“Sampai kapan sih gue harus nemenin lu ngehindar dari Mas Vino?” protes Anggi pelan, saat dia berdiri di belakang Lucia yang tengah membuka pintu ke tangga darurat.
“Sampai semuanya jelas!” sahut Lucia, menahan pintu untuk Anggi lewat dan baru menutupnya kemudian dengan perlahan, sama seperti saat dia membukanya tadi. Ia tak ingin memancing perhatian kalau-kalau ada orang di sekitar.
Keduanya lalu menaiki tangga dalam sunyi dan tanpa bicara, sebuah kebiasaan yang terbentuk setiap kali mereka menuju atap gedung. Itu adalah tempat favorit mereka untuk berbagi rahasia. Meski harus berusaha—sedikit atau banyak—untuk mencapainya, dan udaranya cukup panas di sana, setidaknya tak ada orang lain yang menggunakan tempat itu. Mungkin karena kantor mereka berada di lantai tertinggi, atau karyawan kantor lain terlalu malas untuk menjangkau lantai yang tidak tercantum di panel lift ini.
Atau...mereka salah?
Terdengar suara seseorang di tangga atas, bukan dari arah rooftop karena suara dari luar sana tak akan sampai. Lucia dan Anggi langsung membeku dan saling bertukar pandang waswas. Namun posisi dan suasana ini… terasa seperti dejavu, dan suara itu adalah suara Rubi.
“Rio Head tim Marketing, Anton Manager Legal, semuanya mengajak aku ke pernikahan Mas David, tapi kamu nggak. Sebenernya kamu benar-benar masih suka sama aku nggak, sih?” tanya Rubi mendesak.
Sambil membungkuk, Anggi berbisik, “Kayaknya udah bukan tempat aman lagi di sini! Tapi… itu suara Rubi, kan?”
Lucia mengangguk. “Udah, ayo kita ke pantry aja!” Ia berniat berbalik arah, tapi Anggi menahan bahunya.
“Tunggu dulu, lu nggak penasaran mereka ngobrolin apa?”
“Ck!” Lucia mendecak, wajahnya menunjukkan penolakan, tapi tindakannya tak sejalan. Bukannya melanjutkan pergi, ia malah ikut menguping di samping Anggi.
“Ya suka, lah,” sahut Matthew. “Kamu masih nggak percaya kalau aku masih suka sama kamu? Tapi aku kan udah bilang, aku udah janji duluan sama Kak Lucia.”
Anggi menoleh dengan mulut mengerucut, ia terkekeh tanpa suara. “Jago juga dia!” bisiknya lagi.
Namun Lucia tak menanggapi. Wajahnya datar, tatapannya dingin. Sekilas ia tampak biasa—memang begitulah ekspresi yang sering ia tunjukkan sehari-hari. Tapi jika diamati lebih saksama, terlihat kegelisahan di sorot matanya. Nafasnya juga lebih lambat dan dalam dari biasanya.
Entah mengapa, mendengar Matthew mengatakan hal tadi, Lucia merasa ada yang mengganjal di dadanya. Sesuatu seperti… rasa dikhianati?
Tapi, atas dasar apa?
Meski setiap hari mereka berangkat dan pulang kerja bersama, mengobrol ke sana kemari sepanjang perjalanan, berbagi momen memalukan seperti bertengkar dengan selingkuhan mantan kakak iparnya kemarin, serta hal-hal kecil lain yang membuatnya merasa hubungan mereka semakin santai dan nyaman—tapi hanya sampai di situ, kan? Bagaimanapun, kebersamaan mereka terjadi karena sandiwara yang mereka jalani, dan Lucia paling paham akan hal itu.
Ia bahkan sudah siap menolak jauh-jauh andai Matthew menunjukkan ketertarikan sungguhan padanya—demi kewarasan. Pria itu jauh lebih muda, dan Lucia tak berminat menjalin hubungan dengan siapapun. Lalu, atas dasar apa sekarang ia merasa kesal?
Padahal ia tak tertarik pada Matthew.
Padahal ia tahu Matthew sedang berusaha kembali dengan mantannya.