Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #19

18. Kutub Berlawanan

Saat Lucia 'kabur' kemarin, Matthew mengira sang gadis akan sepenuhnya menjauhinya. Sepanjang malam ia disergap pertanyaan: apa yang menyebabkan perubahan drastis pada sikap Lucia? Apakah kuntum perasaannya yang belum sepenuhnya mekar itu telah terbaca? Atau jangan-jangan ia melakukan sesuatu yang tanpa sengaja membuatnya tidak nyaman?

Namun, pagi ini, ketika fajar belum sepenuhnya merekah, ponselnya bergetar. Sebuah chat dari Lucia, meminta tumpangan ke kantor. Alasannya sederhana: ia sedang tidak enak badan. Dan kini, di dalam mobil yang meluncur pelan, Lucia duduk di sampingnya dengan masker menutupi separuh wajah. Matanya terpejam, sunyi sepanjang jalan.

Keberadaannya bagai sebuah paradoks— membantah sekaligus membenarkan segala dugaan Matthew semalam. Dia ada, secara fisik hadir, namun secara emosional terasa sangat jauh, bagai hantu yang hinggap di kursi penumpang.

"Kak Lucia," panggil Matthew, saat mobilnya mengantre masuk pintu tol. "MBTI Kakak apa?" tanyanya, bukan tanpa maksud. Selain sekadar mencari celah obrolan untuk mengetes apakah Lucia benar-benar tertidur, ia juga ingin menggali informasi lebih dalam tentang karakter perempuan di sampingnya ini. "Pernah ngecek nggak?" tambahnya, khawatir Lucia tidak familiar dengan istilah itu.

"ISTP," sahut Lucia singkat, mata masih terpejam. Sejujurnya, ia tak terlalu ambil pusing dengan hal-hal seperti itu. Tapi ada satu hari di mana Anggi memaksanya mengisi kuis panjang di internet, dan hasilnya tertancap jelas dalam ingatannya: ISTP.

"Oh," gumam Matthew. Anggukan singkatnya mengandung dua arti. Pertama, Lucia tidak tidur; ia hanya memejamkan mata untuk menghindari percakapan. Kedua, dan ini yang lebih dalam, kepribadian mereka ternyata berseberangan secara diametral. Matthew adalah seorang ENFJ. Jadi tak satupun dari keempat huruf yang mewakili karakter itu sama. Tapi, bukankah kutub magnet yang berlawanan justru saling tarik-menarik? Matthew menganggap hal ini sebagai sebuah tantangan daripada rintangan.

Layar head unit mobil yang terhubung dengan ponsel Matthew menyala, menampilkan notifikasi pesan masuk. Sebuah nama terpampang jelas: Rubi.

Dalam diam, dari balik kelopak mata yang separuh tertutup, Lucia menangkapnya.

Sebenarnya, dugaan Matthew semalam tidak sepenuhnya meleset. Lucia sempat menimbang-nimbang untuk menjauh. Namun, setelah berpikir lebih dingin, fokusnya kembali pada rencana awal mereka.

Misalkan saja skenario terburuk itu benar: karena interaksi mereka yang cukup intens akhir-akhir ini, Matthew jadi mengembangkan perasaan atau ada niat untuk bermain-main dengannya. Tapi, bukankah tujuan utama pria ini juga sedang berusaha kembali ke mantannya? Lalu, apa yang perlu ia khawatirkan? Biarkan saja perasaan itu tumbuh di pihaknya, selama Lucia pura-pura tak tahu, selama ia tidak memberi respons, dimana letak masalahnya? Lagi pula, ia masih membutuhkan Matthew sebagai tameng. Ia masih perlu menjauh dari Vino, dan hanya tinggal hitungan hari menuju pernikahan David. Paling tidak, sampai hari itu tiba, atau setidaknya sampai Matthew benar-benar kembali dengan Rubi, ia cukup berlaku seolah-olah tak tahu menahu.

Lucia memutuskan untuk menganggap setiap perhatian dan kehangatan Matthew sebagai bagian dari sandiwara yang mereka jalani bersama—mereka pura-pura jadi pacar bukan? Jadi hal-hal seperti yang Matthew lakukan kemarin sudah sewajarnya terlihat alami. Untuk itu, ia tak perlu merespons secara berlebihan. Selama pria itu tidak mengungkapkannya secara gamblang dengan kata-kata, Lucia merasa tak perlu ambil pusing.

Itulah sebabnya mengapa ia kini ada di dalam mobil ini. Menjauh saat ini bukanlah keputusan yang strategis. Ia akan mengalami lebih banyak kerugian. Dan membiarkan kerugian terjadi, bukanlah prinsip hidup yang dipegangnya.

“Rubi gimana? Ada progress?” tanyanya kemudian.

Matthew hampir tercekat, dia tak menyangka kalau Lucia mau membuka obrolan lebih lanjut dengannya, ia kira perempuan ini akan terus pura-pura tidur sampai ke kantor. “Lumayan, dia bahkan sempat bahas buat datang ke nikahan Mas David bareng.”

Untuk pertama kalinya sepanjang perjalanan, Lucia menunjukkan minatnya secara terbuka. “Terus?” tanyanya menatap sisi kiri wajah Matthew.

“Ya aku tolak, kan aku bakal dateng sama Kakak,” terang Matthew, menengok sekejap ke Lucia sambil melemparkan senyum minta dipuji.

Sambil mengangguk, dan tersenyum kaku hanya dimata, dibalik masker mulutnya mengatup rapat. Lucia berpikir. Ini dia, keputusannya tepat. Untung dia tidak jadi menjauhi Matthew hanya karena keresahan tak berdasar. Tujuan utamanya saat ini adalah ‘mengacaukan mood’ acara pernikahan David, dan dia butuh bantuan Matthew untuk itu.


Begitu mobil merapat di tempat parkir, tanpa direncanakan—dan tanpa disengaja seperti kesempatan sebelumnya—mereka justru disambut langsung oleh Rubi. Sosoknya bersandar elegan di tiang penanda area parkir, mengenakan gaun terusan sifon hitam bermotif bunga-bunga kecil, dengan hemline yang berakhir tiga sentimeter di atas lututnya. Sepatu heels setinggi tujuh sentimeter berwarna merah muda neon menyala sempurna di kaki mulusnya, menciptakan kontras yang mencolok dengan warna gaunnya yang gelap.

Saat turun dari mobil, Lucia tak bisa menahan diri untuk tidak menyipitkan matanya, memandangi Rubi dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dalam hatinya, muncul sebuah pertanyaan: Gadis ini mau kerja atau mau tampil di fashion show?

Dan tatapannya itu dibalas oleh sorot mata sinis yang menusuk oleh Rubi. Dengan langkah tergesa hingga ujung gaunnya berayun dan tumit tajam sepatunya berdetak-detak di lantai parkir, gadis ini menyambangi Matthew yang baru menutup pintu.

Lihat selengkapnya