"ARRRGGH!" Amukan Lucia meledak, kakinya menghentak kasar di ubin rooftop kantor hingga lantai terasa bergetar. "Bocah sialan!" Umpatannya meluncur tajam. Wajahnya merah padam, napasnya berderu panas dan penuh emosi yang tertahan.
Kelakuan bocah itu memang kian hari kian melampaui batas.
Kemarin, Matthew dengan seenaknya melimpahkan area penanganan tim Sales baru ke dalam lingkup kerja Lucia. Padahal, Lucia sudah kewalahan mengurus area Jakarta Barat, Timur, dan Pusat. Sementara Anggi hanya menangani area Jakarta Utara dan Selatan yang jauh lebih ringkas. Matthew tanpa tedeng aling-aling memberinya tugas tambahan untuk mengelola area Bogor. Siapapun di tim Sales dan Sales Support tahu betul bahwa area itu sangat luas, memiliki tim Sales yang banyak, dan jaringan toko di sana mencatat volume penjualan serta komplain tertinggi. Memberikan area itu ke Lucia sama saja memastikan Lucia tidak akan bisa menikmati hari libur, bahkan di akhir pekan sekalipun.
Bukan berarti Lucia tidak tahu motif di balik perlakuan menjengkelkan itu. Dua hari sebelumnya, pasca insiden di pantry, Lucia berhasil menyudutkan Matthew dalam sebuah rapat. Sebagai pimpinan baru yang belum sepenuhnya menguasai SOP dan seluk-beluk masalah produk, Matthew sempat keliru dalam menjawab dan memberikan pendapat.
Jika itu menimpa rekan kerja lain, Lucia pasti akan memaklumi dan membimbing dengan rendah hati. Tetapi ini Matthew, bocah sombong dan kurang ajar. Ini adalah kesempatan emas bagi Lucia untuk menunjukkan siapa yang lebih senior, baik dari segi usia maupun pengalaman kerja yang teruji.
"Jadi Mas Matthew belum baca SOP-nya, kah?" Pertanyaan itu terkesan lugu, dilemparkan dengan nada bersahabat dan tatapan polos yang mematikan.
Namun, seisi ruangan tahu, itu adalah sarkasme yang ditujukan kepada pimpinan baru yang terlihat bodoh di mata bawahan. Bagi Matthew sendiri, itu adalah upaya terang-terangan untuk merendahkan dirinya dihadapan kolega. Sebuah perlakuan yang paling ia benci dan paling membuat emosinya memuncak hingga nyaris meledak tak terkendali.
Dan hari ini, Matthew kembali menuntut Lucia untuk membuat ulang laporan bulanan terkait penjualan dan kontrak. Alasannya? Perhitungan transaksi dalam laporan itu hanya memuat data bulan yang dilaporkan dengan perbandingan bulan sebelumnya. Ia meminta laporan diubah dengan perbandingan tiga bulan ke belakang. Padahal, laporan komprehensif semacam itu seharusnya tercakup dalam Laporan Per Kuartal yang baru akan disiapkan di awal bulan depan. Memintanya mengubah laporan bulanan saat ini, sama saja memberikan beban kerja ganda yang sia-sia dan menguras tenaga.
Matthew memberikan alasan lain: format font yang digunakan Lucia tidak standar dan sulit dibaca oleh tim Sales di lapangan, sebuah alasan palsu yang dibuat-buat, sebab font tersebut sudah menjadi standar baku selama dua tahun terakhir.
Tentu saja, Lucia tahu persis motif sebenarnya di balik limpahan pekerjaan tak penting dan berlebihan yang menguras energinya ini.
Kemarin, Lucia melancarkan serangan balik senyap. Ia meminta persetujuan (approval) untuk pengubahan harga dan diskon bagi dua puluh toko yang berada di bawah areanya. Setiap toko memiliki ketentuan yang unik, harga yang berbeda, dan skema diskon yang bervariasi, disesuaikan dengan perjanjian kontrak dan promosi yang mereka ambil. Ini memang bagian dari tanggung jawab Matthew sebagai Head of Sales. Namun, Lucia sengaja mengajukan permintaan ini tepat di penghujung hari, hanya setengah jam sebelum jam pulang kerja.
Semua persetujuan ini harus diselesaikan hari itu juga. Matthew harus memeriksa ulang keseluruhan detail kontrak, harga, promo, dan area toko satu per satu sebelum memberikan approval, sebab konsekuensi dari kesalahan sekecil apa pun akan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya.
Jelas sekali, Matthew terpaksa lembur malam itu.
Nampak jelas tak ingin membuang waktu, Matthew langsung membalas tuntas di hari Jumat ini. Ia menetapkan tenggat waktu yang mustahil bagi Lucia: laporan yang sudah diperbarui harus sudah tersedia di mejanya pada Senin pagi, untuk dilaporkan dalam rapat manajemen. Balasannya mematikan, memaksa Lucia untuk lembur di Jumat malam ini, atau jika Lucia bersikeras pulang, pekerjaan berat itu harus dirampungkan di hari akhir pekan. Matthew memastikan, waktu libur Lucia hangus sebagai kompensasi atas lembur paksa yang ia alami.
"ARRRGH!" Erangan frustrasi Lucia memecah keheningan di udara. Ia membanting tubuhnya duduk di kursi santai yang tersedia di rooftop gedung. Beruntung hari itu cuaca lumayan mendung dan berangin kencang. Seandainya terik, di posisi terbuka ini, sinar matahari pasti akan membanjiri wajahnya dan membakar kulitnya tanpa ampun—situasi yang akan sama buruknya dengan suasana hatinya.
"Di sini lu rupanya!" seru Anggi, muncul dari balik pintu rooftop sambil membawa sepotong sandwich di tangannya. "Nih buat lu," ia menyodorkan makanan itu ke Lucia. "Gue tahu lu belum makan."
"Thanks," ucap Lucia tak bersemangat, mulai menggigit sandwich itu dan mengunyahnya dengan enggan.