Sepanjang perjalanan dari parkiran menuju rumah, pikiran Matthew masih belum rampung menimbang-nimbang kejadian hari ini. Yang paling mengusik benaknya jelas fakta dalam sikap Rubi yang tiba-tiba berubah. Diawali dengan ajakan makan malam yang spontan, padahal selama ini dia dengan terang-terangan menghindar.
Namun, yang lebih membuatnya terusik adalah apa yang terjadi selama makan malam tadi.
Di suasana yang romantis, dengan menu makanan yang hampir setara dengan pengeluaran Matthew selama seminggu, seorang Rubi yang selalu mengira dunia berpusat di bawah kakinya, malah terus saja menyelipkan nama Lucia dalam obrolan mereka.
Mulanya dengan santai ia bertanya, "Kok bisa sih Lucia jadi bawahan kamu?" Lalu dengan senyum manis yang tak cukup mampu menyembunyikan sengat dalam ucapannya, ia melanjutkan, "Dulu kan dia cuma guru praktikan yang cupu, sering bingung sendiri ngadepin murid-murid."
Matthew hanya mendengarkan sambil memotong steak-nya, namun semakin lama semakin jelas baginya, setiap kalimat Rubi berusaha menggambarkan Lucia dari sisi yang negatif. Ia bercerita tentang betapa "kaku"nya Lucia saat mengajar, betapa "norak" penampilannya dulu, bahkan dengan nada merendahkan ia berkomentar, "Masa sih cuma gara-gara di omong murid dia langsung mental drop? Kalo nggak kuat ngehadapin murid, ngapain jadi guru."
Yang membuat Matthew tercengang adalah dia dengan sengaja menyentuh kejadian lima tahun lalu, persis seperti yang diceritakan Hadin. "Kamu inget nggak dulu dia sempat nangis di kelas gara-gara diolok-olok? Aku dengar itu yang bikin dia berhenti PPL sebelum selesai." Rubi tertawa kecil, seolah itu adalah lelucon yang menggemaskan.
Tapi Matthew bukan orang bodoh. Ia mengenal Rubi, ia tahu pola ini, ini adalah bahasa tubuh dan permainan kata-kata yang lahir dari rasa cemburu. Gadis ini jelas merasa tak nyaman dengan keberadaan Lucia, merasa tersaingi, bahkan mungkin merasa terancam. Padahal sebelumnya ia benar-benar menunjukkan kalau tak lagi punya minat untuk didekati, sampai Matthew mengira kalau rencananya untuk balas dendam akan gagal. Tapi kini, justru kehadiran Lucia, Rubi malah menjadi proaktif. Ini benar-benar aneh dan diluar prediksi.
Begitu pagar rumah terbuka, Matthew langsung menemukan Lucia yang sedang duduk di kursi kayu sembari mengunyah kacang rebus.
“Lama banget lu pulang?” sambut Lucia tanpa basa-basi.
“Kenapa emang?” balas Matthew, tanpa menyadari nada suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia maksudkan.
“Tadi nenek panggil ke atas, minta minum, galon lu kosong!” jelas Lucia singkat.
Mendengar itu, Matthew terkesiap. Selama ini, neneknya hanya diam ketika dia mengajarkan cara menggunakan telepon interkom untuk menghubungi lantai atas. Ia mengira sang nenek tidak memahami atau mengabaikan pelajaran itu. Ternyata, beliau bisa menggunakannya sendiri. Matthew segera mendekat dengan antusias. "Nenek yang nelpon sendiri?" tanyanya untuk memastikan.
“Em,” "Iya," jawab Lucia singkat sambil membuka kulit kacang dengan giginya. “Lain kali kalau mau pulang telat kabarin Lutva, jadi dia nggak ambil kerjaan!” tegur Lucia.
“Sorry, aku gak niat pulang telat tadinya.” ucap Matthew menyesal. Begitu sibuknya pikirannya dengan urusan Rubi sampai ia lupa bahwa neneknya ditinggal sendirian malam ini, karena jam kerja Lutva hanya sampai pukul enam sore. “Jadi Kak Lucia yang isi ulang galonnya?”
“EM!” sahut Lucia kali ini dengan wajah masam. Ia lalu berdiri dari bangku. "Udah, gue balik!" pamitnya. Kini setelah Matthew pulang, tidak ada lagi alasan baginya untuk menjaga nenek dari depan rumah.
“Kak Lucia, kenal Rubi, kan?” lontar Matthew tiba-tiba.
Lucia berhenti melangkah, menoleh dengan tajam. Dalam hatinya, ingin rasanya mengumpat mengingat tatapan sinis gadis itu siang tadi. Juga memaki Matthew karena ucapannya dulu di sekolah masih memiliki dampak negatif yang menghantuinya hingga saat ini. Tapi lagi-lagi ia disadarkan, pria di hadapannya ini, jika bukan atasannya di kantor, maka tak lebih dari sekedar anak-anak. Lucia tak ingin terseret lagi untuk melakukan tindakan yang sama kekanakannya.
Akhirnya, Lucia hanya menghela napas kasar. Tanpa menjawab, ia berbalik dan menaiki tangga, menghilang di balik pintu lantai dua tanpa sepatah kata pun.
"Masa sih cuma gara-gara di omong murid dia langsung mental drop?”
"Kamu inget nggak dulu dia sempat nangis di kelas gara-gara diolok-olok?”
Kata-kata Rubi tadi bergema lagi di benak Matthew, memperdalam rasa bersalah yang telah menghantuinya sejak pembicaraan dengan Hadin. Semakin ia mengenal Lucia, semakin ia ragu apakah benar wanita itulah guru PPL yang dimaksud Sana. Tapi yang aneh adalah perasaannya kini. Saat ia mulai ragu setelah berbicara dengan Dito, dan merasa bersalah setelah mendengar cerita Hadin, pikirannya masih sederhana: cukup meminta maaf. Tapi kini, setelah lebih sering berinteraksi dengan Lucia dan mendengar komentar Rubi tadi, beban itu terasa lebih berat. Ia merasa permintaan maaf saja takkan cukup untuk menebus kesalahan masa lalunya.
Dalam situasi seperti ini, segalanya akan lebih mudah jika guru yang dimaksud Sana benar-benar Lucia. Maka ia akan terbebas dari rasa bersalah dan kewajiban menebus dosa. Karena jika bukan, berarti selama ini tanpa sadar ia telah menghancurkan kehidupan seorang perempuan yang jauh lebih kuat dan bermartabat daripada yang ia kira.
***
"Aduh!" keluh Lucia pelan, menaiki anak tangga darurat yang sepi menuju rooftop. Kakinya sudah terasa pegal, sepatu heels ini jelas bukan pilihan bijak hari ini. Di usia yang hampir tiga puluh tahun, stamina memang tak lagi seperti dulu. Rasa lelah datang lebih cepat, dan tubuhnya pun seolah tak lagi sanggup berlari dari hal-hal yang tak ingin dihadapinya.
Hari ini, sekali lagi ia memilih menghindar dari kantin. Bukan karena Matthew, pria itu sudah tak lagi jadi urusannya, tapi karena Vino.