Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #31

30. Lebih Baik Dirahasiakan

Udara pagi terasa segar dan sejuk, khas jam-jam awal matahari terbit, meski sinarnya belum sepenuhnya terik tapi hangatnya sudah mulai sampai ke kulit. Lucia menuruni tangga rumahnya. Ia tampil rapi dalam balutan blus kantor yang licin dan rok rempel selutut, siap menghadapi hari kerja yang mungkin akan penuh drama karena kejadian kemarin—kejadian dirinya, Vino, dan Matthew yang kemungkinan sudah sampai laporannya ke HR.

Di halaman, Matthew sudah menunggu. Pria itu berdiri tegak, tepat di depan anak tangga paling bawah, mengenakan kemeja biru langit dan celana jeans biru dongker, harum parfumnya sudah tercium sejak Lucia masih di tengah tangga. Tangan terlipat di depan dada, matanya menatap lurus penuh protes yang tertahan, tertancap pada wajah Lucia yang mendekat ke arahnya.

“Kenapa?” tanya Lucia, begitu sampai di hadapannya. Wajahnya polos seakan tak berdosa, benar-benar menampilkan ketidakpahaman yang menguji kesabaran Matthew.

“Kamu nggak lupa sesuatu?” balas Matthew, suaranya mengandung nada menahan kegemasan.

Kepala Lucia bergerak ke satu sisi, menunjukkan ketidaktahuan yang jujur.

“Kamu nggak chat aku!” ungkap Matthew kemudian, frustrasi sendiri karena wanita di hadapannya ini nampak tak akan paham bagaimana perasaan dan isi kepalanya kalau tak dia sendiri yang menjelaskan. Wajahnya cemberut penuh rajuk.

“Oh,” tanggap Lucia singkat, hanya satu suku kata.

Sebenarnya semalam... begitu sampai ke rumah, ia langsung bersih-bersih dan mandi. Setelah mandi, dia sempat menimbang untuk mengirimkan pesan ke Matthew. Tapi ketika dia sedang sibuk berpikir harus mengirim apa, dan mengapa dia harus mengirim chat lebih dulu—kenapa bukan pria itu yang mengirim dan dia tinggal membalas?—Lutva pulang. 

Ekspresi wajah kakaknya itu kelihatan tak senang juga tak kesal, malah terlihat penuh pikiran yang semrawut. Mirip seperti dirinya ketika pulang setelah mengambil raport Adam waktu hampir tak naik kelas di SD dulu. Langsung masuk kamar tanpa menyapa Lucia yang tengah duduk di sofa.

Lucia yang penasaran dengan apa yang terjadi antara kakaknya dan Dito langsung bergerak ke jendela, mengintip ke luar, ia mendapati Matthew duduk berdua dengan Dito di bangku kayu luar. Nampak tengah mengobrol serius. Jadi Lucia berpikir, tidak seharusnya dia mengganggu obrolan mereka dengan mengirimkan pesan ke Matthew. Karena itu, dia langsung kembali ke kamar dan tidur.

“Aku tidur,” jawabnya kemudian. Jawaban yang ringkas dan dingin, memangkas semua detail yang diperlukan dan melompat jauh langsung ke kesimpulan.

Matthew memejamkan matanya singkat, menarik napas panjang untuk menahan diri dari frustasi pagi hari. Baru kali ini dia bertemu dengan wanita yang lebih-lebih tak peka dari pria manapun yang ia kenal. Masalahnya, ia sangat menyukai wanita ini.

“Kita tuh... pacaran kan?” tanyanya kemudian. Suaranya terdengar ragu, merasa malu dan konyol dengan ucapannya sendiri. Namun, setelah semua yang terjadi—dari sandiwara, penyelamatan di pantry, hingga pelukan—ia kini merasa penting untuk memastikan status hubungan mereka secara gamblang, di bawah cahaya pagi yang lebih terang dari hari-hari sebelumnya.

“Emang kamu pernah nembak?” tanya Lucia, matanya menyipit penuh arti, nada suaranya datar namun tajam menusuk.

Matthew langsung membelalak. Wajahnya seketika kaku dan pucat. Dia sadar, dia memang puluhan, bahkan ratusan kali menyatakan dirinya suka dengan Lucia, mengucapkan kata-kata itu dimanapun mereka berada. Tapi… memang benar, dirinya tak pernah mengajak Lucia secara langsung untuk menjalin hubungan. Jadi… sejak kemarin, setelah penyelamatan dan pelukan yang emosional itu, mereka belum menjalin apa-apa? Mereka masih sama-sama tidak terikat?

Lalu apa arti interaksi kemarin?

Pikiran Matthew berputar kencang, antara panik dan lega. Oh, jadi dirinya tinggal menyatakan cinta sekali lagi dengan lebih jelas, kan? Ia coba mencari solusi paling efisien.

Melihat kekacauan di ekspresi wajah Matthew, Lucia menyunggingkan senyum geli yang misterius. Senyum itu—yang sangat jarang ia tunjukkan—langsung tertangkap oleh Matthew, dan ia dengan cepat mengambil kesimpulan.

“Kamu ngeledek, ya?” tanyanya, suaranya mengandung rasa terkejut dan gemas yang bercampur.

Lucia langsung tertawa renyah, tawa yang terdengar jujur dan lepas, sesuatu yang tak Matthew duga-duga.

“Duh! Ampun!” keluh Matthew, langsung meletakkan dahinya di bahu Lucia. Seluruh ketegangan dari protes dan kekhawatiran status hubungan tadi menguap. Ia lemas karena lega. Ia mengangkat wajahnya lagi, matanya bersinar. “Kamu udah bisa bercanda, ya!” Ia mencubit pipi Lucia gemas—sebuah tindakan refleks yang terlalu akrab.

Ekspresi wajah Lucia langsung berubah. Senyumnya menghilang, matanya melirik tak suka, kembali pada aura dinginnya yang biasa. Perubahan ekspresi yang begitu cepat membuat Matthew langsung panik dan menyesal melakukan tindakan barusan.

Namun lagi-lagi, Lucia tertawa. Tawa itu kali ini lebih terkontrol, namun penuh kemenangan.

“Ah! Ampun!” erang Matthew, berbalik badan dan meninju udara. Ia merasa dipermainkan habis-habisan oleh wanita yang kini memegang kendali atas hatinya, namun ia sama sekali tidak bisa marah. Karena senyum dan tawa Lucia yang langka itu terlihat lebih cerah dari matahari pagi ini.

Melihat ekspresi Matthew, Lucia merasa puas.

Meskipun cara mereka menjadi pasangan jauh dari romantis, da ia pernah bersumpah untuk tidak akan menjalin hubungan dengan rekan sekantor lagi, serta pernah sekuat tenaga menolak perasaan Matthew, Lucia tak ingin munafik. Setelah semua yang terjadi kemarin—terutama setelah dengan sukarela dia menenggelamkan diri dalam pelukan Matthew—mereka memang sudah menjadi pasangan. Ikatan itu tercipta bukan oleh kata-kata, melainkan oleh kebersamaan, perlindungan, dan penerimaan emosional.

Lihat selengkapnya