Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #28

27. Beda Kondisi Satu Masalah

Matthew hampir jatuh tersandung kakinya sendiri saat buru-buru membuka pintu rumah sambil mengenakan kaosnya. Ia baru selesai mandi—hanya mengenakan celana pendek—saat mendengar pintu rumah diketuk dengan tidak sabar. Matthew tahu betul siapa yang ada di depan pintu, dan ia tergesa bukan karena ingin menyambut pria yang setiap hari datang ke rumahnya ini, tetapi karena suara berisik itu bisa membangunkan neneknya yang baru saja tertidur pulas.

“Berisik banget lu!” hardik Matthew begitu membuka pintu. Tinjunya hampir melayang refleks ke perut Dito.

“Kapan? Jadi kapan gue bisa makan malem bareng Kak Lutva?” todong Dito. Pertanyaannya selalu sama selama tiga hari terakhir.

“Aduh!” keluh Matthew. Ia berbalik dan menjatuhkan diri di sofa, menarik ujung kaosnya yang tadi baru menutupi setengah perutnya. “Lu kira gampang emang? Lucia juga berusaha buat cari cara!”

“Ya bodo pokoknya buruan!” desak Dito tak mau tahu. Ia membanting tubuhnya duduk di samping Matthew dengan tangan terlipat di depan dada dan mulut mengerucut kesal. “Gue kan udah beresin masalah lu, masa lu lama banget begitu!”

Mata Matthew melirik enggan, sementara bibirnya mencibir kesal. Seumur hidupnya kenal dengan Dito, dia tak pernah tahu kalau anak ini punya sisi yang bawel dan menyebalkan seperti ini—semua hanya karena dia sedang jatuh cinta dengan wanita yang katanya tipenya.

Masalahnya memang betul. Dito sudah menyelesaikan masalah dirinya dan Lucia di kantor. Kemarin secara ajaib—atau tidak sama sekali—perwakilan HR mengabarkan kalau kasus kekerasan Lucia dan Rubi ditutup. Alasannya terkesan dibuat-buat: karena tak ada pihak yang menuntut pertanggungjawaban dan kejadian itu disebut terjadi di luar area kantor. Hal ini cukup aneh bagi mereka yang tak tahu, karena Komite Etik sebelumnya bersikeras memproses, padahal Rubi dan Lucia sama-sama sudah menyatakan tak ingin perkara berlanjut.

Namun, bagi Matthew, ini tidak aneh sama sekali. Ia tahu semua itu terjadi setelah Dito, tanpa tedeng aling-aling, menelepon Direktur Utama—yang tak lain adalah sepupunya—untuk memberikan perintah agar masalah itu tak perlu diperpanjang dan dibahas lagi.

Meski diam, Matthew tahu, Rubi juga pasti menyadari campur tangan Dito ini. Tapi saking malu dan tak punya muka untuk berdebat lagi, karena di seluruh kantor akhir-akhir ini sedang membicarakan dirinya yang dianggap berusaha merebut Matthew dari Lucia, gadis itu memilih bungkam.

“Ya kan gue udah makasih!” kilah Matthew. “Tunggu dulu, gak gampang tau gak naklukin cewek yang lebih tua!”

Kali ini Dito yang melirik sinis, menatap Matthew dari ujung kaki hingga kepala. “Kok jadi lu yang curhat sih?”

“Ck!” decak Matthew frustasi. “Ya emang gitu kenyataannya!” Kali ini dia ikut melipat tangannya di depan dada dengan mulut mengerucut.

Selama berhari-hari, Lucia pulang pergi ke kantor bersama Matthew. Tidak seperti hari pertama, ketika ia bersikeras menggunakan angkutan umum ke tempat kerja. Kini, wanita itu tak banyak berkomentar saat Matthew pagi-pagi sudah menunggunya di halaman, siap mengajaknya berangkat dengan mobil.

Tapi di situlah masalahnya: Lucia bersikap terlalu biasa, terlalu… datar… seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.

Matthew mencoba segalanya. Tak peduli seberapa sering ia menggoda, berapa kali ia menyatakan cinta, perempuan itu tak pernah merespon. Lucia hanya diam di jok sebelah, sering kali menutup mata seolah sedang tidur nyenyak. Ia menunjukkan secara terang-terangan bahwa dirinya tidak ingin diajak bicara. Ia membangun tembok keheningan yang kokoh di dalam mobil.

Ada satu kesempatan ketika Matthew, antara iseng dan nekat, mengambil risiko. Saat lampu lalu lintas menunjukkan warna merah yang cukup lama, ia mendekatkan wajahnya ke wajah Lucia. Ia bermaksud menggoda, berpura-pura hendak menciumnya, berharap bisa memecah kebekuan wanita itu.

Namun, begitu Lucia membuka mata, bukan ekspresi kaget atau tersipu seperti yang Matthew harapkan. Wanita itu menatapnya dalam, tajam, dan sedetik kemudian, telapak tangannya mendarat keras di pipi Matthew. Tamparan itu kencang dan pedas, meninggalkan sensasi menyengat yang terasa hingga ke tulang.

Lihat selengkapnya