Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #8

7. Kejutan Pertemuan Lain

"Matthew?!" seru Lucia. Begitu kagetnya, ia lupa menyematkan panggilan "Mas" yang biasa digunakan di kantor.

"Kak Lucia?!" balas Matthew spontan, sama terkejutnya sampai tanpa sadar memanggil Lucia dengan sebutan "Kak" ala masa sekolah, bukan "Mbak" yang lazim ia ucapkan di tempat kerja.

“Lagi ngapain disini?” tanya Lucia refleks. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu pria ini di lingkungan rumahnya.

Kemarin, setelah bersusah payah mengatur skenario agar bisa berbicara empat mata dengannya untuk meluruskan masa lalu, ia pulang dengan tangan hampa. Pria yang bahkan belum genap dua minggu bekerja itu ternyata mengambil cuti dadakan, sebuah kemewahan yang tidak pernah terbayangkan, apalagi bagi karyawan korporat yang sudah bertahun-tahun seperti Lucia.

Namun, sore ini, di saat senja hampir beranjak menjadi malam, di gang kecil dekat rumahnya yang dihiasi got mampet mengeluarkan bau anyir samar karena bangkai tikus, Lucia mendapati pria itu sedang berjalan santai sambil merokok. Di tangannya tergantung sekantong jeruk, sementara ia sendiri hanya mengenakan kaos oblong lusuh dan celana pendek yang lebih pantas dipakai di dalam rumah.

“K-Kak Lucia sendiri, ngapain di sini?” Matthew tergagap, buru-buru menyembunyikan rokoknya di belakang punggung.

“Ini kan daerah rumah gue!” sahut Lucia, masih setengah melotot. Pikirannya berputar mencari penjelasan untuk kemunculan Matthew yang tak lazim ini.

Biasanya, pria ini selalu tampil necis dengan kemeja dan celana bahan, harum parfum mahal, menentang kopi branded di pagi hari dan lebih sering makan siang di restoran mewah bersama para direksi. Beberapa kali dia memang muncul di kantin karyawan, tapi lebih seperti gelagat sengaja untuk menunjukkan bahwa dirinya "low profile".

Dari jam tangan, tas, sepatu, hingga botol minum di mejanya, semua merek yang harganya membuat Lucia mengernyit. Baginya yang lebih mementingkan fungsi daripada gengsi, gaya hidup Matthew terasa berlebihan.

Tapi kenapa sekarang dia ada di sini? Dengan penampilan yang serba santai, bahkan cenderung lusuh, seolah menunjukkan sisi lain yang sama sekali berbeda dari persona kantornya.

“Aku lagi main ke rumah teman,” jawab Matthew terbata-bata.

“Ooh,” angguk Lucia pura-pura menerima jawaban itu, meski rasa penasarannya justru menggelembung. Masa temannya ada di daerah seperti ini?

Tak lama, ponsel di tangannya bergetar. “Halo?” sambutnya, berpaling dari Matthew meski dari sudut matanya ia tahu pria itu masih berdiri kaku.

Seperti ingin kabur, tapi bingung harus bagaimana.

“Lu udah sampai di tukang mie ayam? Jangan lupa gue gak pake sawi ya!” seru Hadin di seberang.

“Iya, iya!” jawab Lucia enggan, sambil melirik Matthew yang masih terdiam. “Duluan aja,” bisiknya pada Matthew, mengibaskan tangan setengah mengusir.

Matthew yang sejak tadi mencari cara untuk menghindar, langsung mengangguk lega dan segera pergi.


Begitu Matthew hilang dari pandangan, Lucia melanjutkan langkah menuju ujung gang. Panggilan dengan Hadin masih tersambung, suaranya terdengar samar-samar di telinganya.

"Lu ngomong sama siapa barusan?" tanya Hadin penasaran. Dari seberang, ia mendengar gumaman Lucia yang tak jelas.

Bukannya menyahut, Lucia malah bertanya balik dengan suara berbisik, meski tak ada siapa-siapa di sekitar yang bisa mendengarnya. "Lu tau gue barusan ketemu siapa?"

Gang sempit yang bau ini memang selalu sepi saat senja, menjelang malam. Anak-anak kecil yang biasa berlarian, sedang dipaksa mandi atau disuapi makan malam oleh ibu mereka, para remaja sibuk dengan tugas sekolah, dan bapak-bapak kebanyakan belum pulang kerja. Beberapa jam lagi, suasana akan berubah ramai, terutama di ujung gang, dekat pos ronda yang akan menjadi titik kumpul paling hidup di lingkungan ini. Orang-orang akan berkumpul dan bercengkrama.

Lihat selengkapnya