Tak disangka, sesi investigasi terkait insiden kekerasan di lobi berlangsung selama tiga jam penuh. Selama proses yang menguras energi itu, mereka sudah menghabiskan segelas kopi dan dua gelas air putih, menandakan durasi dan intensitas pertemuan yang panjang. Pertanyaan diajukan oleh tim gabungan yang terdiri dari perwakilan Personalia (HRD), Internal Audit, dan Komite Etik. Interogasi ini ditujukan kepada semua pihak yang terlibat langsung maupun tak langsung: Lucia, yang memulai aksi penamparan; Matthew, korban tamparan awal dan pacar sandiwara; Rubi, pihak yang menampar Matthew; Cindy, atasan langsung Rubi; dan Vino, yang diikutsertakan sebagai atasan Lucia. Kehadiran Vino menjadi penting karena secara hierarki, Lucia berada di bawah Matthew, dan Matthew sendiri terlibat dalam insiden tersebut. Oleh karena itu, Vino dilibatkan sebagai pihak netral yang dapat memberikan penilaian objektif mengenai performa dan integritas Lucia.
Tanpa perlu dijelaskan, setiap orang yang mengenal Lucia dan Rubi sudah bisa menduga bagaimana jalannya investigasi ini. Rubi, yang memang dikenal sebagai ratu drama, terus-terusan merengek, suaranya dihiasi isak tangis yang dibuat-buat. Ia berusaha keras menunjukkan kepada tim pemeriksa bahwa dirinya adalah korban murni dalam kasus ini, melebih-lebihkan rasa sakit dan penghinaan yang ia terima.
Sementara Lucia, di sisi lain, jelas berdiam diri, dingin, tak terpengaruh. Ekspresinya stabil dan jauh, seperti patung yang terisolasi di dalam pojok museum. Apapun yang Rubi ucapkan, ia biarkan memantul di dinding ruangan tanpa ada yang masuk ke telinganya. Ia hanya menjawab semua pertanyaan dengan suara singkat, datar, dan minim emosi. Sikapnya yang tenang dan objektif sangat kontras dengan sikap defensif Rubi yang berlebihan.
Dan Matthew, yang sebenarnya hadir sebagai korban sekaligus saksi mata kunci, menjelaskan rentetan kejadian dengan tenang dan terperinci. Namun, ia melakukannya sambil tetap menjaga privasi mereka semua. Meskipun banyak bicara dan menyajikan argumen, ia tahu Rubi tak akan mau keseluruhan masalah pribadi mereka diungkap di hadapan Komite Etik. Dan ia juga menyadari, meski Lucia tak berekspresi atau menyuarakan permintaan bantuan, wanita itu membutuhkan dukungan argumen yang kuat darinya. Matthew bertindak sebagai pengacara tak terucap bagi sandiwara mereka.
Di sisi lain, Cindy dan Vino hanya sedikit berbicara. Keduanya lebih banyak berperan sebagai pengawas proses, menjaga suasana tetap profesional, dan hanya menjawab jika diminta untuk mengklarifikasi masalah hierarki atau prosedur kerja.
Tepat menjelang jam makan siang, sesi investigasi yang tegang akhirnya ditutup. Tim pemeriksa menginformasikan bahwa pemeriksaan akan dilanjutkan dan pertimbangan akan dilakukan secara internal. Mereka semua akan mendapat kabar lagi perihal hasil dari penyelidikan dan tindakan sanksi apa yang akan dijatuhkan.
Begitu pintu ruang rapat tertutup di belakang mereka, suasana langsung pecah. Cindy dengan cepat memanggil Vino. Kedua senior yang sudah lama bekerja di perusahaan itu saling melempar pandang penuh arti, menunjukkan keinginan untuk melakukan pembicaraan terpisah dengan yang lain sambil menyantap makan siang. Jelas ada manuver politik yang sedang dimainkan.
Sementara itu, Rubi, yang wajahnya masih cemberut dan merah karena perpaduan amarah dan tangisan palsu, memilih langsung pergi entah ke mana.
Sisanya, hanya tinggal Lucia dan Matthew. Lucia berjalan kembali ke area kerjanya, langkahnya cepat dan kaku, menunjukkan bahwa ia sama sekali tak bernafsu untuk menyantap makan siang. Dan tentu saja, Matthew, yang tak menyia-nyiakan kesempatan itu, mengikutinya dengan setia seperti anak kucing ke induknya, jaraknya hanya satu langkah di belakang Lucia.
Matthew mengikuti Lucia yang berjalan lurus ke arah pantry. Langkahnya yang tenang berlawanan dengan kecepatan Lucia.
“Nggak makan siang?” tanya Matthew.
Lucia tak menyahut. Ia hanya terus melangkah masuk ke dalam pantry yang sepi, mengambil sebuah gelas kaca bersih, lalu mengisinya dengan air mineral dingin dari dispenser. Di sampingnya, Matthew berdiri tenang, bersandar di konter, memandangi wanita itu.
Lucia menenggak isi gelasnya tanpa jeda, menuntaskannya sampai habis. Setelah gelas kosong itu diletakkan dengan bunyi pelan, ia menghela napas panjang dan berat sambil memejamkan matanya. Seolah air mineral dingin itu sedang menggempur dan melepaskan semua emosi yang sejak tadi mengikat dirinya dalam ketegangan.
“Makan siang dulu, yuk?” ajak Matthew.
Lucia membuka matanya perlahan dan menoleh. Bocah ini, batinnya sinis. Matthew sudah tak pernah menaruh formalitas sedikit pun kepada orang yang lebih tua dalam setiap ucapannya. Namun, Lucia sudah terlalu lelah untuk memprotes tentang hal itu. Pria ini gila, dan dia tak punya tenaga untuk mengimbangi cara mainnya yang seenaknya.
Mata Lucia beralih, fokus pada luka yang ada di pipi Matthew. Goresan tipis itu sudah mengering, meninggalkan bekas darah yang membeku begitu saja, tampak gelap karena tak sempat dirawat sama sekali. Luka itu bagai pengingat nyata dari kekacauan yang baru saja mereka lalui.
Mata Lucia fokus pada goresan beku di pipi Matthew. “Obatin dulu luka lu!” ucapnya. Ia menunjuk ke salah satu kursi yang ada di pantry—isyarat tanpa basa-basi agar Matthew duduk di sana sementara ia bergerak mengambil kotak P3K yang tersimpan di pojok ruangan.
Dengan senyum yang perlahan mengembang penuh arti, Matthew menurut. Ia duduk dengan manis, matanya tak pernah lepas dari Lucia yang akhirnya duduk di hadapannya sambil membuka kotak pertolongan pertama itu.
“Hatinya nggak diobatin, nih? Padahal hatinya yang lebih sakit nih ditolak,” goda Matthew. Jelas ia tak mendapat tanggapan apa pun dari Lucia, yang bersikap datar seolah-olah telinganya sama sekali tak bisa mendengar ocehan Matthew.
Tangannya mulai menaruh cairan antiseptik pada kapas steril, lalu menutulkannya hati-hati ke pipi Matthew. Tatapan Lucia tenang dan keras, fokus sepenuhnya ke luka di pipi Matthew, sengaja menghindari tatapan mata Matthew yang kini memandangnya lekat-lekat.
“Kamu khawatir soal komite etik tadi?” tanya Matthew kemudian, nadanya berubah sedikit lebih serius.
Tangan Lucia berhenti bergerak di udara, jeda singkat itu penuh pertimbangan. “Menurut lu? Kalau gue kena SP gimana?”
Matthew terkekeh pelan. “Sebenernya ada jalan pintas buat nggak kena apa-apa, tapi kamu mau nggak? Soalnya termasuk nepotisme.”