Sepanjang akhir pekan, Matthew yang disibukkan dengan persiapan pindah ke rumah baru dan urusan mengurus neneknya dari panti jompo, nyaris tak mengingat obrolannya yang mengganggu dengan Dito pada Jumat malam.
Namun hari ini, di Senin kelabu yang terasa memanjang, ketika hujan mengguyur tipis-tipis tanpa henti dan lampu kantor harus dinyalakan karena ruangan terlalu remang tanpa cahaya matahari, matanya terus tertambat pada sosok Lucia.
Saat tiba, ia mendapati laporan yang ia minta revisi sudah tertata rapi di atas mejanya. Lembar demi lembar ia periksa seksama. Semua disiapkan dengan sempurna, bahkan tak ada satu pun kesalahan ketik yang bisa ia jadikan celah. Entah apakah wanita itu lembur hingga larut pada Jumat malam, atau ia mengorbankan akhir pekan untuk menyusun ulang dua puluh halaman laporan itu.
Memikirkannya, Matthew merasakan setitik rasa bersalah menyentuh nuraninya. Tetapi, ketika ia kembali mengingat tindakan Lucia yang sama picik dan provokatif, yang membuatnya lembur hingga hampir tengah malam di kantor, ia merasa bodoh karena sempat merasakan penyesalan.
Sebelumnya, Matthew tak pernah menimbang-nimbang kebenaran perihal masa lalu mereka. Namun, setelah percakapan dengan Dito, keraguan itu mulai menghantui.
Kenapa, sejak pertama kali bertemu kembali, Lucia memancarkan tatapan benci yang merendahkan? Mengapa wanita itu menyindirnya sebagai murid kurang ajar yang membuatnya trauma menjadi guru? Ya, kejadian itu memang tidak menyenangkan bagi kedua belah pihak, tetapi haruskah Lucia bereaksi hingga sedramatis itu?
Matthew semakin tertarik mengamati sosoknya. Semakin ia perhatikan, semakin ia sadar bahwa Lucia adalah orang yang tertutup, pendiam, dan acuh tak acuh terhadap keberadaan orang lain di sekitarnya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya di lingkungan kantor hanya seputar pekerjaan. Ia tidak bergosip, tidak berbisik-bisik membahas isu panas, seperti wanita-wanita lain. Ia hanya duduk diam, di balik layar laptopnya yang dipenuhi stiker warna-warni.
Stiker warna-warni bergambar robot? Kontradiksi itu menarik perhatian Matthew. Mengapa hal itu terasa sangat berlawanan dengan kepribadiannya yang dingin dan tertutup? Apakah itu ditempel oleh anaknya? Ah, tidak mungkin. Gosip yang beredar luas menjelaskan bahwa Lucia dan David berpacaran selama tiga tahun, putus diam-diam, dan David tiba-tiba bertunangan. Lucia saat ini menyandang predikat 'yang dicampakkan'. Jika ia sudah menikah atau punya anak, predikat itu pasti sudah lenyap. Jadi, stiker itu bukan ditempel oleh anaknya. Dia belum menikah, apalagi punya anak.
"Hmm," dehem Matthew pelan, tidak sadar bahwa pandangannya tidak beralih dari Lucia selama hampir sepuluh menit penuh.
Kini, ia kembali memikirkan kemungkinan bahwa ia salah menuduh lima tahun lalu.
Bagaimana jika memang bukan Lucia guru PPL yang Sana maksud? Orang yang dingin, kaku, dan tidak tertarik dengan urusan orang lain itu, untuk apa bersikap iseng apalagi sampai bertaruh untuk seorang anak SMA? Wajahnya yang datar dan tatapannya yang minim emosi sama sekali tidak memperlihatkan ketertarikan untuk bermain-main dengan hal semacam itu.
Namun, Matthew menepis keraguan itu sejenak. Semua masih spekulasi. Sampai benar-benar menemukan kepastian, wanita itu tetap menjadi tersangka utama dalam ingatannya.
Mungkin, di seluruh dunia ini, tak seorang pun yang benar-benar memahami apa yang Matthew pikirkan dan rasakan terkait kejadian di masa lalunya itu. Jika hanya dilihat dari permukaan, insiden itu mungkin hanya dianggap sebagai ketersinggungan sepele atau kesalahpahaman belaka.
Namun, bagi Matthew, masa-masa itu adalah kenangan paling buruk, sebuah memori kelam yang ia paksa dirinya sendiri untuk terus mengingat. Meskipun menyakitkan dan memuakkan, ia telah bersumpah pada dirinya sendiri untuk tak akan pernah melupakan setiap detil pahit dari periode tersebut.
Dua hari sebelum insiden itu, di pagi yang terang benderang, ketika cahaya matahari bahkan menembus masuk ke dalam kelas meski gorden sudah tertutup rapat, badai itu datang.
Berita tentang penangkapan ayahnya yang seorang anggota dewan terhormat, karena kasus korupsi besar, langsung menimbulkan riuh redam di dalam kelas. Dalam hitungan beberapa jam saja, kabar itu menyebar laksana api ke seluruh penjuru sekolah. Matthew seketika menjadi objek cibiran dan pusat perhatian yang menyakitkan.
Ia bahkan tak sanggup pergi ke kantin.
"Jangan pulang, tetap di sekolah," bunyi pesan singkat dari ibunya.
Kalimat itu mengunci tubuhnya di dalam kelas, menahannya secara fisik. Padahal, hati dan pikirannya sudah resah melalang buana, berpacu kencang dalam pusaran rasa malu dan kecemasan yang tak tertahankan.
Berita tentang kasus korupsi ayahnya kian membakar, menyeret nama artis terkenal dan pengusaha ternama. Keadaan di rumah Matthew benar-benar kacau balau; atmosfernya berat dan penuh ketegangan. Matthew benar-benar mengurung diri di dalam kamar, dari saat pulang sekolah hingga pagi menyingsing.