Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #3

2. Masa lalu yang ingin dihapus

Lucia bukan wanita yang dingin sejak lahir. Dia tumbuh sebagai gadis yang percaya diri, mudah bergaul dan tak kenal takut.

Siapapun yang mengganggu dirinya atau temannya, akan langsung diadang dan diminta pertanggungjawaban. Postur tubuhnya yang cukup tinggi untuk gadis-gadis di lingkungannya memberikan kesan mengintimidasi. Belum lagi tatapan matanya yang tajam, galak dan acuh diwaktu bersamaan. Membuat penampilannya sulit untuk direndahkan oleh siapapun.

Tapi hari itu, dunianya jungkir balik. Ia pertama kalinya terdiam saat direndahkan, bukan karena tak berani melawan, tapi karena tak tahu kata-kata apa yang tepat untuk diucapkan dalam situasi yang membingungkan dan tak pernah terpikirkan akan terjadi dalam hidupnya itu.

Saat itu, dia yang sudah menunda kuliah selama dua tahun karena orang tuanya meninggal dalam waktu berdekatan, meninggalkan hutang, tak banyak, tapi menghabiskan tabungannya untuk kuliah selepas SMA, akhirnya masuk ke jurusan keguruan. Bukan karena sejak awal ingin menjadi guru, tapi entah kenapa seiring berjalannya waktu, ia mulai tertarik dengan profesi itu. Di samping, jurusan itu, kampus itu, tempatnya menuntut ilmu, punya jadwal yang tepat, yang bisa disesuaikan dengan jam kerjanya. Win-win solution. Kerja jalan, kuliah jalan, dan ia juga jadi punya tujuan profesi yang lebih bergengsi jika sudah lulus nanti.

Tapi semua berubah karena Matthew Litaf.

Anak kelas dua belas, di SMA tempat Lucia melakukan Praktik Pengalaman Lapangan di semester tiga kuliahnya.

Lucia ingat betul apa yang terjadi hari itu. Bagaimana cuacanya yang terlalu cerah sampai panasnya terasa nyelekit, bagaimana suhu di pojok lorong itu terasa lebih pengap dari biasanya, dan bagaimana tatapan merendahkan yang Matthew lemparkan padanya setelah dia memanggil anak itu untuk mengembalikan pulpennya yang jatuh.

Cowok itu begitu populer di kalangan siswa-siswi sekolah, bahkan Hadin, temannya yang juga PPL di sekolah itu mengakui betapa tampannya anak itu. Senyumnya manis, matanya yang cerah tertutup separuh tiap kali ia tertawa. Giginya berjajar rapih, bibirnya meliuk manis di ujung tiap kali ia bergerak untuk bicara. Tingginya memang tak menjulang bak karakter utama di dalam komik-komik romansa, kakinya tak begitu panjang, namun cukup jenjang. Seratus tujuh puluh delapan sentimeter, paling tidak, segitu perkiraan Lucia.

Tapi apakah Lucia tertarik dengan anak itu? Jelas tidak.

Anak itu menawan, katanya pacaran dengan teman sekelasnya yang disebut ‘Dewi’ disekolah saking sempurnanya, Rubi.

Apakah Lucia peduli dengan hal itu? Jelas tidak.

Lalu kenapa siang itu, di lorong sekolah, Matthew yang menoleh setelah ia panggil, memandangnya dengan tatapan sinis campur jijik, lalu berkata.

“Kenapa? Kakak mau nyatain cinta juga?” Sebuah seringai tajam dan meremehkan tersungging di bibirnya. “Ngaca, Kak! Kakak tuh udah tua, gak cantik, miskin juga!” Ejekan itu meluncur deras, menusuk tanpa ampun, sebelum ia berbalik badan dengan gerakan angkuh dan berlalu pergi, meninggalkan jejak kekosongan yang menghina.

Saat itu, Lucia terkesiap, lidahnya kelu, nafasnya tertahan di kerongkongan. Jemarinya mencengkram erat pulpen di tangan, buku-buku jarinya memutih. "Bocah gila!" desisnya dalam hati, sebuah makian yang terpaksa ia telan. Amarah membakar ubun-ubunnya, namun waktu dan tempat yang menuntutnya untuk bijaksana mendesaknya untuk menahan diri, untuk membiarkan api itu padam tanpa perlawanan.

Ironisnya, ia tidak menyangka bahwa babak penghinaan itu hanyalah permulaan.

Gosip liar tentang Guru PPL yang tergila-gila dan menyatakan cinta kepada Matthew menyebar laksana wabah di seluruh penjuru sekolah. Cerita itu diperkaya oleh bumbu-bumbu penyedap, fantasi liar dan pedas, mengembang menjadi narasi yang konyol dan samar dari kebenaran.

Ia dipanggil bertubi-tubi: oleh Guru Pembimbingnya di sekolah, oleh Kepala Sekolah yang berwibawa, hingga oleh Dosen dan Kepala Program Studinya di kampus. Di setiap ruangan, ia harus menyusun penjelasan bertele-tele dan melelahkan mengenai desas-desus tak berdasar yang sungguh menggelikan itu.

Namun, kebohongan yang telah diyakini dan diamini oleh banyak orang, memiliki kekuatan destruktif yang jauh melampaui kejujuran dari satu-satunya orang yang kini menjadi korban gunjingan.

Lucia terpaksa menghentikan masa PPL-nya sebelum waktunya usai. Nilai semester itu anjlok drastis, bagaikan batu yang jatuh. Reputasinya sebagai calon pendidik hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah kekecewaan akut dan hilangnya gairah untuk kembali mengejar cita-cita menjadi guru.

Semua kehancuran ini, bermula dari ulah bocah narsis dengan imajinasi tak terkendali itu.

Matthew adalah rahasia kelam, sebuah aib yang ia telan bulat-bulat seorang diri, enggan dan tak ingin untuk diuraikan kepada siapa pun.

Lihat selengkapnya