Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #7

6. Menyerah karena Tahu Diri

Lucia menggeliat di kasurnya, baru tersadar kalau dia ketiduran setelah mendengar suara getaran ponselnya yang tak henti-henti.

Kelopak matanya terasa berat saat ia berusaha membukanya, namun cahaya oranye senja yang menyilaukan menyeruak masuk dari jendela kamarnya yang terbuka lebar, menghujam pandangannya dan membuatnya kesulitan untuk melihat. Tangannya sibuk meraba ke permukaan kasurnya, mencari letak ponselnya yang masih terus-terusan bergetar.

"Halo?" ucapnya setengah mengerang, suara seraknya masih diliputi sisa kantuk yang lekat.

"Cia!" seru Lutva dari seberang saluran. "Jadi Adam gimana? Kata dokter apa?" tanyanya panik tanpa basa-basi.

Ah, Lucia baru teringat. Seharusnya ia segera mengabari kakaknya setelah pemeriksaan luka di dahi ponakannya itu selesai. Karena terlalu direpotkan oleh urusan administrasi dan obat-obatan di rumah sakit, ia benar-benar lupa. Begitu sampai di rumah, ia langsung merebahkan diri di kasur, berniat menikmati sisa cuti setengah hari yang jarang ia dapatkan. Alhasil, kakaknya tak mendapat kabar darinya sama sekali.

Kini, dengan mata masih separuh terpejam, ia melirik jam dinding. Sudah dua jam ia tertidur. Pantas saja matahari sudah mulai tergelincir dari puncaknya, dan jelas Lutva panik, mungkin dia sudah menelpon berkali-kali sejak tadi. "Baik-baik aja. Lukanya nggak parah, nggak perlu dijahit," terangnya, berusaha menenangkan.

"Bukan di-bully, 'kan dia?" Lutva mengulang lagi pertanyaan yang sudah ia lontarkan saat meminta Lucia menjemput Adam di sekolah hingga waktu mereka menunggu giliran periksa di rumah sakit.

"Bukan," jawab Lucia. "Beneran jatuh pas main bola. Namanya juga anak laki-laki." Ia tahu, Lutva adalah kakak yang mudah panik dan tidak akan tenang sebelum melihat keadaan anaknya langsung.

"Lu kapan sampai rumah?" tanya Lucia, mengalihkan topik.

"Setengah jam lagi mungkin, macet nih!" Terdengar Lutva berbicara kepada seseorang. "Yaudah, titip Adam ya. Jangan lupa kasih makan."

"Oke," balas Lucia singkat. Ia bangkit perlahan, berjalan keluar kamar. "Dam, Adam!" serunya memanggil keponakannya yang berusia tiga belas tahun itu, tapi tidak ada sahutan.

Ia bergerak menuju kamar anak itu, mengetuk dua kali, lalu menekan kenop dan mendorong pintu terbuka. Dari celah pintu, ia melihat Adam sudah terlelap di kasurnya. Senyum otomatis tersungging di bibirnya. Ternyata bukan hanya dia yang ketiduran, keponakan pun sama. Dengan hati-hati, ia menutup kembali pintu dan berjalan menuju dapur sambil mengikat rambutnya.

Namun, saat kakinya hampir mencapai ambang pintu dapur, telinganya menangkap suara berisik dari halaman bawah. Ia bergeser ke arah jendela ruang tamu, mengintip. Rupanya beberapa kurir logistik sedang sibuk mengangkut kardus-kardus besar dan menumpuknya di halaman.

"Hmm, benar-benar pindah hari ini rupanya," gumam Lucia, masih mengawasi barang-barang yang diangkut di dalam kardus yang bisa terlihat dari posisinya.

Dalam hati, keraguan masih membelenggu Lucia. Apakah keputusan Lutva menyewakan lantai bawah adalah pilihan yang tepat?


Rumah mereka memang sedikit unik, berbeda dari desain rumah dua lantai pada umumnya. Alih-alih tangga penghubung di dalam, rumah ini memiliki tangga eksternal. Itu adalah ide mendiang ayah mereka, yang ingin memberikan privasi dan kemandirian kepada anak-anaknya. Hasilnya, rumah yang sejatinya satu itu terasa terbagi menjadi dua bagian: saling terhubung, namun pada saat yang sama terpisah hampir sepenuhnya.

Lantai satu dulunya adalah tempat Ayah dan Ibu tinggal. Di sana terdapat ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan kamar tidur. Dengan luas tanah yang tak sampai seratus meter persegi, Ayahnya mampu membuat lahan sempit itu menjadi compact dan nyaman.

Namun, sepeninggal kedua orang tua mereka yang wafat dalam waktu berdekatan, baik Lutva maupun Lucia memilih untuk tidak lagi menginjakkan kaki di lantai itu. Ruangan itu pun tersegel rapat selama lima tahun, bagai ruang yang membeku dalam waktu. Meski berusaha diabaikan, kehadirannya terus mengganggu; setiap kali melintas menuju lantai dua, pandangan mereka tak bisa tidak tertumbuk pada pintu lantai satu yang selalu tertutup itu.


Rasa kehilangan yang mendalam membuat hati mereka terlalu rapuh untuk kembali menghadapi ruang itu. Setiap kali teringat betapa besar cinta Ibu kepada Ayah, dan betapa tersiksanya hidup Ibu setelah kepergiannya, luapan sedih, marah, dan kecewa pun menyatu.


Ruangan itu bagai kotak memori yang enggan dibuka oleh Lutva dan Lucia. Sebuah saksi bisu dari cinta yang sekaligus menjadi kekuatan dan kelemahan, pilu, namun tak terelakkan.

Lihat selengkapnya