Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #10

9. Sama Sekali Tak Sepaham

“Apa cuma salah dengar?”

Matthew mengecilkan volume televisi, mempertajam pendengarannya. Barusan, ia seperti mendengar ketukan di pintu. Pikirnya mungkin suara dari kamar neneknya, tapi dari dalam rumah tak ada bunyi apa pun.

Pintu diketuk lagi. Kali ini jelas dari depan. Ia beranjak dari sofa dan membuka pintu selebar celah. Pakaian tipis dan celana pendek yang ia kenakan membuatnya enggan berhadapan dengan siapa pun. "Siapa?" tanyanya, tak mengenali pria di balik pintu.

Hadin tersenyum, mengangkat piring berisi kue. "Dari lantai atas," katanya. Matthew paham, sejak tadi ia mendengar riuh-rendah suara perayaan ulang tahun dari atas.

Ia membuka pintu lebih lebar, "Makasih," ujarnya siap menerima piring itu.

Tapi Hadin justru menariknya kembali. "Makan bareng, yuk? Ada yang mau gue obrolin." Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan duduk di bangku kayu di halaman, tempat favorit keluarga Lucia untuk bersantai.

Dengan ragu, Matthew mengikutinya, duduk dengan kaku di samping Hadin.

"Lu inget gue gak?" tanya Hadin.

Matthew menyipitkan mata, berusaha mengingat. "Siapa?"

Hadin mengangguk, tertawa kecil. "Lucia kan dulu guru PPL di sekolah lu," katanya, menohok.

Matthew tercekat. Ia tak pernah secara terbuka mengakui hal ini di depan Lucia, tapi jika Hadin, yang tampaknya dekat dengan Lucia, tahu, berarti Lucia memang sudah mengenalinya sejak awal.

"Iya. Terus?" jawabnya singkat.

"Gue juga PPL di sana, bareng Lucia!" ungkap Hadin.

Sekarang Matthew sadar. Wajah Hadin memang tak asing, meski samar dalam ingatan tapi dia yakin pasti pernah melihat cowok ini sesekali di sekolah dulu.

Melihat Matthew diam, Hadin melanjutkan, "Sebenarnya apa sih yang ada di pikiran lu waktu itu, sampai ngomong begitu ke Lucia?"

Rahang Matthew menegang. Jika Lucia sudah blak-blakan, Hadin seratus kali lebih tak terkendali. Orang yang baru dikenalnya ini, yang datang malam-malam, tiba-tiba melontarkan pertanyaan berbahaya dengan santai.

"Kenapa gue harus jawab ke lu?" balas Matthew, suaranya terdaga defensif. Di dalam hati, ia berusaha melindungi diri, khawatir tanpa sengaja mengungkap sesuatu yang tak seharusnya didengar orang lain. Tapi mungkin di telinga Hadin, pasti terdengar seperti serangan.

Tapi bukannya tersinggung, Hadin malah kembali menyunggingkan senyum. "Ternyata lu bisa ngomong lu-gue. Kata Cia, lu di kantor cuma bisa bilang aku-kamu," ejeknya ringan.

Alis Matthew berkerut. Pria ini memanggil Lucia dengan sebutan akrab "Cia". Mereka jelas memiliki kedekatan yang tak dimilikinya. Dan Lucia ternyata bercerita tentang kebiasaan bicaranya kepada pria ini? Pertanyaan yang dari tadi mengendap kembali muncul: sebenarnya apa hubungan Lucia dengan Hadin? Setelah ada David dan Vino, kini pria ini. Berapa banyak lelaki yang mengelilingi wanita itu?

"Lu tau gak," celetuk Hadin tiba-tiba, "Gara-gara omongan lu waktu itu, Lucia harus menghadapi banyak masalah?"

Matthew terkesiap. Meski diucapkan dengan senyuman, ia tahu ini adalah pertanyaan serius. "Masalah apa?" tanyanya berhati-hati.

Hadin pun bercerita secara singkat tentang dampak ucapan Matthew di lorong sekolah dulu. Bagaimana Lucia harus berhadapan dengan gosip yang menyebar, interogasi dari pihak sekolah dan kampus, nilai akademis yang anjlok, hingga trauma yang membuatnya mengubur cita-cita menjadi guru.

Mendengar itu, Matthew teringat ucapan Lucia di pantry beberapa waktu lalu: "Gara-gara ada satu anak kurang ajar di sekolah itu, yang bikin saya trauma buat jadi guru." Rupanya itu adalah pernyataan jujur dari pengalaman nyata. Dan "anak kurang ajar" itu tak lain adalah dirinya sendiri.

Matthew ingin membela diri, ingin menjelaskan sisi cerita dari sudut pandangnya. Tapi ia belum mendapat konfirmasi dari Dito dan Sana. Tanpa kepastian itu, ia tak bisa menentukan arah pembicaraan ini, apakah akan berujung pada pembelaan atau permintaan maaf. Akhirnya, ia memilih untuk tetap bungkam.

"Yah," Hadin berdiri dari bangku. "Gue cuma mau kasih tau, biar lu nggak cari masalah lagi sama Cia. Jangan sampe kena amuk dia."

Dahi Matthew berkerut. "Dia bisa ngamuk? Selama ini kelihatannya tenang dan kalem," tampiknya reflek, saking tak percaya.

Tawa meledak dari Hadin. "Cia? Tenang? Kalem?" Tangannya memegangi perut yang terasa melilit.


Melihat reaksi berlebihan itu, Matthew hampir tak mampu menyembunyikan kejengkelannya.

Lihat selengkapnya