Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #25

24. Terima kasih, Rubi!

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, Lucia yang sengaja mengulur-ulur waktu untuk pulang lebih larut agar tak perlu berpapasan dengan Matthew, malah langsung disambut oleh pria itu begitu membuka pagar. Matthew duduk di bangku kayu dengan sikap yang tak biasa—kaki menyilang, tangan terlipat di dada, dan tatapan tajam yang seolah sudah menunggu lama.

Dengan kepala menunduk, Lucia berusaha melewati halaman seolah tak melihat sosok itu. Namun langkahnya terpaksa berhenti ketika Matthew yang buru-buru bangkit dari bangku tiba-tiba sudah tiba di hadapannya dan menghalangi jalan.

"Kita perlu bicara!" Matthew bersikeras, suaranya rendah tapi penuh tekad.

"Gue ngantuk," tolak Lucia sambil mencoba menyelinap ke sisi kiri.

Tapi Matthew dengan lincah bergeser ke kanan, kembali menghadang. "Aku suka kamu!" ujarnya, lantang dan jelas di keheningan malam.

Dahi Lucia berkerut. "Gue gak dengar apa-apa, minggir!" Ia mencoba menembus ke sisi kanan.

Sekali lagi Matthew menghadang. "Aku suka kamu, Lucia!" teriaknya lebih kencang, membuat jantung Lucia berdebar kencang.

Mata Lucia membelalak. Dengan refleks, tangannya menutup mulut Matthew, khawatir suara itu terdengar Lutva atau tetangga. "Lu gila ya?" desisnya kesal.

"Aku suka kamu, Lucia!" ucap Matthew sekali lagi, suaranya teredam oleh telapak tangan Lucia.

Lucia menarik napas dalam, perlahan menurunkan tangannya. Tapi matanya tetap memancarkan penolakan. "Gue udah jawab kemarin," bisiknya, suaranya tiba-tiba lelah. "Gue gak mau bahas lagi."

"Tapi kenapa?" tanya Matthew, tak menyerah. "Emang kenapa kalau aku adalah aku? Kenapa emang kalau aku lebih muda dan atasan kamu di kantor?”

Tindakan Matthew yang begitu berani itu ternyata bukan murni berasal dari dalam dirinya. Semuanya berawal dari obrolan panjang siang tadi dengan Hadin. Pria yang awalnya ditakutinya sebagai rival itu justru menjadi pendukung terbesarnya. Setelah Matthew bercerita jujur dari sudut pandangnya dengan terbuka tanpa gengsi, Hadin pun membalas dengan berbagi pemahaman mendalam tentang Lucia.

Sahabat lama Lucia itu memberikannya beberapa "senjata" ampuh untuk menghadapi watak keras wanita tersebut.

Pertama: Lucia itu bagai batu karang—keras kepala dan teguh pendirian. Hadin menasihatinya, jangan coba-coba menghadapinya dengan kelembutan. Matthew harus sama-sama keras, menjadi "tembok" yang tak mudah ditembus.

Itulah yang baru saja diujicobakannya—menjadi batu sandungan yang menghadang langkah Lucia untuk pergi.

Kedua: Lucia selalu mengedepankan logika dalam setiap keputusan. Maka, jangan coba mendekatinya dengan jurus perasaan. Hadiahkan ia dengan argumen-argumen rasional yang tak terbantahkan.

“Emangnya kenapa kalau aku lebih muda, aku mantan murid PPL kamu, aku atasan kamu di kantor? Bukannya semua orang di kantor tahu itu ya? Dan mereka tahunya kita emang ada hubungan karena dateng ke pernikahan David kemarin berpasangan. Terus, yang jadi masalah buat kamu, kamu gak nerima aku karena alasan itu, karena takut dilihat siapa?”

Lucia memandangnya dalam-dalam. Dalam cahaya remang-remang, ia bisa melihat ketulusan di mata Matthew, tapi juga kenaifannya. "Ini bukan tentang takut. Ini tentang... kenyataan." Ia menghela napas. "Dunia nggak sesederhana yang lu pikir."

"Terus, kenapa malah dipersulit?" potong Matthew, langkahnya mendekat. "Aku tahu kamu merasakan sesuatu. Aku bisa lihat di mata kamu."

Lucia menggeleng, mundur selangkah. "Apa yang lu lihat cuma asumsi lu." Ia menatap Matthew dengan kesal. "Bukannya lu juga salah sangka dulu sama gue? Karena asumsi lu itu?"

Matthew mendadak diam, ia tak bisa mendebat Lucia lagi. Sama seperti Lucia yang beberapa saat lalu sempat menyesali tindakannya karena tetap membawa Matthew ke pernikahan David sebagai pasangannya padahal sudah khawatir hatinya akan goyah, Matthew juga menyesal meminta maaf pada Lucia dan mengakui kesalahannya di masa lalu sebelum menyatakan cintanya kemarin.

Sekarang, Lucia memiliki senjata baru yang handal. Argumennya terdengar sempurna, tak terbantahkan, dan menusuk tepat di sasaran.

Tanpa menunggu balasan, Lucia bergeser dan melanjutkan langkahnya menuju tangga. Kali ini, Matthew tidak lagi menghalangi. Ia hanya berdiri di sana, menyaksikan sosok Lucia akhirnya menghilang di balik pintu, meninggalkannya sendirian dengan perasaan yang tersisa dan pertanyaan yang masih menggantung di udara malam.

Tapi, ini bukan akhir. Matthew masih menyimpan beberapa kartu dari Hadin. Mungkin lebih baik mundur sementara, merancang strategi baru. Besok, di kantor, situasi akan lebih menguntungkannya. Di hadapan rekan-rekan yang menganggap mereka pasangan, ketika Lucia tak bisa menolak kedekatan mereka tanpa alasan—disitulah dia akan melancarkan serangan berikutnya, dengan lebih leluasa melabuhkan pengaruhnya, mencairkan perlawanan perempuan itu.

Matthew putar balik, kembali ke rumah, bukan kalah, hanya sedikit mengalah. Demi kemenangannya yang mungkin tak akan jauh lagi dari genggaman.

***

"PAGI!"

Sapaan itu meledak penuh semangat, mendahului kehadiran Matthew yang tiba-tiba muncul di hadapan Lucia. Entah dari mana asalnya, pria itu sudah berdiri di depannya, seolah-olah baru saja melompat dari balik udara pagi.

Lihat selengkapnya