Di kantor, dinamika antara mereka berubah drastis.
Matthew yang biasanya dengan percaya diri menyapa setiap karyawan, justru menunduk cepat ketika berpapasan dengan Lucia di koridor. Tangannya yang biasa tergantung santai di saku celana, kini kaku di samping tubuhnya. Bahkan saat rapat departemen, pria yang duduk berseberangan dengan Lucia itu memilih duduk di ujung meja terjauh, seolah-olah ada medan magnet tak kasat mata yang mendorongnya menjauh.
Lucia yang awalnya menikmati "kemenangan" kecilnya, mulai merasa heran. Beberapa kali ia menangkap mata Matthew sedang menatapnya dari balik monitor laptop, namun segera berpaling ketika ketahuan. Suatu ketika di pantry, ketika Lucia sedang mengambil kopi, Matthew yang masuk tiba-tiba berbalik badan dan pura-pura lupa membawa sesuatu, meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa.
Yang paling membuat Lucia penasaran adalah ketika jam makan siang. Biasanya Matthew dengan ramah mengajak siapa pun yang dia temui untuk makan bersama, tapi kini dia memilih memesan makanan online dan makan di pantry sendirian. Saat Lucia melewatinya, dia melihat Matthew sedang memainkan makanannya dengan gugup, sendok nasi terangkat-turun tanpa pernah sampai ke mulutnya.
Perubahan ini tidak luput dari perhatian Anggi, ia sempat berbisik, "Kenapa itu orang kok jadi ngehindar dari lu?"
Lucia hanya mengangkat bahu, tak ingin dan tak bisa membagi cerita apapun ke Anggi, tapi dalam hati ia mulai bertanya-tanya: apakah ini efek dari perjanjian mereka, kenapa mendadak dia jadi kasihan dengan pria ini?
Matthew sama sekali tak mampu merumuskan kekacauan yang menggerogoti batinnya. Selama ini, ia membangun persona yang ia tunjukkan di kantor dengan susah payah, sebuah citra pria mapan dan percaya diri yang kini terasa semakin rapuh. Padahal, hanya Lucia yang mengetahui rahasia tentang tempat tinggal barunya yang sederhana. Dan meski wanita itu setia menjaga rahasianya, bahkan cenderung mengabaikannya, Matthew justru diliputi kegelisahan yang tak tertahankan.
Bayangan masa lalu yang suram kembali menghantuinya, kenangan akan hari-hari di SMA ketika ia menjadi bulan-bulanan direndahkan karena keadaannya yang berubah. Kini, dengan Lucia mengetahui "celah" dalam benteng pertahanannya, Matthew merasa sangat rentan. Bagaimana jika satu per satu rahasianya terbongkar? Bagaimana jika citra yang ia bangun dengan susah payah runtuh berantakan?
Keresahannya kian menjadi dengan kembalinya Rubi ke kantor. Perempuan itu baru saja pulang dari cuti panjangnya, setelah berkeliling Eropa, sebuah kemewahan yang jadi bahan obrolan semua orang di departemen sebelah. Matthew telah mempersiapkan diri berbulan-bulan untuk menghadapi Rubi. Ia menghabiskan banyak uang untuk membangun image pria sukses dan berkelas, demi bisa sejajar dengan gadis itu.
Namun kini, dengan adanya Lucia, satu-satunya orang yang mengetahui bahwa kepercayaan dirinya dibangun diatas pondasi yang rapuh, Matthew merasa semua usahanya sia-sia. Keberaniannya untuk mendekati Rubi dalam waktu dekat pun menguap, tergantikan oleh keraguan yang menyiksa.
Ia pun tak bisa berbagi dengan Dito, sahabatnya yang sudah mengetahui semua sisi terlemahnya. Meski Dito adalah satu-satunya orang yang pernah melihatnya jatuh dan bangun, Matthew masih terlalu gengsi untuk mengakui bahwa ia masih sama seperti dulu, seorang pemuda yang rapuh dan tak percaya diri, yang bersembunyi di balik topeng keberhasilan semu. Di hadapan sahabatnya itu, ia masih harus menjaga sisa-sisa harga diri yang ia punya.
Begitu notifikasi di layar laptopnya berdering, Matthew tersentak dari lamunannya. Matanya berbinar sekilas sebelum jemarinya dengan gesit menggerakkan touchpad untuk membuka pesan di ruang obrolan internal kantor.
Dari: Lucia Andrea
Ke rooftop, ada yang mau gue obrolin.
Refleks, matanya langsung mencuri pandang ke arah Lucia yang sedang berdiri dari kursinya dan berjalan meninggalkan ruangan. Jantungnya berdebar, diiringi oleh kecemasan yang membara. Apa yang mau dibicarakan wanita itu? Apa dia tidak sengaja membocorkan rahasia tempat tinggalnya? Atau jangan-jangan dia menolak perjanjian itu?
Setelah mengulur waktu dua menit agar tidak terlihat berbarengan, Matthew akhirnya beranjak dari kursinya. Langkahnya berdentum berat menuju lift, naik ke lantai rooftop. Begitu mendorong pintu besi berat yang berdecit, matanya langsung menangkap sosok Lucia yang sedang bersandar di pembatas, memandangi langit senja yang mulai memerah.
"Ada perlu apa?" tanyanya, suaranya terdengar lebih kasar dari yang ia rencanakan.
Lucia berbalik. Tatapannya yang tenang namun tajam seakan menusuk langsung ke dalam diri Matthew. Wanita itu menarik napas dalam, padahal awalnya ia sempat berniat menggunakan kesempatan bicara empat mata ini untuk menanyakan kejadian lima tahun lalu. Namun setelah memperhatikan sikap Matthew yang terus menghindar, gugup, dan penuh kecemasan, niatnya itu pun menguap. Bagaimanapun, pria di hadapannya ini masih seperti anak kecil, dia bahkan bersikap defensif hanya karena hal sepele. Entah hal remeh apa yang membuatnya bersikap seperti itu lima tahun lalu. Lucia jadi enggan mendengar alasannya, takut kebenciannya selama lima tahun ini ternyata terlalu konyol.
"Lu gak perlu takut," ujar Lucia kemudian, melangkah mendekat. "Gue gak akan bocorkan rahasia lu ke siapa pun di kantor. Gue gak tertarik menyebarkan kekurangan orang lain. Jadi, lu bebas melakukan apa pun, asal tepati janji lu untuk gak mengganggu gue."
Rok hitamnya berkibar ditiup angin, kemeja kremnya yang separuh teruraiĀ dan separuh masuk ke dalam rok membuat penampilannya terlihat acak-acakan. Rambutnya yang dikuncir kuda, berayun alami mengikuti langkahnya. Namun di balik kesan sederhananya, tatapan matanya penuh keyakinan dan kata-katanya blak-blakan, membuat Matthew terpana.
"Lagipula, gue kan bawahan lu," Lucia melanjutkan, kini sudah berada tepat di hadapannya. "Gue tahu tempat. Gue gak akan kurang ajar. Jadi, bersikap kayak biasa aja. Intinya, mau lu ngapain, gue gak peduli." Tanpa menunggu balasan, ia berjalan melewati Matthew dan meninggalkan rooftop.
"Hah!" Matthew mendengus, kedua tangannya menolak pinggang sambil menatap langit yang berubah merah keunguan. "Dari mana datangnya kepercayaan diri dan sikap masa bodohnya cewek itu?"