan nafas, dan mengaburkan pandangan. Ia tak mau itu terjadi, bukan pagi ini. Karena sebentar lagi ia harus bertarung dalam medan laga bernama Stasiun Manggarai, dimana ratusan, mungkin ribuan tubuh berebut tempat untuk sekadar berdiri tegak di dalam gerbong yang terlalu sempit untuk menampung ambisi ibu kota.

Ia menahan denyut di kepala, memilih rasa sakit yang bisa dikendalikan daripada kekacauan yang bisa membuyarkan semuanya.

Eskalator membawanya naik perlahan menuju peron. Seperti sedang memeluknya dalam keheningan semu, sebelum dilempar ke kerumunan lainnya. Ia menuju ke arah Stasiun Sudirman, tempat kantornya berada, di gedung yang menjulang tinggi dan dingin, seperti istana kaca yang hanya tampak megah dari luar. Di dalamnya, hari-hari Lucia dijajah oleh pekerjaan yang tak pernah usai dan lingkungan yang menggerogoti. Namun ironisnya, tempat itulah yang menyelamatkannya dari tenggelam dalam gelombang kesulitan finansial keluarganya. Gajinya, meski diperoleh dari peluh dan amarah yang dikulum, tetap menjadi satu-satunya sumber pendapatan untuk keluarga.

Lucia baru dua puluh sembilan. Tapi rasa letihnya seperti perempuan yang sudah puluhan tahun menanggung beban dunia. Ia lulus lebih dari jurusan keguruan. Namun kini, menjadi seorang supervisor di tim Sales Support, posisi yang terdengar meyakinkan di kartu nama, tapi kosong makna. Rekan-rekan seangkatan dari kampusnya telah menjadi guru atau dosen. Sementara ia, masih duduk di kursi yang sama setiap hari, disuruh-suruh, ditekan dengan deadline, dan diadili oleh SOP yang seolah disusun oleh manusia tanpa empati.


Kereta datang. Lucia masuk dengan bahu ditegakkan, tumbuhnya bergerak miring, lincah menembus celah sempit antara penumpang. Seperti tentara yang tahu strategi tempur, ia menyusup hingga mendapatkan posisi berdiri strategis, cukup dekat dengan pintu, cukup jauh dari dorongan di belakang.

Tangannya menggenggam tiang logam dengan mantap. Kedua kakinya berpijak seimbang, tidak terlalu rapat, tapi tidak pula mengganggu. Posturnya yang menjulang, seratus enam puluh lima sentimeter ditambah lagi dengan hak lima sentimeternya, membantunya bernapas lega di lautan kepala yang padat. Ia tak harus berbagi udara dengan ketiak orang lain, dan tak perlu rebutan hand strap. Ia bisa meraih besi di atas kepala, menopang dirinya dari guncangan kereta yang berjalan cepat tapi tak pernah terasa cukup cepat dalam keadaan yang menyesakkan seperti ini.

Peluh mulai merambat di punggungnya, menyerap ke kerah kemeja hitam, menetes perlahan ke pinggang celana kulot abu-abunya. Mata Lucia, terpejam sejenak. Dalam keheningan dalam dirinya, ia mencoba memanggil sesuatu yang entah apa, ketenangan, semangat, atau mungkin harapan.

“Sebentar lagi… sebentar lagi…” bisiknya dalam hati.

Satu stasiun. Hanya satu. Dari Manggarai ke Sudirman. Tapi tetap terasa seperti perjalanan panjang menuju tempat yang tak ingin ia datangi. Menyebalkan, tentu. Tapi apa lagi pilihannya?

Lucia tak bisa menyetir. Motor membuatnya takut, mobil terlalu mahal. Rumahnya di Pasar Minggu, dan satu-satunya pilihan masuk akal hanyalah KRL, padat, murah, dan selalu membuatnya ingin menangis dalam hati. Tapi ini hidup, dan hidup tak selalu memberi opsi yang bisa dipilih.

Jadi ia bertahan. Seperti biasa.

Dengan kepala yang berdenyut, keringat yang menetes, dan dunia yang tak berhenti mendorongnya dari segala arah.

Kereta berhenti dengan decitan yang terlalu akrab hingga memuakkan, seperti keluhan tua yang sudah puluhan kali diucap dan kini tak digubris siapa-siapa. Sembilan dari sepuluh penumpang di gerbong itu langsung tumpah keluar, mengalir seperti air bah yang tak bisa dibendung. Lucia tak perlu berusaha. Tubuhnya digeser, disikut, dan didorong tanpa permisi hingga tahu-tahu sudah berdiri di peron.

Namun sesuatu tertinggal.

Kretak!

Sebuah suara kecil, nyaris tertelan riuh langkah. Tapi cukup bagi Lucia untuk tahu, sebelahnya headset jatuh, dan langsung diinjak oleh sepatu orang-orang yang tak peduli. Retak. Remuk. Hancur.

“Aaagh!”

Keluh itu tertahan di kerongkongan, hanya terdengar oleh dirinya sendiri.

Pandangan matanya nanar. Benda kecil berwarna putih itu kini tak berbentuk. Ia melepas sisi lain dari headset yang masih terpasang di telinga, memasukkan ke kotaknya yang semula disimpan di saku celananya. Sudah bertahun-tahun benda itu menemaninya, meski suaranya kerap putus-putus. Tapi ia tetap memakainya.

Tarikan napas dalam mengisi dadanya yang sesak. Di sampingnya, kereta yang tadi ia tumpangi kembali melaju, membelah pagi dengan suara besi beradu. Lucia kembali berjalan, tak memberi ruang untuk ratapan. Dunia tak pernah memberi waktu bagi mereka yang berduka atas hal-hal kecil.

Tubuhnya tinggi kurus. Wajahnya kaku, rahangnya lancip. Mata sipit nya memicing, seperti kucing yang terusik tidurnya. Langkah kakinya mantap. Ia menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk tak mengeluhkan nasib headset-nya, cukup kencang hingga nyaris menyakitkan, dan langsung menyusuri jalan keluar stasiun. Di luar, tukang ojek berderet menunggu bagai pasukan tanpa gairah. Lucia mendekat ke salah satunya, menerima helm, menyebutkan alamat kantornya, dan naik ke atas jok belakang tanpa banyak suara.

Sepanjang perjalanan, dunia terasa hampa. Langit Jakarta tergantung di atas sana, abu-abu, berat, dan muram. Seperti lapisan debu yang tak kunjung bersih dari permukaan atap kota ini. Ia menatap langit itu dengan kosong, tanpa makna. Bukan karena malas berpikir, tapi karena sudah terlalu banyak yang menyesaki kepala.

Lucia tak berkata apa-apa. Bukan karena ia tak bisa, tapi karena tidak ingin. Obrolan basa-basi dengan pengemudi ojek bukan hal yang ia hindari sepenuhnya, hanya saja, hari ini bukan waktunya. Bukan setelah akhir pekan panjang kemarin ia terjebak di rumah yang atapnya bocor, bersama kakak yang terus-terusan memarahi anaknya sendiri. Bukan setelah melihat inbox-nya pagi tadi dipenuhi puluhan email, undangan rapat, dan “tugas kecil” yang jika dikumpulkan bisa menenggelamkan siapa pun.

Dan bukan setelah headset-nya kini menjadi ‘yatim’, tinggal satu, tak lagi sepasang. Seperti dirinya.

Lihat selengkapnya