Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #32

31. Lowkey and Backstreet

Lucia memasuki coffee shop yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor. Di awal jam makan siang, tempat itu tak terlalu ramai. Mungkin itu alasan Vino memilihnya untuk pertemuan ini.

Sesampainya di dalam, ia langsung menemukan keberadaan Vino, pria itu duduk di pojok ruangan, terdiam memandang ke luar jendela. Perlahan ia mendekat, dan begitu sampai di samping meja, Vino terkejut. Matanya langsung menyapu sekeliling ruangan, seolah mencari orang lain. Tak melihat kehadiran orang lain, ia pun buru-buru berdiri. Tatapannya penuh dengan rasa sungkan, canggung, dan malu. Dengan tenang, Lucia langsung duduk di hadapannya, ekspresinya tetap dingin seperti biasa.

Dengan gerakan gelisah, Vino kembali duduk. Ia hendak menawarkan minuman, tetapi tahu betul Lucia bukan tipe yang suka basa-basi. Mengikuti saran David dari konsultasi dadakan semalam, ia pun langsung menunduk dalam-dalam.

“Maaf, aku bener-bener minta maaf,” ucapnya penuh penyesalan.

Sesungguhnya Lucia menyayangkan hal ini sampai terjadi. Vino adalah orang berpendidikan, berpengalaman, dan kompeten. Melihat pria yang selama ini dianggapnya panutan di kantor menunduk seperti ini karena sebuah kesalahan konyol, hatinya terganggu. Namun, bayangan kejadian kemarin yang menakutkan masih segar. Ditambah lagi, cara Vino menyukainya diam-diam lalu mencampuri urusan pribadinya dengan membagikan rahasianya kepada orang lain, bukan hal yang mudah untuk dimaafkan.

“Saya maafin, Mas. Saya juga ngerti kalau kemarin Mas lagi mabuk,” sahut Lucia akhirnya. “Tapi bukan berarti saya udah lupa.”

Vino masih menunduk. “Aku benar-benar nggak akan membela diri. Aku tahu aku yang salah.”

“Em,” Lucia mengangguk singkat.

“Saya nggak akan ngomong ke siapapun, Matthew juga.” Meski belum sempat berbicara dengan Matthew, Lucia yakin pria itu akan berpikiran sama, apalagi tadi dia sedang berbicara dengan David. Pria itu pasti sepaham dengannya. Ia akan bisa membicarakan hal ini nanti sepulang kerja.

“Aku nggak tahu harus berterima kasih bagaimana,” kata Vino, suara bergetar. “Kalau sampai berita ini tersebar, reputasiku hancur. Aku bakal susah cari kerja di mana-mana. Terima kasih sudah mau maafin aku.”

Vino mengangkat pandangannya perlahan, masih penuh sungkan. “Aku udah kasih rekomendasi ke manajemen… untuk posisiku, kamu bisa gantiin.” Ia berhenti sebentar, lalu buru-buru menambahkan, “Bukan karena rasa bersalah, tapi karena kamu yang paling mampu di antara semua supervisor.”

Lucia tidak menyahut, hanya mengedipkan mata perlahan. Dia menghargai niat Vino, tapi tidak ingin berharap terlalu mengambil hati. Baginya, lebih baik menyerahkan segalanya kepada keputusan manajemen. Posisi itu memang sudah lama dia idamkan, namun kalau ditempati setelah dirinya secara tak langsung melengserkan pengisi sebelumnya seperti ini, dia lebih merasa sungkan daripada senang.

Tiba-tiba—

“Sayang?”

Lucia dan Vino menengok serempak, sama-sama kaget.

“Kok kamu tahu aku di sini?” tanya Lucia saat Matthew duduk di sampingnya dan merangkul bahunya, sebuah sikap protektif nyata.

“Dikasih tahu,” jawabnya singkat. Matanya mengawasi tajam ke arah Vino, penuh emosi tertahan, layaknya singa jantan sedang menjaga teritorialnya.

Tak perlu bertanya lebih lanjut, Lucia langsung paham. Pasti David yang memberitahu Matthew tentang pertemuan ini disini.

Sebelumnya, David sudah berulang kali menyarankannya agar dirinya tidak menemui Vino sendirian. Tapi Lucia yang merasa tak akan ada bahaya, bersikeras datang sendiri tanpa memberitahu Matthew. Rupanya mungkin David tetap merasa perlu agar Matthew hadir, dan diam-diam mengabarinya tentang pertemuan ini.

“Kalian…” ucap Vino, pandangannya tertuju pada lengan Matthew yang terletak di bahu Lucia. Pikirannya melesat mengingat-ingat kejadian semalam yang samar, juga rekaman CCTV yang pernah dilihatnya di rumah David. Baru sekarang ia tersadar, saat itu Lucia memang memeluk Matthew. Bibirnya menyungging senyum getir, merasa geram sekaligus lucu dengan dirinya sendiri.

Berbeda dengan tatapan penuh sesal yang ia berikan kepada Lucia, Vino menatap Matthew dengan keyakinan penuh. “Gue cuma berhutang maaf sama Lucia. Kalau lu... kayaknya justru lu yang harus minta maaf sama gue.”

“Lu…” Matthew langsung tersulut emosi, namun tangan Lucia di bawah meja menepuk pahanya dengan tegas. “Kenapa?” tanyanya bingung.

Lucia membalas dengan kerutan dahi dan tatapan menyipit yang jelas sebuah teguran. Matthew pun menghela napas kasar dan memalingkan muka, tak sanggup lagi memandang wajah Vino yang ingin ia hantam lebih keras dari tinjunya semalam.

Lihat selengkapnya