Suasana di dalam aula begitu suci dan anggun, dibalut nuansa modern serba putih. Tirai-tirai sutra jatuh berlipat-lipat, bunga-bunga anggrek dan mawar putih tersusun rapi di sepanjang lorong, sementara lampu kristal memantulkan cahaya keemasan yang membuat seluruh ruangan berkilau.
Di atas pelaminan, David yang memakai tuksedo putih sempurna dengan dasi hitam—berdiri di samping istrinya yang mengenakan gaun pengantin brokat dan veil sampai bahu–sedang memberi sambutan kepada tamu undangan. Namun saat matanya menangkap kehadiran sepasang orang yang memasuki aula pernikahan, suaranya tercekat, kata-katanya terhenti di tengah kalimat. Microphone di tangannya bergeming, matanya membelalak, tertancap pada Lucia yang dengan santainya mengalungkan tangan di lengan Matthew sambil melangkah dengan elegan. Wajah David yang tadinya cerah berubah tegang, bibirnya terkunci rapat.
Lucia berdiri bagai permata yang baru saja diasah. Gaun batik biru dongkernya—dengan potongan minimalis nan elegan—membalut tubuh rampingnya bak selubung malam, sementara motif bunga berwarna emas samar terpantul cahaya, menari di atas kain setiap kali ia bergerak. Tapi yang paling mencuri perhatian adalah transformasinya. Wajahnya, yang biasanya polos dan acuh tak acuh, dihias riasan sempurna. Alisnya yang tipis tertata rapi, sementara mata runcingnya—biasanya dingin dan tak berbinar—kini ditebalkan dengan eyeliner tajam yang membuat sorot matanya semakin dalam dan menusuk. Bibir tipisnya yang biasanya pucat, diwarnai lipstik merah maroon bertekstur velvet, memberi kesan sensual dan berani. Rambutnya yang setiap hari kuncir kuda sederhana, saat ini disanggul tinggi dengan beberapa helai poni yang sengaja dibiarkan terlepas, menambahkan kesan anggun nan dramatis. Dan kaki panjangnya terlihat makin jenjang karena sepatu heels berwarna rose-gold yang bersinar.
Di sampingnya, Matthew tampak sebagai pasangan yang selaras. Kemeja biru dongker polosnya dilengkapi jas slim-fit dengan detail batik di saku—motif yang sama persis dengan gaun Lucia. Sebuah pernyataan tanpa kata bahwa mereka datang sebagai satu kesatuan.
Ruangan yang tadinya hening mendengarkan pidato, kini berubah menjadi lautan kebingungan. Para tamu saling memandang, lalu serempak menengok ke arah yang sama dengan David. Beberapa wanita berjinjit, memanjangkan leher mereka. Beberapa pria berdiri setengah untuk mendapatkan pandangan lebih jelas.
Tapi kekacauan terbesar justru terjadi di antara rekan-rekan kantor mereka. Seorang wanita paruh baya hampir menjatuhkan gelas anggurnya, tangannya gemetar menyelamatkan minuman yang nyaris tumpah. Dua sekretaris dari divisi marketing saling mencubit lengan, berbisik tak percaya dengan mata membelalak. Suara desisan berisik mulai memenuhi ruangan.
Di antara kerumunan, Rubi berdiri kaku. Wajah cantiknya memucat, kedua tangannya mengepal di samping tubuh. Bibirnya yang merah menggigit bawah, matanya menyipit penuh kebencian yang nyaris meledak. Dia tak menyangka Lucia berani muncul dengan gaya seperti ini, apalagi dengan Matthew yang semestinya datang bersamanya.
Tak jauh darinya, Vino tetap duduk tenang. Tangannya dengan stabil memegang gelas, tapi sendi-sendi jarinya memutih akibat menggenggam terlalu kuat. Di balik senyum tipisnya, badai amarah sedang mengamuk. Baru kemarin Lucia dengan tegas menolak ajakannya datang ke acara ini, berkata dia tak berminat sama sekali. Kini di sana, gadis itu tidak hanya datang, tapi datang dengan gaya paling provokatif—bergandengan tangan dengan Matthew, mengenakan pakaian senada yang seolah meneriakkan kepada seluruh dunia tentang hubungan mereka.
Dengan senyum tipis penuh arti, Lucia memandu Matthew berbelok ke arah prasmanan, seolah tak peduli dengan semua mata yang sedang tertuju pada mereka, karena ini lah harinya, hari dimana dia mempermalukan dirinya sendiri sekaligus David, dan orang tuanya yang tadi juga terlihat terperangah tak percaya dengan kedatangannya bersama pria muda. Hari ini dia sudah menjelma menjadi sang pembuat onar yang sengaja datang untuk mengubah pernikahan putih ini menjadi panggung sandiwaranya. Setiap langkah mereka adalah pengumuman, setiap pandangan mata mereka adalah kekuatan. Dan di atas panggung, David tetap terdiam, terkunci dalam momen memalukan yang akan dikenang seumur hidupnya.
Sedangkan Matthew tenggelam dalam dunianya sendiri, sebuah gelembung yang hanya berisi dia dan Lucia. Gemuruh ruangan, ratusan pasang mata yang membakar, bahkan suara David yang tersendat-sendat melanjutkan pidato—semuanya meredam menjadi desis putih yang tak berarti. Matanya hanya fokus pada profil Lucia di sampingnya. Sebuah senyum tak tertahankan menguar di bibirnya, lahir dari rasa syukur yang dalam akan kehangatan lengan Lucia yang masih mengalung erat di lengannya.
Tubuh mereka berdampingan bagai dua bagian yang saling melengkapi, hampir tak berjarak. Kepala Lucia berada tepat di bahunya, begitu dekat hingga ia bisa mencium wangi samar sampo dan hairspray dari sanggulnya—wanginya terasa lebih memabukkan daripada aroma bunga yang memenuhi aula. Segala keresahan, dinginnya sikap Lucia, dan bayangan pria misterius yang menyakitkan selama dua hari terakhir, menguap bagai kabut di terik matahari. Saat ini, di tengah pusaran perhatian ini, yang ada hanyalah mereka berdua, dipersatukan dalam sebuah pernyataan tegas.
Di belakang mereka, suara David tersekat-sekat, berusaha menyambung kembali benang pidato yang telah putus. Tapi bagi Lucia, itu hanyalah musik latar yang sempurna. Dengan elegan, ia mengambil sebuah pie dari meja dessert, senyum tipis dan penuh kemenangan mengukir di bibirnya yang merah.
Dalam pikirannya, ia membayangkan ekspresi mantan calon ibu mertuanya—wanita yang dulu memandangnya dengan sebelah mata. Pasti saat ini, wajahnya panik, matanya menyorotkan kekesalan pada David, anaknya, yang meski telah berdiri di samping mempelai wanita, ternyata masih mudah goyah oleh kehadiran Lucia. Sebuah kepuasan yang pedas dan manis menyergap relung hatinya.
Lucia tahu tindakannya kejam. Datang dengan penampilan memukau, bergandengan dengan pria muda tampan, dan sengaja mengalihkan seluruh perhatian pada pesta pernikahan mantannya sendiri—ini adalah tindakan seorang trouble maker sejati. Tapi, kenyataan bahwa harga dirinya pernah diinjak-injak oleh keluarga ini membuat segalanya menjadi adil. Ia tak peduli pada pandangan mereka. Malam ini, ia datang untuk mengambil kembali martabatnya, dan Matthew adalah pria yang sempurna memainkan perannya. Setiap bisik, setiap tatapan terkejut, hanyalah pengakuan atas kemenangan kecilnya.
***