Lucia menggeliat di atas kasur, enggan membuka mata. Namun, tenggorokannya terasa kering membakar. Ia mengerjapkan mata berat, melirik jam dinding yang tampak samar-samar dalam kegelapan. Baru pukul satu dini hari. Baru tiga jam ia terlelap, tapi rasa hausnya seolah telah menimpa sepanjang malam. Saat ia berdehem, terasa nyeri yang khas di kerongkongannya—tanda awal radang tenggorokan yang biasanya menjadi pertanda flu. Ah, pasti ia tertular dari Hadin ketika mengantarkan obat untuk sahabatnya itu pagi tadi.
Dengan gerakan lesu, Lucia menyeret diri dari kasur. Ia berjalan ke dapur, menuang air putih hingga gelasnya penuh, lalu menenggaknya habis dalam sekali teguk.
Saat meletakkan gelas ke bak cuci piring, telinganya menangkap suara gemeretak pagar di halaman. Seketika, ia memicingkan mata, mempertajam pendengarannya. Suara kunci pagar yang dikancingkan pun terdengar. Langsung saja ia bergerak mendekati jendela ruang tamu dan mengintip ke luar.
Di bawah cahaya temaram lampu taman di pohon mangga, terpancang sosok Matthew sedang duduk di bangku kayu, menenteng sebuah plastik. Mata Lucia menyipit reflek saat melihat percikan api dari tangannya, diikuti kepulan asap yang segera mengepul. Oh, rupanya dia sedang merokok.
Meski tidak terlalu paham, bukankah biasanya seorang pria yang merokok sendirian di tengah malam seperti itu berarti sedang dilanda banyak pikiran? Pikir Lucia. Ia teringat mendadak pada raut wajah Matthew sore tadi. Padahal mereka sudah berhari-hari tidak bertemu, tapi ketika Lucia menyapanya, Matthew malah membuang muka.
Sekilas, Lucia sempat menangkap wajah Matthew yang memerah dan matanya yang tampak berkilauan, basah. Apa dia… sedang sedih? Padahal Lucia tahu, Matthew siang tadi pergi menemui Rubi—sebagaimana yang diberitahunya sebelum berangkat dinas keluar kota. Tapi apa yang terjadi? Apakah dia ditolak Rubi?
Mendadak, tubuh Lucia menegang.
Kalau sampai begitu, apa yang akan terjadi dengan sandiwara mereka? Apakah semua akan berakhir begitu saja? Sementara Lucia belum mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Argh!” Ia menggaruk kepalanya dengan kesal. Padahal, hari ini ia berniat membahas serangan mendadak Vino kemarin dengan Matthew. Namun, karena Matthew langsung menghindar dan segera mengajak neneknya masuk ke dalam rumah, Lucia sama sekali kehilangan kesempatan.
Ia sempat bertanya-tanya, apakah Matthew kesal karena ia yang menggantikan Lutva menjaga neneknya—kakaknya itu sedang menemani Adam ekskul. Ataukah, Matthew hanya tidak ingin Lucia melihatnya dalam kondisi tidak karuan—dengan wajah memerah dan mata yang sembab? Ah, Lucia tidak mengerti. Sudah terlalu lama ia tidak perlu berusaha memahami dan menyesuaikan diri dengan orang lain. Sekarang, perasaan campur aduk antara penasaran dan keengganan.
“Besok aja,” gumamnya sekali lagi, menatap Matthew yang masih termenung sambil menghisap rokoknya. “Besok obrolin.” Ia pun menarik tubuhnya dari balik jendela, berbalik menuju kamar. Malam ini, ia tak ingin memikirkan apapun lagi.
***
Pagi itu mentari bersinar lembut, menyinari halaman rumah dengan cahaya keemasan yang hangat. Udara segar berhembus pelan, membawa hawa sejuk yang nyaman. Matthew sudah berada di halaman sejak tadi, mengenakan kaos abu-abu sederhana dan celana training hitam yang nyaman untuk bersantai.
Dengan alasan mengajak neneknya berjemur di bawah sinar matahari pagi, ia mendudukkan sang nenek di kursi taman. Namun, sesekali matanya tak henti-henti melirik ke arah lantai atas, seolah menantikan sosok tertentu. Tangannya yang sedang menyuapi neneknya bubur ayam terlihat gugup, gerak-geriknya tidak sesantai biasanya.
Setiap ada suara dari atas, telinganya langsung menegak. Setiap bayangan bergerak di balik jendela lantai dua, dadanya berdebar penuh harap. Ia sendiri bingung dengan perasaannya yang campur aduk antara penasaran dan khawatir. Semalam ia memikirkan Lucia, dan pagi ini ia ingin memastikan sesuatu: apakah perasaannya ke Lucia tetap sama seperti kemarin sore kalau dia melihatnya lagi? atau sebenarnya kemarin ia hanya sedang merasa bersalah dan akhirnya terbawa suasana?
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Matthew langsung menoleh cepat, hampir saja menjatuhkan sendok yang sedang dipegangnya. Wajahnya yang semula tegang berubah sedikit kecewa ketika yang muncul adalah Adam. Remaja itu turun dengan wajah masam, menggenggam selembar uang lima puluh ribu di tangannya.
"Mau ke mana, Dam?" tanya Matthew, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
"Beli obat," sahut Adam singkat. Seperti biasa, nada bicaranya terdengar sinis setiap kali berhadapan dengan Matthew.
"Siapa yang sakit?" tanya Matthew lagi, sambil matanya masih sesekali melirik ke arah tangga, seolah masih berharap Lucia akan muncul.
Adam yang sudah membuka pintu pagar hanya melontarkan jawaban singkat, "Tante Ucil."
"HA?" teriak Matthew reflek, suaranya terdengar kencang dan bingung. "SIAPA?" teriaknya lagi, berusaha mengejar Adam yang sudah melangkah keluar pagar.
"Tante Lucia!" balas Adam tanpa menengok, sebelum akhirnya menghilang di ujung gang.
Matthew terdiam mematung, sendok masih tertancap di genggamannya bagaikan pedang kesatria. Wajahnya yang tadi sempat berbinar-binar kini pucat pasi. Segala rasa penasaran dan kebingungannya tiba-tiba tersapu bersih oleh gelombang kekhawatiran. Matanya melirik ke arah lantai atas, lalu menatap neneknya yang asyik dengan sendoknya sendiri.
"Nek, bentar ya, aku ke atas sebentar," ujarnya tergesa, meletakkan mangkuk sarapan di bangku. "Diam di sini, jangan kemana-mana!" pesannya dengan nada panik yang berlebihan, seolah sang nenek akan tiba-tiba berlari marathon.
Tanpa menunggu respons, tubuhnya sudah melesat seperti anak panah. Satu-satu anak tangga didaki dengan tergesa. Namun, begitu sampai di depan pintu lantai dua, kakinya mendadak membeku. Pikirannya kosong. Apa yang harus kulakukan? Mengetuk? Memaksa masuk? Atau sekadar mengintip dari celah pintu?
Tiba-tiba, suara Lucia yang serak dan kesal terdengar dari balik pintu, "Masih pagi juga! Sore aja kek!" Suaranya semakin jelas dan menggelegar. "Mending suruh orang aja! Irit banget jadi orang!"
Kreek! Pintu terbuka tiba-tiba. Dan di sana, terpampang Lucia dengan penampilan yang tak terduga: wajah kemerahan, hidung tersumbat, dan... sebuah golok panjang di tangannya.
Mata Matthew membelalak, nyaris melompat dari soketnya. Sementara Lucia hanya bisa memicingkan matanya yang sudah sembab, sama-sama terkejut.
"Lu nga— HACHIIIM!" Lucia bersin dahsyat. Golok di tangannya berayun liar, nyaris menyambar bahannya.