Saat Dito membuka pintu kedai kopi dan pastry, bel kecil di atas ambang pintu berdentang nyaring. Ia tidak terbiasa mendatangi tempat seramai ini, apalagi di tengah siang bolong.
Kedai itu dikelilingi oleh dinding dan pintu kaca bening dari lantai hingga langit-langit, memungkinkan sinar matahari yang terik membanjiri seluruh interior kedai. Suasananya ramai, silau, suara denting piring, dan desisan mesin kopi. Meskipun demikian, udara di dalam ruangan terasa terlalu dingin karena unit-unit AC dipasang merata di setiap jarak tiga meter.
Pria berwajah oriental itu sama sekali tidak menyukai suasana ini: campuran bising, panas dari luar, silau, dan dingin menusuk di dalam. Tempat yang penuh kontradiksi.
Matthew, yang sudah datang setengah jam lebih awal, melambaikan tangan dari tempat duduknya. Dito tersenyum, mendapati Matthew pandai memilih posisi.
Temannya itu duduk di sudut belakang kedai, dimana sebuah pohon palem kuning dengan pot terbilang besar berdiri tegak di sudut ruangan. Jika Dito duduk di tempat itu, sinar matahari yang menusuk dari dinding kaca akan terhalang oleh pohon tersebut. Dengan demikian, parameter kontradiksi suasana yang ia tidak suka bisa berkurang drastis.
“Kenapa mau ketemu Rubi aja harus ngajak gue sih?” protes Dito sambil duduk di tempat teduh itu. Sementara di hadapannya, Matthew yang tak kebagian bayangan pohon, wajahnya bersinar cerah karena cahaya matahari dari luar.
“Orang dia sendiri yang bilang mau ngumpul bertiga!” Tepis Matthew. “Lu kemana aja si seminggu ini gak bisa dihubungin?”
“Ke Jepang,” Dito menyandarkan punggungnya. ke tembok dingin di belakangnya. “Sana gak nyaut-nyaut, jadi gue samperin langsung.”
Hidung Matthew melebar, seiring nafas panjang yang ia tarik karena baru ingat kalau saking tak punya kegiatan, temannya ini biasa melakukan hal di luar nalar begini. Ia sudah tak kaget lagi, meskipun tetap saja merasa iri dengan kemampuan Dito melakukan hal seperti ini. “Jadi apa kata Sana?”
Dito menarik punggungnya lagi dari dinding, meletakkan kedua tangannya di atas meja. “Bukan Kak Lucia.”
Mata Matthew langsung terpejam, wajahnya menekuk hingga muncul kerutan di setiap lekuknya. Ekspresinya nyata mirip orang meringis menahan sakit. Sakit, malu dan sesal menerima kenyataan bahwa dulu dia salah orang. “Gimana Sana ngejelasinnya?” tanyanya kemudian. Masih belum membuka matanya.
Dito langsung mengeluarkan ponselnya dari saku celana kargonya, membuka sebuah sosial media dan meletakkan ponselnya di atas meja, dengan layar menghadap ke Matthew. “Lu liat, ini orangnya, dia sekarang jadi seleb di medsos, dan rupanya dari dulu dia emang suka bikin konten yang banyaknya emang sensasi. Sana bilang dia inget banget, karena setiap liat ini orang di sosmed, dia bakal inget obrolan ini orang di toilet waktu sekolah.”
Mata Matthew perlahan terbuka, ia menatap layar ponsel Dito tanpa menyentuhnya, seolah-olah luka perih di dalam hatinya bertambah kalau dia memegang benda itu untuk memperjelas kesalahannya.
“Terus kenapa Sana nggak ngomong apa-apa pas gue salah orang?” Matthew tak tahu, pertanyaannya barusan sekedar memastikan atau diam-diam mencari pembelaan.
“Gue juga tanya hal itu ke dia!” Dito rupanya bisa memahami isi pikiran Matthew. “Dan jawabannya jelas, dia nggak tahu alasan lu ngomong gitu ke Kak Lucia, karena omongannya dia ke lu. Mikir kalau mungkin Lucia nyatain cinta ke lu juga. Gitu aja.”
“Shit!” umpat Matthew, memijat dahinya yang mendadak tegang.
“Jadi gimana sekarang?” Dito mengulurkan tangannya untuk meraih buku menu di meja sebelah. “Lu mau gimana? Menurut gue sih mending gak usah dibahas aja, secara lu sama dia juga gak ada hubungan apa-apa selain rekan kerja di kantor.”
“Nggak se-simple itu!” Lirih Matthew.
Dito menangkap gelagat resah tak biasa dari wajah Matthew, ia mengurungkan niat untuk melihat-lihat menu. “Ada apaan sebenarnya?” tanyanya sambil kembali menutup buku menu.
Secara singkat, padat, dan malas-malasan, Matthew akhirnya menjelaskan kondisi dirinya dengan Lucia saat ini. Tentang dirinya yang kini tinggal di rumah Lucia, tentang Rubi yang cemburu pada Lucia, tentang kesepakatan mereka dan kondisi pertemanan mereka saat ini. Semuanya jelas membuat Dito langsung melongo bingung. Mulutnya terbuka separuh, sementara matanya berkedip lambat, selambat otaknya menimbang seberapa besar masalah yang Matthew telah timbulkan di masa lalu, dan akan ditimbulkan di masa depan karena keputusan gegabahnya menggunakan Lucia untuk menarik perhatian Rubi.
Mulutnya mengatup, terbuka lagi, mengatup lagi, tapi ia gagal menyampaikan pikirannya. Yang ia lakukan akhirnya hanya mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Matthew. “Lu mau pindah kerja lagi? Butuh gue cariin kerjaan lagi? Atau rumah lain?” tawarnya. Tak punya saran solusi lain, selain membantu Matthew kabur.