Selama beberapa hari karena Matthew mendadak dinas ke luar kota, Lucia tak bertemu dengan pria itu. Rencana mereka sedikit tersendat, tetapi tak satupun dari mereka yang mengirim pesan atau membahasnya. Terlebih Lucia, yang diam-diam sibuk mencari lowongan kerja di tempat lain. Ini sebagai langkah antisipasi, berjaga-jaga jika kehidupan kerjanya di perusahaan ini tak lagi bisa diselamatkan:
Jika Vino keburu menunjukkan perasaan sebelum status palsunya dengan Matthew sempat tersebar.
Jika gosip yang merupakan kenyataan itu makin menjalar dan disertai bukti tak terbantahkan. Entah apa itu.
Jika skenarionya dengan Matthew gagal total.
Atau, lebih parahnya, jika ada hal-hal lain yang terjadi, contohnya yang ditakutkan Anggi.
Lucia jarang sekali mengkhawatirkan hal-hal yang belum jelas arahnya seperti ini, namun kali ini terasa berbeda. Sebab, ini bukan lagi hanya tentang dirinya sendiri. Ini melibatkan banyak orang: ada David, mantan pacar yang nampaknya belum sepenuhnya move on; Vino, sahabat David yang entah sejak kapan menaruh minat padanya; dan tentu saja Matthew, lelaki muda yang akan ternoda citranya karena sandiwara ini. Lagi pula, ia sudah cukup lama bekerja di perusahaan ini, dan nampaknya jabatannya akan macet di level supervisor. Jadi, tidak ada salahnya untuk perlahan-lahan berjaga, siapa tahu ia bisa mendapat pekerjaan baru yang lebih baik.
“Kangen, ya?” bisik Anggi dari sampingnya.
Lucia menoleh cepat, mukanya langsung merengut.
Anggi langsung terkekeh pelan. “Kalian nggak chattingan?”
Lucia bergeleng. “Buat apaan?”
“Hmm,” Anggi berdehem. Ia melirik ke arah Vino. “Lu…” ucapnya ragu, menggeser kursinya agar dia bisa lebih dekat lagi ke Lucia. “Beneran nggak mau deket sama Mas Vino aja? Bukannya lebih aman begitu?” bisiknya, teramat pelan.
Tapi Lucia tetap melotot, takut suaranya terdengar oleh orang lain. Apalagi satu meter dari tempat mereka ada Rafael, cowok yang terkenal bermulut besar. “Ssh!” Desis Lucia sambil menundukkan kepalanya, agar mulutnya berada tepat di bawah telinga Anggi. “Nggak, gue gak minat sama sekali.”
Anggi mengangguk paham. “Kalau cowok lain?” tanyanya.
Alis Lucia naik ke dahi. “Maksud lu?”
Anggi buru-buru menggeser kursinya kembali ke mejanya, meraih ponselnya yang ada di atas meja, dan bergeser kembali ke samping Lucia sambil mengotak atik sesuatu di layar ponselnya. “Nih,” unjuknya kemudian, memperlihatkan foto seorang pria.
“Siapa?” tanya Lucia, tak benar-benar tertarik dengan sosok itu, hanya penasaran kenapa Anggi menunjukkan padanya.
“Temennya Tio! Lagi nyari jodoh.”
Tangan Lucia refleks menepis ponsel Anggi dari hadapannya. Ia menggeleng cepat, lalu kembali duduk tegak menghadap laptop. Tindakannya menunjukkan penolakan keras tanpa kata-kata. Anggi, yang memahami alasan di balik penolakan itu, tidak merasa keberatan. Ia hanya mengangguk santai dan perlahan menggeser kursinya mundur, kembali ke mejanya sendiri.
Lucia kembali sibuk menatap layar laptopnya, tetapi pikirannya masih belum fokus.
Sebenarnya, memang ada jalan keluar lain yang lebih mudah, selain berpura-pura pacaran dengan Matthew—yaitu seperti yang Anggi sarankan barusan: menjalin hubungan dengan pria lain.
Namun, setelah perpisahannya dengan David yang mengukir luka di hati masing-masing, dan mengingat sejak awal ia memang tak benar-benar tertarik untuk menikah, pilihan menjalin hubungan dengan pria lain di usianya ini terasa munafik. Entah nanti dirinya yang akan lelah karena harus berusaha lagi, atau si pria yang akhirnya sakit hati.
Menjalin hubungan tanpa tujuan untuk mengarah ke mana pun, di saat usia bukan lagi belia, bagi Lucia terasa seperti keluar rumah membawa payung padahal hari sedang cerah benderang; sungguh tak perlu dilakukan meskipun diperbolehkan.