Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #15

14. Kaku Natural, Natural Kaku

Rencana awalnya, mereka sengaja berangkat bersama agar terlihat oleh seseorang—entah Vino atau Rubi—saat turun dari mobil di area parkir karyawan perusahaan mereka. Setiap perusahaan yang ada di gedung ini memang mendapat jatah wilayah parkir masing-masing.

Namun, setelah lima belas menit mengobrol dan akhirnya terdiam sambil memainkan ponsel masing-masing, kedua orang yang mereka tunggu tak kunjung muncul. Akhirnya mereka menyerah dan meninggalkan parkiran, daripada telat datang ke rapat pagi.

Di dalam lift yang langsung menuju lantai kantor mereka, Lucia mengkeret di pojok kiri, berusaha menjauh dari Vino yang berdiri di seberang. Meski sudah sepakat berpura-pura pacaran, nyatanya Lucia masih resah dan takut dilihat mesra oleh rekan-rekan sekantor yang memadati lift itu.

Matthew menoleh ke arah Lucia. "Kenapa?" bisiknya tanpa suara saat ia menatapnya.

Lucia tidak menjawab, hanya menggeleng lembut sebelum memalingkan muka.

Lift berhenti di lobi, orang yang tak asing: Wina, anggota tim Sales, ikut bergabung. Mata Lucia sempat melebar panik, tubuhnya reflek bergerak ke arah dinding lift, padahal dia sudah benar-benar berada disudut.

"Eh, Mas Matthew!" sapa Wina, lalu tersadar. "Mbak Lucia!" sambutnya.

Lucia hanya membalas dengan senyum kaku, sementara Matthew yang jauh lebih santai langsung mengajak ngobrol Wina. Ia tak menunjukkan rasa gugup atau canggung seperti yang Lucia rasakan.

Lucia pun segera menyadari bahwa segala kekhawatirannya ternyata sia-sia. Rupanya, tak ada seorang pun yang mencurigai kedatangannya dari basement bersama Matthew. Begitu pintu lift terbuka di lantai kantor mereka dan ketiganya melangkah keluar, Mei, resepsionis yang sedang duduk di meja depan, langsung menyapa.

"Selamat pagi! Eh, Mas Matthew sama Wina berangkat bareng, ya?" ujarnya riang.

Lucia menatap lesu, merasa dirinya benar-benar konyol. Ternyata, bahkan tanpa kehadiran Wina sekalipun, takkan ada yang mencurigai kedatangannya bersama Matthew. Siapa yang akan menyangka bahwa karyawan wanita berusia hampir tiga puluh tahun seperti dirinya bisa akan hubungan spesial dengan rekan muda, tampan, dan berjabatan tinggi seperti Matthew? Sebuah perasaan tersinggung yang tak biasa menyergap hatinya—padahal selama ini ia selalu menerima fakta usianya dengan ikhlas.


Dengan perasaan kesal yang tertahan, Lucia melangkah mendahului mereka. Namun, langkahnya mendadak terpaku begitu mendengar suara Matthew: "Enggak, kok. Aku tadi berangkat bersama Mbak Lucia."

Seketika, tubuh Lucia membeku. Kepalanya menoleh ke arah Matthew dengan gerakan kaku dan tersendat, bagai robot yang kekurangan pelumas. Matanya membelalak panik, menyorotkan pertanyaan tak terucap, “Lu kok ngomong gitu?” ke Matthew. Sebelum beralih ke Mei dan Wina kelihatan terkejut.

Senyum hangat khas Matthew mengembang lebar. “Iya, kita searah rumahnya, lho!” jelasnya kepada Mei dan Wina, yang hanya membalas dengan senyum dan anggukan kaku. “Duluan ya!” lanjutnya, lalu menghampiri Lucia dan meletakkan telapak tangannya di punggung Lucia, mengajaknya memasuki area kerja secara bersamaan.

“Lu ngapain sih?” gerutu Lucia dengan gigi mengatup rapat, hanya bibirnya yang bergerak.

“Kamu,” ucap Matthew, saat mereka berada di ambang pintu area kerja.

“Ha?” Lucia tak mengerti.

“Bukan 'lu', tapi 'kamu',” jelas Matthew sambil tersenyum, memancarkan tatapan lembut yang hangat yang tak biasa. “Senyum,” tambahnya kemudian.

“Ha?” lagi-lagi Lucia terperangah.

Dengan senyum yang tetap mengembang dan gerak bibir minimal, Matthew berbisik, “Vino lagi lihat ke arah kita.”

Lucia hampir saja menoleh, tetapi Matthew segera menepuk pelan punggungnya yang masih ia pegang. “Jangan nengok! Senyum saja.”

“Ah,” Lucia kini menangkap maksudnya. Ia pun langsung tersenyum, meski senyumannya masih terlalu kaku, nyaris menyerupai seringai.

Lihat selengkapnya