Hadin memicingkan matanya, tangan terlipat di depan dada. Ia mengamati Lucia yang sedang membayar sepasang baju dengan warna dan motif senada di kasir. Ada yang tak beres dengan gadis itu. Meski raut wajahnya datar dan nyaris tanpa ekspresi seperti biasa, Hadin yang telah mengenalnya bertahun-tahun tahu persis bahwa Lucia sedang gelisah. Memang Lucia pendiam, namun hari ini ia terlihat jauh lebih sunyi dari biasanya. Padahal dialah yang tiba-tiba mendatangi kos Hadin dan minta diantar untuk membeli baju. Namun sepanjang perjalanan, sejak memilih baju untuknya dan Matthew yang akan dikenakan di pernikahan David, tak sepatah kata pun diucapkan Lucia selain urusan motif, warna, dan ukuran baju.
Minggu lalu, saat akhirnya Lucia mengaku kalau dirinya dan Matthew sedang melakukan sandiwara, Hadin sudah memperingatkan untuk berhati-hati. Bukan karena Lucia orang yang mudah jatuh cinta, bukan, dia sangat tahu betapa tak pekanya sahabatnya itu. Tapi karena Matthew terlalu mempesona. Pesona muda yang bersinar dan baru. Sosoknya berwarna seperti pelangi, yang nampak punya kekuatan untuk mewarnai hidup Lucia yang selalu bertahan di garis hitam-putih.
Tapi, seberwarna apa pun Matthew, gadis yang kini telah selesai membayar dan berjalan mendekatinya ini terbilang ‘buta warna’—ia tak mampu melihat pesona pria manapun. Jadi... jika ada sesuatu yang membuat Lucia mulai ‘tersentuh’ oleh kehadiran Matthew hingga ia gelisah seperti ini, hanya ada satu kemungkinan: sentuhan fisik. Sebagai manusia yang kurang peka terhadap ekspresi verbal maupun romantisme, bahasa cinta Lucia adalah sentuhan.
“Traktir gue kopi!” pinta Hadin, langsung membimbing langkah mereka menuju coffee shop di seberang toko baju. Suasana mal yang ramai dengan dentang musik lembut dan lampu temaram justru membuat hening di antara mereka semakin terasa.
Lucia mengikuti dengan patuh, penampilannya masih sangat mencerminkan ia baru saja pulang kerja: kemeja abu-abu yang masih rapi meski sedikit keluar dari dalam celananya, rambutnya yang biasanya di kuncir kuda sekarang tergerai sedikit berantakan, dan matanya yang lelah namun tetap tajam. Di tengah keramaian mal yang dipenuhi orang bersantai, ia tampak seperti orang asing yang belum sepenuhnya terlepas dari mode kerja.
Sambil menunggu pesanan kopi mereka—yang harumnya membaur dengan aroma kayu dan biji kopi sangrai—Hadin yang tak mau membuang waktu langsung bertanya to the point. “Lu lagi galau karena Matthew?”
Kelopak mata Lucia langsung terangkat. Mata dinginnya menatap lurus, seakan hendak menyangkal, tapi telinganya yang memerah mengungkapkan segalanya.
“Aduh!” Hadin mengusap wajahnya kasar. “Padahal kalau gue hitung-hitung, ini baru sekitar dua minggu, kan? Masa sandiwara kalian bisa bikin lu sampai kayak gini?” telisiknya tak percaya. “Kalian pelukan? Atau... dia nyium lu?”
“Nggak lah, gila!” sangkal Lucia buru-buru, suaranya parau.
“Terus kenapa? Pasti ada kontak fisik, kalau lu sampai ngerasa sesuatu sama dia!”
Leher Lucia menengadah ke atas, matanya menerawang ke langit-langit coffee shop. Sayup-sayup denting jazz mengisi keheningan di antara mereka. Sial, Hadin benar. Sebagai orang yang tak mudah terpengaruh oleh kata-kata manis atau rayuan, Lucia hanya bisa ‘merasa’ ketika ada sentuhan fisik yang terlibat. Dan dalam beberapa hari terakhir, sudah terlalu banyak kontak yang Matthew lakukan—dari membelai rambutnya di dalam lift, memeluknya erat saat ia mengamuk, hingga sentuhan tidak sengaja di bahu atau punggungnya dalam keseharian.
Setiap sentuhan itu seperti getaran halus yang membangkitkan sesuatu yang lama tertidur. Seperti tetes air yang perlahan-lahan melubangi batu. Lucia yang selama ini hanya menganggap Matthew sebagai ‘anak kecil’, tiba-tiba menyadari bahwa pria itu telah sepenuhnya dewasa—dan entah mengapa, ia mulai tak lagi bisa memandang Matthew dengan cara yang sama.
“Terus gimana?” tanya Hadin, pertanyaannya sama persis dengan yang ditanyakan Anggi tadi siang.
Lucia mengerutkan kening, alisnya turun tak simetris. “Ya lu pikir aja lah, mantan murid waktu PPL, umurnya enam tahun lebih muda, salah satu orang yang pernah gue benci banget, atasan gue di kantor, dia juga mau balikan sama mantannya, menurut lu?”
“Ya itu kan dia, lu sendiri gimana? Lu ngerasanya gimana? Sekali-kali lah lu coba pahamin perasaan lu sendiri jangan selalu hitung-hitungan pake logika!”
“Apa pentingnya perasaan? Emang perasaan bisa bikin gue selamet? Lu udah liat sendiri gimana pusingnya gue setelah putus sama David. Terus gue harus pusing lagi karena cowok yang masih anak-anak itu?”
“Ck!” Decak Hadin frustasi. Dia tahu tak akan pernah menang berdebat dengan Lucia. “Terus ini baju couple buat apa?” tanyanya kemudian, menunjuk ke tas karton yang ada di atas meja. Berisi baju yang tadi dia pilihkan untuk Lucia dan Matthew pakai lusa.
“Ya buat bikin orang kantor diem aja, dari awal kan emang itu tujuannya, dan gue akan tetep dateng sama Matthew besok. Tapi ya udah sampai hari itu aja.”