Dengan erangan kesal, Matthew mengangkat tubuhnya dari kasur dan berjalan keluar kamar. Suara Dito yang sudah beberapa menit memanggil-manggil namanya dari luar semakin keras dan mengganggu. Dengan langkah gontai, ia menyeret diri ke pintu depan, membukanya dengan enggan, lalu memandangi Dito dengan tatapan kesal.
"Lu ngapain sih dateng mulu?" keluhnya lesu. Situasi mereka kini benar-benar terbalik. Dulu Matthew yang rajin muncul di apartemen Dito, kini justru Dito yang hampir setiap hari menyambangi rumahnya. Bedanya kalau dirinya tahu waktu, atau lebih teratur jam kedatangannya karena harus kerja, temannya yang tak punya pekerjaan tetap dan hanya sibuk menghabiskan waktu ini, muncul di jam-jam tak wajar.
"Lu kenapa?" tanya Dito, memperhatikan wajah kusut Matthew yang tak seperti biasa. Memang jelas bahwa Matthew baru bangun tidur—meski matahari sudah hampir tepat di atas kepala—tapi kekacauan di wajahnya itu bukan sekadar bekas tidur, melainkan sesuatu yang lebih dalam dan berantakan.
"Patah hati!" seru Matthew sambil melemparkan tubuhnya ke sofa dengan gerakan dramatis.
"Ha? Patah hati? Sama siapa?" Dito membelalak, segera duduk di samping Matthew. Dia tahu betul bukan karena Rubi, karena perasaan Matthew ke Rubi benar-benar tak ada yang lain selain benci.
"Lucia," jawab Matthew tak bergairah, membiarkan kepalanya terkulai di sandaran sofa. Matanya menatap kosong ke langit-langit, seolah mencari jawaban di antara retakan cat yang mulai mengelupas.
Dito menghela nafas panjang. "Ohhh! Jadi selama ini lu suka sama Lucia." Tangannya menepuk paha Matthew keras. "Gimana ceritanya?”
Matthew menutup wajah dengan kedua tangannya. "Dia nolak gue. Dengan dingin dan tegas. Katanya... karena gue adalah Matthew, mantan muridnya yang dulu dia benci, karena umur gue yang lebih muda, karena status gue sebagai atasannya di kantor." Suaranya tercekat. "Bukan karena ada orang lain, bukan karena Rubi... tapi karena gue sendiri."
Dito menggeleng-geleng, tak percaya. "Bener-bener mantep alasannya."
Matthew langsung melemparkan tatapan tajam, melesat bagai tombak.
Dito terkekeh sambil mengangkat kedua tangan. "Sorry, tapi... emang dia nggak punya pacar yang beneran?" tanyanya penasaran.
"Nggak," gumam Matthew frustasi. "Meskipun gue nggak tau siapa cowok bermotor yang waktu itu nganterin dia pulang."
"Motor?" Dito menggaruk-garuk kepalanya. "Motor hitam? Helm hitam juga?"
Kepala Matthew langsung terangkat dari sandaran sofa, seluruh tubuhnya menegang. "Iya!" sahutnya dengan mata membelalak. "Kok lu bisa tau?"
"Ya itu," tunjuk Dito ke arah jendela. "Lagi parkir di depan rumah." Tangannya lalu menunjuk ke langit-langit. "Orangnya lagi ada di atas, tadi ketemu."
Matthew terlonjak dari sofa seperti tersengat listrik. Dia melesat keluar rumah dan memburu tangga menuju lantai dua. Berkeliaran di area rumah ini dengan bertelanjang kaki karena buru-buru mulai jadi kebiasaannya. Matanya sempat menangkap motor hitam yang terparkir rapi di halaman—benar, itu motor yang sama yang dilihatnya malam itu. Dito mengikutinya dengan langkah sama gesitnya, kedua kaki mereka menimbulkan derap berisik di anak-anak tangga besi yang bergetar.
Sesampainya di lantai atas, mereka disambut pintu yang sudah terbuka lebar, seolah sedang menunggu kedatangan. Tanpa ba-bi-bu, mereka langsung memasuki ruangan.
Lutva yang sedang berdiri di tengah ruangan langsung melotot dan menunjuk tajam. "Nah, akhirnya muncul juga orangnya! Tolong lu bilangin deh ini orang!" ujarnya pada Hadin yang sedang duduk santai di sofa.
Matthew membeku. Matanya langsung tertancap pada jaket kulit hitam yang tersampir di sandaran sofa persis di sebelah Hadin. Motor hitam, helm hitam, jaket kulit hitam... Jadi pria yang kemarin memeluk Lucia itu... adalah Hadin? Matanya yang terbelalak menatap Hadin dengan sejuta pertanyaan bergelayutan. Ada hubungan apa sebenarnya antara dia dan Lucia? Benarkah hanya sekadar teman? Lalu mengapa dia bisa memeluk Lucia a malam itu?
Sementara itu, Lutva sudah berjalan mendekati mereka. "Eh, Mat, ini temen lo ngapain sih tiap hari dateng bawain gue tas-tas mahal kayak gini!" tunjuknya pada deretan tas belanja bermerek mewah yang tergeletak di kursi.