Lucia mengendap-endap ke arah parkiran yang ada di seberang gang depan rumahnya. Matthew sudah menunggu di dalam mobil lebih dulu, memanaskan mesin sekaligus mendinginkan mobil agar saat Lucia masuk mobil sudah dalam keadaan sejuk. Ia melihat Lucia celingukan sebelum masuk ke mobil. Tingkahnya benar-benar jauh berbeda daripada yang selama ini Matthew lihat.
Wajahnya masih kaku, tatapannya masih memicing, tapi gerak tubuhnya jelas menunjukkan gusar. Dan dia akhirnya duduk di kursi penumpang depan, tak menyangka akhirnya dia benar-benar akan berangkat kerja dengan Matthew, menggunakan mobil fancy yang sering ia cibir dalam hati ini.
Melihat meskipun sudah masuk ke dalam mobil, Lucia masih celingukan memastikan keadaan di luar, Matthew menyunggingkan senyum. “Nggak bakal ada yang lihat, Adam udah berangkat sekolah, Kak Lutva lagi nyuapin nenek pasti,” celetuknya.
Mata Lucia melesat, melirik Matthew dengan tatapan dinginnya yang biasa.
Ada rasa aneh menggelegak dalam dirinya mendapati keadaan ini. Padahal beberapa hari lalu dia masih melihat Matthew seperti melihat kecoak. Tapi dengan keadaan yang serba berubah mendadak ini, kehidupannya tenang yang membosankan—karena memang itu yang dia inginkan—berubah menjadi penuh dinamika. Dan disinilah dia sekarang, di samping Matthew, dalam perjalanan ke kantor untuk melancarkan skenario pura-pura pacaran yang terdengar konyol, bersama cowok yang barusan mengucap anggota keluarganya serta kegiatannya dengan begitu akrab.
Aneh, sungguh aneh. Seperti mendadak punya anggota keluarga baru.
Mungkin kalau ibunya dan ayahnya masih hidup, lalu dia mendadak punya adik bayi lagi, mungkin kurang lebih akan seperti ini perasaannya. Aneh, tapi karena sudah keadaan, jadi tak punya pilihan lain. Kurang lebih begitu.
Tadi pagi ia bahkan merasa dirinya seperti orang bodoh, namun yang lebih bodohnya lagi, ia merasa tak punya pilihan lain selain melakukan hal bodoh itu.
Dia yang sudah terbiasa bangun jam lima pagi dan berangkat ke kantor jam enam, ia berbaring di dalam kamarnya dalam keadaan sudah rapi sampai jam enam lewat. Cuma karena...dia menunggu pesan dari Matthew, aba-aba kalau pria itu sedang bersiap-siap untuk berangkat.
Dan untuk menghindar dari kecurigaan Lutva, dia keluar kamar dengan tergesa—pura-pura ketiduran—lalu bergegas keluar rumah seolah ia takut terlambat sampai ke kantor.
Mengingat kejadian tadi, dia jadi malu sendiri. Tak bisa menduga betapa aneh kelakuan dan ekspresi wajahnya tadi di depan Lutva. Dan yang jadi masalah, apa yang harus dilakukan besok? Masa dia harus pura-pura seperti itu setiap pagi? Ia pun menoleh ke Matthew yang sudah mulai mengendarai mobil keluar parkiran.
“Besok perlu bareng kayak gini lagi?” tanyanya.
“Ya terserah,” sahut Matthew santai sambil memutar kemudi, berbelok masuk ke jalan protokol. “Tapi emangnya kenapa kalau berangkat bareng?”
Mata Lucia bergerak ke sudut. “Ya bingung aja harus bilang apa ke Lutva.”
Dahi Matthew berkerut halus, “Emangnya kenapa? Kan kita emang sekantor, bukannya wajar?”
Bibir Lucia membentuk garis lurus, seraya berpikir sambil memandang ke arah luar dari jendela di sampingnya. Betul juga sebenarnya yang Matthew sebut barusan. Lagi pula Lutva tak akan berkomentar apa-apa, toh mereka bisa dibilang satu rumah, pun satu tempat kerja, bukannya justru aneh kalau tak ada obrolan untuk berangkat bersama? Apalagi dia selalu naik kereta, padahal Matthew mengendarai mobil sendirian. Di mata Lutva, tak akan ada yang ganjil kan? Dia tinggal bilang saja kalau dia patungan uang bensin ke Matthew, pasti kakaknya itu bakal tak ada komentar lagi.
Dan juga, Lutva tak tahu apapun tentang masa lalunya dengan Matthew. Kalau dia sampai tahu, mungkin Matthew tak akan pernah diterima untuk menyewa rumah bawah. Meski kelihatan jauh lebih feminin dan lemah lembut, aslinya Lutva jauh lebih galak dan sadis daripada Lucia. Bahkan Lucia pun lebih takut dengan Lutva daripada orang tuanya dulu.
“By the way, gimana caranya lu akhirnya bisa sewa rumah gue?” cetus Lucia kemudian, penasaran.
“Aku-kamu!” seru Matthew.
“Ha?” Alis Lucia naik sebelah.
Matthew menengok sekilas ke Lucia sebelum kembali menatap jalan di depan mobil. “Pakai aku-kamu, harus biasa kayak gitu.”