"Ini serius dia tinggal di sini?" gumam Dito lirih, sambil turun dari SUV mewahnya yang berwarna biru dongker. Mobil itu terparkir tak wajar di depan sebuah warung, menghadap mulut gang sempit. Tangannya yang membawa tas karton terangkat refleks menutup hidung—bau anyir dan apek dari got menyengat membuatnya mual.
Matanya menyipit menyesuaikan diri dengan cahaya redup di gang, sambil langkahnya hati-hati menghindari genangan air kotor. Sesekali ia melirik layar ponsel, memastikan pin di peta tak salah arah. Suara televisi dari balik jendela-jendela rumah dan teriakan anak-anak bermain terasa asing di telinganya.
Kakinya akhirnya berhenti di depan pagar putih setinggi kepala, yang catnya sudah mengelupas di beberapa tempat. Dari balik jeruji besi, terpampang pemandangan yang persis seperti deskripsi Matthew: sebatang pohon mangga tua yang meranggas, halaman sempit dengan bangku kayu usang, dan rumah dua lantai bercat krem kusam dengan tangga besi luar yang menempel di sisi kiri bangunan.
Dito memasukkan ponsel ke saku celana jeansnya, yakin ini tempat yang tepat. Tapi keyakinannya bercampur rasa tak percaya—kenapa Matthew betah tinggal di tempat seperti ini? Rasa penasarannya memuncak. Matanya celingukan mencari bel di pagar, tapi tak menemukan apapun selupa tombol atau tali penarik.
Saat ia masih terpaku, tiba-tiba...
"Bisa bantu? Cari siapa?"
Dito langsung memandang ke sumber suara, seorang wanita menuruni tangga dan memandang ke arahnya. Dan ketika wanita itu mendekat, dunianya mendadak seakan berhenti berputar.
Dari balik pagar, perempuan itu berdiri, menatap dengan was-was. Mata bulatnya yang jernih bagai danau di pagi hari, rambut ikal kecoklatannya berkilauan ditiup angin, pipi tembamnya memancarkan rona kemerahan. Meski hanya mengenakan kaos usang dan celana pendek sederhana, pesonanya menyihir setiap sudut pandang. Di mata Dito, dia adalah mahakarya yang hidup.
"Siapa ya?" perempuan itu bertanya lagi, kini dengan alis berkerut lembut.
"Ma-Matthew," jawab Dito tersendat, lidahnya terasa kelu.
Dan kemudian—jawaban itu mengubah segalanya.
Perempuan itu langsung tersenyum ramah, membungkuk untuk membuka kunci pagar. Saat pagar putih itu bergerak terbuka dengan bunyi berdecit, sinar mentari pagi tiba-tiba membanjiri sosoknya, menciptakan siluet keemasan yang membuat Dito harus menyipitkan mata karena kilauannya. Seolah alam membuka tirai untuk pertunjukan akbar, tak ada lagi penghalang antara mereka. Mata Dito membesar, nafasnya tercekat. Dunia sekelilingnya mengabur, yang tersisa hanyalah visioner di hadapannya yang bahkan membuat debu-debu di udara berkilauan bagai kristal.
Perempuan itu mengamatinya dengan kepala miring, senyum kecil tetap mengembang di bibirnya. "Temennya Matthew?" tanyanya, suaranya sebening lonceng yang mengguncang jiwa Dito sampai ke tulang-tulangnya.
“I-iya,” sahut Dito, matanya menerawang, dimabuk kepayang.
Senyum ramah di wajah Lutva, perlahan berganti dengan seringai heran yang canggung. Pria bermata kecil berwajah oriental ini, kelainan atau mabuk? Kenapa sejak tadi hanya termangu seperti akalnya tertinggal di rumah?
“Tapi Matthew lagi kerja, gak ada di rumah.” Alis Lutva naik sebelah.
“Ah!” seru Dito, kesadarannya yang tadi hilang separuh, kembali ke dalam tubuhnya. Ia tak tahu kalau ini hari kerja, dia kira dia datang di hari weekend. Rupanya sudah Senin. Otaknya lalu berpikir cepat, apakah dia pulang saja? Tapi dia ingin mengenal wanita cantik di hadapannya ini, penampilannya, suaranya, senyumnya, semuanya benar-benar tipenya. Dia tak mau langsung pulang, dia ingin mengenal wanita ini.
“Aku mau ketemu Nenek!” sahutnya buru-buru, mengangkat tas karton berisi vitamin dan buah yang memang ia niatkan untuk diberikan ke neneknya Matthew.
“Oh,” Tanggap Lutva masih separuh sangsi. “Oke kalau gitu, silahkan masuk,” Sambutnya, membuka pintu pagar lebih lebar.