Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #29

28. Setelah Bahaya Berlalu

Untuk pertama kalinya sejak beberapa waktu, Lucia tak melihat Matthew di seberang tempat duduknya. Pria itu sedang rapat di salah satu toko cabang. Tadi pagi, mereka bahkan tak berangkat bersama karena Matthew harus langsung menuju ke lokasi.

Inilah yang Lucia benci dari bergantung pada orang lain: karena sudah terbiasa berangkat dengan mobil bersama Matthew, ia sangat kelelahan hari ini, tertatih-tatih menggunakan transportasi umum lagi. Padahal sebelumnya dia sudah kebal dengan rasa lelah itu.

Sepanjang hari, matanya juga tak henti-henti melirik ke meja Matthew yang kosong. Meja yang sehari-hari dipenuhi dokumen dan tawa kecil Matthew, hari ini sunyi. Biasanya, ketika dia menengok, pria itu sedang melihat ke arahnya, lalu buru-buru membuat gerakan bibir tanpa suara yang mengatakan, “Aku suka kamu,” sambil tersenyum lebar tanpa malu. Anggi bahkan sudah hafal ritual itu, sering kali dia menendang-nendang kaki Lucia di bawah meja, saking gemesnya melihat interaksi yang terang-terangan itu.

Status Matthew yang secara intens mengejar Lucia sudah menjadi pengetahuan umum di kantor. Pria supel itu bahkan mengatakan dengan lantang ke siapa saja yang bertanya, secara terbuka mengungkapkan perasaannya dan meminta doa agar cepat diterima Lucia. Salah satu strategi nyata bahwa dirinya ingin menunjukkan kalau ketakutan Lucia tentang pandangan orang lain, tak berdasar dan tak perlu dilanjutkan. Tak ada satupun orang yang keberatan dengan perbedaan status jabatan dan usia mereka. Setidaknya di depan, kelihatannya begitu. Entah dibelakang.

Sekarang, tak melihatnya selama beberapa jam di kantor saja, diam-diam Lucia merasa resah. Ia berkali-kali mengecek ponselnya, memastikan apakah ada pesan dari Matthew mengenai janji jemputan saat pulang kerja nanti. Tadi pagi sebelum berangkat kerja dia sempat mengirim pesan. “Jangan pulang sendiri nanti aku jemput.” Pesan yang Lucia abaikan karena gengsi, namun sekarang diam-diam, hatinya penuh harap, kalau pria itu benar-benar menjemputnya pulang. Kekosongan Matthew di seberang meja terasa dingin, mengingatkannya bahwa tembok pertahanannya mulai runtuh seiring waktu. Batas antara logika dan perasaannya mulai buram. Ia mulai tersesat dalam pertimbangannya sendiri.

Dan kini jam sudah menunjukkan waktunya pulang kerja, Lucia yang biasa on-time memilih tetap berada di kursinya. Belum menutup laptop, belum merapikan tasnya.

“Lu nggak pulang?” tegur Anggi sambil berdiri dari kursinya dan memakai jaket.

“Nanti, masih ada kerjaan,” dusta Lucia, nadanya berusaha terdengar sibuk. Padahal, ia sedang menunggu pesan dari Matthew, kepastian datang menjemput atau tidak.

Anggi diam-diam tersenyum. Ia tahu Lucia sedang berbohong karena tak ada pekerjaan mendesak yang harus dikerjakan; gelagatnya seharian ini juga kentara betul sedang merindukan Matthew. Namun, ia tak ingin berkomentar apa pun. Ia tak mau membuat temannya yang bergengsi tinggi ini malah makin menunjukkan penolakan terhadap perasaannya sendiri—perasaan yang, Anggi tahu, sudah tak bisa tertolong lagi.

“Yaudah gue duluan ya,” tepuknya ringan di bahu Lucia. “Bye!” pamitnya sambil tersenyum. Sambil berjalan keluar ruangan ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke seseorang.

Satu per satu orang di ruangan itu pergi. Matahari makin tenggelam, dan lampu kantor mulai otomatis menyala, menciptakan suasana remang-remang yang tenang. Lucia bangkit dari kursinya sambil membawa gelas. Bermaksud meregangkan badannya yang mulai terasa kaku karena terlalu lama duduk, sekalian membuang-buang waktu. Saat berjalan ke pantry, ia menengok ke sudut lain ruangan, baru menyadari kalau laptop Vino masih ada di atas meja. Ah, rupanya orang itu juga belum pulang.

Selain di ruang rapat bersama Komite Etik dan beberapa rapat tim lainnya, sejak pesta pernikahan David, Vino kelihatan seperti menjaga jarak. Sikap dingin dan 'tak tersentuh'-nya yang biasa dirasakan orang lain, sekarang juga berlaku saat ia bicara dengan Lucia. Kini, setiap diskusi dengan Vino, suasana jadi sedikit lebih canggung dari biasanya, karena pria itu acapkali menempatkan dengan jelas posisi mereka sebagai atasan dan bawahan dari caranya bicara. Menempatkan jarak tak kasat mata yang selama ini padahal tak pernah ia taruh.

Meskipun canggung, Lucia justru lebih lega akan hal itu. Karena berarti Vino tidak benar-benar tertarik padanya, dan dia tak perlu susah-susah menjauhkan cowok itu, seperti yang ia lakukan pada Matthew saat ini. Satu masalah hilang, satu masalah lagi sedang cuti honeymoon—dan semoga tak pernah menjadi masalah lagi setelah itu. Meskipun masalah utamanya, Matthew, malah yang paling mengganggu.

Saat mengisi air ke gelas, Lucia tiba-tiba mendengar langkah kaki yang berat memasuki ruangan. Suaranya tak seperti langkah biasa, makin terdengar dan terasa mendekat ke pantry. Begitu ia menengok, ia mendapati Vino sedang berjalan ke arahnya, sedikit sempoyongan, dengan tatapan mata tak fokus.

“Belum pulang, Mas?” sapa Lucia santai, berusaha menjaga profesionalitas, kembali menatap ke gelasnya yang baru setengah terisi. Akan tetapi, samar-samar hidungnya menangkap bau sesuatu yang asing dan tajam—bau alkohol. Ia langsung berhenti mengisi air, dan secara naluriah menggeser tubuhnya selangkah menjauh, berusaha menghindar.

Jika dugaannya benar, Vino mungkin baru kembali dari rapat bersama manajemen. Pria ini pernah bercerita kalau rapat manajemen sering diakhiri dengan minum alkohol untuk mencairkan suasana, dan biasanya dia tak ikut-ikutan. Dan, Lucia memang tak pernah melihat wajah Vino se-mengkilat dan se-merah ini. Pria ini juga tak menjawab sapaannya, hanya berdiri terdiam, memandang ke arahnya dengan tatapan yang terlalu tajam. Keheningan yang tak biasa itu membuat Lucia makin was-was.

“Duluan, Mas,” ucap Lucia sambil menunduk. Ingin menjauh dari suasana canggung ini. Dalam hati sudah memutuskan akan langsung pulang saja tanpa menunggu kabar Matthew lagi.

Namun, saat ia berjarak satu langkah melewati pria itu, tangan Vino mencengkram lengannya yang memegang gelas secara mendadak. Genggaman itu keras dan tiba-tiba, membuat tangan Lucia terguncang hebat dan gelas kaca itu jatuh ke lantai, menghasilkan suara nyaring pecahan serpihan kaca yang tersebar di lantai keramik.

Lihat selengkapnya