Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #4

3. Deklarasi Permusuhan

"HA?!" Pekikan Hadin nyaris memecahkan kesunyian. Sisa es krim di dalam mulutnya terlihat jelas, kontras dengan ekspresi terkejut yang membalut wajahnya. "Bocah itu? Bocah gila yang ganteng itu?" Jeritnya tak percaya, suaranya melengking tinggi.

"Ssssh!" Desis Lucia, sigap mendekap mulut Hadin, khawatir obrolan rahasia mereka terdengar oleh kakak dan keponakannya dari dalam kamar. "Iya, bocah itu, sekarang dia jadi atasan gue!"

Sambil meluruskan kakinya di lantai dan menyandarkan punggungnya di tepi tempat tidur Cia, Hadin menggunakan tangan kanannya untuk menghitung sesuatu. "Berarti umurnya sekarang sekitar dua puluh tiga tahun? Ya, sudah tidak bocah lagi juga sih!"

Lucia langsung melirik tajam, pandangannya menusuk. "Terus?" tanyanya, menuntut penjelasan.

Hadin tak menyahut, ia hanya menyeringai lebar, senyum kuda yang khas, memilih untuk membungkam pikirannya. Ia tidak berani menyuarakan isi kepalanya karena takut akan semburan amarah dari Lucia.

Mereka berdua telah menjalin persahabatan selama sembilan tahun. Selama kurun waktu itu, Hadin tidak pernah secara lantang menyuarakan orientasi seksualnya. Lucia pun tidak pernah secara langsung mempertanyakan hal itu. Meski begitu, ia tahu betul bahwa Hadin tidak memiliki ketertarikan serius pada wanita, meskipun sahabatnya itu sampai sekarang masih terus berjuang untuk meluruskan orientasinya. Dan Lucia? Ia tak pernah berkomentar ataupun ikut campur dalam urusan pribadi Hadin itu. Penerimaan dan rasa hormat adalah fondasi persahabatan mereka.

“Terus gimana? Masalah David juga bikin lu nggak betah di kantor,” tanya Hadin, kekhawatiran tulus terpancar dari tatapannya.

“Ya mau gimana lagi, kakak sama ponakan gue mau dikasih makan apa!” gerutunya.

“Hmm,” dehem Hadin, “Mau coba ngajar di sekolah gue nggak?”

Lagi-lagi Lucia melirik tajam, “Nggak! Makasih!” tolaknya, masih trauma dengan masa lalu.

Meski tak bisa menghindar, dan mau tak mau harus dihadapi. Sebenarnya dalam batin Lucia mulai tertekan dengan kondisi saat ini.

Matthew bagai asap beracun baginya. Jelas tak ingin dihirup, tapi keberadaannya dengan cepat menyebar dan terhisap otomatis.

Harum badannya yang lembut namun maskulin, bajunya yang licin seakan otomatis menyetrika sendiri tiap menit, senyumnya yang kelewat ramah, tatapannya yang seakan ingin membuat lawan bicaranya terpana, cara dirinya menyebut "aku" untuk dirinya sendiri di hadapan wanita atau pria seolah dia satu-satunya pria paling lemah lembut di kantor, mobil jeep rubicon putihnya yang mencolok di parkiran, semua kesempurnaan tentangnya memuakkan. Lucia tak pernah merasa sebenci ini ketika melihat orang lain, tapi melihat Matthew tertawa dengan rekan setimnya, muncul keinginan dalam pikiran Lucia untuk melempar laptop ke wajah itu. Dia benar-benar benci melihat bocah laki-laki itu.


Di sisi lain gemerlap Jakarta, tepat di depan pintu sebuah apartemen mewah di kawasan Kasablanka, Matthew memencet bel dengan gestur tak sabar dan keras. Dari dalam, samar-samar terdengar suara sahutan yang terburu-buru, diikuti langkah kaki cepat yang berlari menuju pintu, berniat menghentikan bunyi bising yang memecah ketenangan apartemen.

"Sabar kenapa, sih!" keluh Dito, begitu ia membukakan pintu.

"Kenapa lu nggak bilang ke gue kalau di kantor itu ada Kak Lucia!" semprot Matthew, langsung menerobos masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu izin dari sang pemilik.

Sambil menutup pintu dengan dahi berkerut penuh kebingungan, Dito bergumam, "Siapa?" Ia mengekori Matthew yang sudah menjatuhkan diri di sofa ruang tamu dengan wajah masam dan tegang.

"Kak Lucia! Guru PPL di SMA kita dulu!" Matthew menekankan kalimatnya, disuarakan dengan kekesalan yang memuncak.

Dito tidak langsung menyahut. Ia duduk perlahan di sofa seberang, matanya sempat melirik refleksi lampu kota di jendela apartemennya yang superbesar. "Ah!" pekik Dito kemudian, sorot matanya langsung berbinar saat memori itu muncul. "Kakak yang cantik itu!" Ia akhirnya ingat betul sosok yang dahulu sempat mencuri perhatiannya di masa SMA.

"Iya! Dia ada di tim yang gue pegang!" Matthew menekan kata-katanya, suaranya dipenuhi kekeruhan.

Lihat selengkapnya