Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #30

29. Mencoba Bersemi di Tanah Dingin

Lagi-lagi, sambil berjalan di gang menuju rumah, Matthew mencium punggung tangan Lucia yang sedang digenggamnya—sebuah tindakan yang sudah ia lakukan berkali-kali di sepanjang perjalanan di dalam mobil tadi. Lucia yang masih dilanda rasa gengsi yang kaku, hanya tertawa kecil, memalingkan wajahnya ke arah lain.

Tepat saat mereka tiba di depan pagar rumah Matthew, keduanya secara tiba-tiba teringat satu hal yang luput dari perhatian. Mereka saling melempar pandangan tegang dan berkata, “Nenek!” serentak. Sebelum buru-buru membuka pagar menyeberangi halaman.

Hari ini Lutva makan malam dengan Dito, dan Matthew seharusnya tiba tepat waktu, sebelum jam tujuh malam. Namun, karena masalah Vino di kantor tadi, mereka harus melapor ke petugas keamanan dan menjelaskan duduk perkara, waktu berlalu begitu saja sampai akhirnya kini waktu menunjukkan hampir jam delapan.

Dengan tergesa, mereka berlari ke pintu di lantai satu itu. Tangan kanan Matthew masih menggenggam erat tangan Lucia, sementara tangan kirinya menekan kenop pintu rumahnya yang ternyata tidak dikunci. Mata Matthew melebar, menatap Lucia panik. Ia segera mendorong pintu terbuka, bersiap dengan kemungkinan terburuk: kalau-kalau neneknya mengacau di rumah, atau bahkan kabur.

Namun yang mereka dapati justru Adam, duduk tenang di ruang tamu sambil menonton televisi bersama sang nenek.

Keduanya menghela nafas lega, desahan panjang yang dilepaskan bersamaan. Adam, yang menoleh karena terkejut, langsung memusatkan perhatiannya pada tangan mereka berdua yang masih berkait erat.

Sadar akan perhatian itu, Lucia langsung melepaskan tangannya dari genggaman Matthew. “Adam yang jagain Nenek daritadi?” tanyanya, menghampiri keponakannya.

“Em,” angguk Adam. “Mama pergi setengah jam lalu, sama si Om Heboh.”

“Om Heboh?” pekik Matthew, hampir menyemburkan tawa, menyadari julukan yang diberikan Adam untuk Dito.

Sambil juga menahan tawa, Lucia menyikut pinggang Matthew dengan pelan, memperingatkannya agar tak mendukung Adam yang walaupun lucu, bagaimana juga sedang mengolok orang yang lebih tua darinya.

“Yaudah ayo kita pulang!” Ajak Lucia pada Adam. “Om Matthew yang jaga nenek.”

“Em, makasih ya, Dam!” seru Matthew, suaranya riang dan penuh rasa terima kasih. Ia lalu menatap Lucia penuh arti, matanya memancarkan perintah sekaligus harapan. “Nanti chat aku!” ucapnya dengan gerak mulut tanpa suara, hanya Lucia yang bisa memahaminya.

Lucia tak menyahut, hanya menyunggingkan senyum misterius di bibirnya—tak mau berjanji. Ia merangkul bahu Adam, ponakannya yang pendiam, dan berjalan menuju pintu. “Selamat malam, Nek!” ujarnya, nenek Matthew yang sedang fokus menonton TV tak menoleh sama sekali.

Matthew tak menyia-nyiakan kesempatan. Diam-diam ia melemparkan kiss-bye yang dramatis dan menggelikan. Aksi kekanak-kanakan itu berhasil. Seketika, senyum Lucia melebar, ia hampir tertawa lepas. Tapi ia segera menahannya, memilih bergegas berjalan ke arah tangga bersama Adam.

Matthew berdiri sendirian di ambang pintu, menyaksikan punggung Lucia dan Adam menghilang di balik tangga. Wajahnya berseri, senyumnya tak hilang. Ia merasakan lagi adrenalin yang meluap saat penyelamatan di kantor tadi, bercampur dengan kehangatan pelukan Lucia.

Ia mendesah bahagia, lalu dengan langkah ringan berbalik masuk ke dalam rumah. Ia kini harus fokus menjaga neneknya dan menantikan cerita kesuksesan kencan Lutva dan Dito lalu pamer dengan keberhasilannya sendiri. Tapi yang paling penting: menunggu notifikasi chat dari Lucia, yang sekarang sudah resmi jadi wanitanya. Ah, atau belum? Wanita itu belum mengatakan menyukainya juga.

Ah masa bodoh, ingat kata Hadin, love language-nya Lucia itu physical touch. Jadi dengan dia sudah memeluk dan menerima saja tangannya dicium. Apa yang harus diragukan lagi. Ia pun melenggang riang menyambangi neneknya. “Nenek, cucumu ini punya pasangan!” pamernya.

Lihat selengkapnya