Setelah percakapan di rooftop dan interaksi singkat di bangku kayu halaman, kehidupan kantor mereka kembali berjalan seperti biasa. Normal, dalam arti tak lagi saling mengganggu. Lucia tak pedulikan sikap Matthew di kantor, sementara Matthew tak lagi ragu menunjukkan persona buatan atau asli di hadapannya. Semua berjalan lancar, tampak sama, namun seolah ada sesuatu yang halus telah bergeser.
Apakah ini karena mereka mulai terbiasa dengan kehadiran satu sama lain? Atau karena rasa antipati yang berangsur memudar akibat interaksi yang agak sering di rumah? Mereka tak tahu, dan tak berusaha mendalaminya. Keduanya kembali disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, sampai Rubi memasuki ruang rapat.
Hari ini, Tim Sales, Sales Support, dan Legal mengadakan rapat pembaruan kontrak kerja sama dengan beberapa mal. Awalnya Lucia tak banyak memperhatikan gadis berambut coklat bergelombang sepinggang dengan tubuh kecil ramping, bulu mata panjang karena extension mengenakan lipstik warna pink cerah senada dengan dress yang ia kenakan itu. Bagi karyawan senior seperti Lucia, kehadiran Rubi yang baru setahun lebih di perusahaan masih terasa asing. Meski kerap berpapasan, Lucia tak pernah benar-benar menaruh perhatian.
Namun, ketika melihatnya berbicara akrab dengan Matthew, ingatan Lucia tiba-tiba terpicu. Ia baru menyadari, Rubi, primadona kantor ini, adalah mantan pacar Matthew semasa sekolah dulu.
Tanpa disadari, matanya beralih mengamati Matthew. Sebuah pertanyaan mengusik: apakah gadis inilah alasan Matthew bergabung ke perusahaan ini?
“Akrab banget ya,” bisik Anggi di sampingnya, melirik ke Rubi dan Matthew
“Mantan pacarnya,” jawab Lucia singkat.
“Serius?” seru Anggi, suaranya melengking beberapa oktaf lebih tinggi. Meski masih lirih, cukup untuk menarik perhatian seisi ruang rapat, termasuk Rubi.
Gadis berpenampilan imut dan feminim itu langsung menoleh, sorot matanya menyiratkan sinis merendahkan. Dan anehnya, Lucia merasa ini bukan pertama kalinya ia menerima tatapan semacam itu. Selama ini ia tak pernah menghiraukan, namun kini ingatan-ingatan yang tersimpan otomatis di benaknya mulai bermunculan: Rubi pernah melirik sinis padanya di kantin, memicingkan mata saat Lucia mendatangi departemen Legal, dan beberapa momen remeh lainnya yang tiba-tiba terasa signifikan.
Apakah karena Matthew? Atau karena peristiwa lima tahun lalu? Lucia merasa terusik. Ketenangannya terganggu oleh prasangka yang tiba-tiba menggelegak dalam dadanya.
“Kalau gak ada lagi yang perlu didiskusiin, boleh tim Sales Support pamit duluan?” ucapnya tiba-tiba. Ia tak ingin perhatian yang tertuju padanya dan Anggi berubah menjadi spekulasi merugikan. Tatapan Rubi jelas bisa memicu gosip.
“Oke, silahkan,” sahut Vino dari ujung meja, tepat berseberangan dengan Matthew. Diam-diam, ia telah mengamati ketegangan antara Lucia dan Rubi selama beberapa detik tadi, juga Matthew yang berusaha menyembunyikan perhatiannya pada mereka berdua.
Setelah mengucap terima kasih, Lucia dan tim Sales Support beranjak keluar. Vino menyusul, berada di barisan paling belakang.
“Lucia,” panggilnya di ambang pintu. Lucia menengok dan menunggu.
Vino menutup pintu rapat-rapat, menghalangi pandangan Matthew dari dalam ruangan. Dari balik dinding kaca, terlihat Lucia tersenyum ramah padanya.
Sementara di dalam, Rubi yang tengah mengobrol dengan anggota timnya, menaruh perhatian ke tatapan Matthew ke arah luar. Wajahnya berubah masam, ia tak suka hal ini terjadi.
Sejak awal, Rubi tahu bahwa kedatangan Matthew ke perusahaan ini adalah untuk mendekatinya kembali. Beberapa minggu sebelum Matthew resmi bergabung, Dito—teman masa kecil mereka, telah memberi kabar kepadanya. Bagaimanapun, ini adalah perusahaan keluarga Dito, sehingga Rubi sama sekali tidak heran dengan informasi tersebut.