Matthew, masih memegang pipi kirinya yang berdenyut, menatap Lucia dengan mata berbinar. Ia merasakan kehangatan dan kekuatan dari genggaman tangan Lucia yang masih melingkari pergelangannya. Wajah Lucia, meski baru saja melakukan aksi yang eksplosif, kembali stabil dan dingin—namun ada kilau tajam dan cepat yang menari di matanya, tanda adrenalin yang belum sepenuhnya reda.
Matthew, membiarkan keheningan tercipta hingga lift mulai bergerak naik, tersenyum lebar. Ia mencondongkan sedikit tubuhnya.
“Makasih, Kakak Cantik!” ujar Matthew begitu pintu lift berdenting terbuka di lantai yang mereka tuju.
Lucia yang berniat melangkah keluar lift menengok sinis, dan kemudian baru tersadar. Tatapannya turun ke tangan mereka yang masih menyatu, melihat bagaimana jemarinya menggenggam erat tangan Matthew. Kesadaran itu menghantamnya. Sial. Keluhnya dalam hati. Tanpa ekspresi, ia langsung melepas tangan Matthew dengan gerakan tegas, hampir seperti menjatuhkannya, dan melangkah keluar lift menuju koridor yang sepi.
Di belakangnya, Matthew mengekor dengan wajah sumringah. Ia segera mempercepat langkah, menyamakan ritme dengan Lucia yang berjalan cepat seolah ingin melarikan diri.
“Jadi tadi Kakak cantik belain Adik, ya?” godanya. Matthew menundukkan kepalanya, hingga mulutnya persis berada di samping telinga Lucia. Ia menghirup aroma jasmine yang tajam dari rambut Lucia.
Lucia menoleh cepat, gerakan reflek yang tajam. Perhitungannya salah. Kepala Matthew terlalu dekat, hingga hampir saja bibir pria itu menyentuh pipinya yang kini terasa panas. Ia reflek mundur, langkahnya terhuyung sedikit. Wajahnya merah, rona kemerahan menjalar dari garis rahang hingga ke telinga. Ini bukan kemarahan. Ini adalah terkejut dan sedikit... panik.
Matthew menegakkan punggungnya lagi. Ia tertawa kecil, suara tawa yang halus namun penuh kemenangan, menikmati reaksi Lucia yang akhirnya menunjukkan celah emosi setelah insiden tamparan itu.
Matthew, merasakan kemenangan kecil dari mundurnya Lucia, mengambil satu langkah maju, mencoba lagi. "Tangan kamu sakit nggak?" Matthew berniat meraih tangan Lucia yang baru saja menampar Rubi, namun wanita ini bereaksi cepat, seperti pegas yang ditarik, ia langsung mundur lagi, menjauh dari jangkauan.
Kali ini Lucia menatapnya. Tatapan yang ia berikan jelas bukan tatapan ramah yang Matthew harapkan. Itu adalah tatapan menilai, dipenuhi campuran frustasi dan penghinaan. "Lu tuh nggak punya harga diri apa gimana sih? Kenapa digituin sama Rubi terima aja?" Suaranya rendah dan tajam, sebuah teguran yang menghakimi.
Bukannya menanggapi serius kemarahan Lucia, Matthew malah tersenyum girang, mengabaikan rasa perih di pipinya demi fokus pada ekspresi Lucia yang akhirnya terganggu. "Kakak cantik khawatir sama Adik?" godanya lagi, nadanya ringan dan menggoda, seolah mereka sedang bermain-main.
“Ah!” keluh Lucia, sebuah seruan frustasi yang jarang ia tunjukkan. Emosi itu nampak jelas di wajahnya yang biasa kaku. Ia menghela napas panjang, memutar bola matanya sebagai tanda penyerahan diri. "Susah ngomong sama lu!" Kemudian berbalik badan dengan gerakan tiba-tiba, mempercepat langkah, dan masuk ke lobi kantor.
Matthew mengekorinya dengan langkah santai, menikmati peran sebagai pihak yang berhasil memancing reaksi.
Mei, si resepsionis dengan seragam kantor rapi, mendongak dari mejanya. Senyum ramah langsung terpasang. “Pagi Mbak Lucia, Mas Matthew!” sapanya ceria. Sapaan itu tak ditanggapi oleh Lucia, yang wajahnya masih tegang karena kesal, matanya lurus ke depan.
Namun, perhatian Mei sejak awal memang sudah tertuju ke Matthew. Ia melihat lebih dari sekadar senyum girang pria itu. "Kok pipinya berdarah gitu, Mas?" tanya Mei khawatir, nadanya berubah serius.