Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #33

32. Dalam Genggaman

Ya ampun, ternyata sesulit ini. Baru tiga hari, tapi Matthew sudah merasa terus 'tertinggal'. Kini ia melihat sisi lain Lucia yang justru bersemangat ketika diberi tanggung jawab lebih.

Kemarin Lucia mulai resmi mengisi posisi interim dan probation untuk Head Support, menggantikan Vino. Semangatnya terpancar jelas dari sorot matanya sepanjang hari. Ia membuka hari dengan rapat bersama tim Sales Support, kemudian melanjutkan dengan rapat para supervisor dari divisi Tech Support dan Customer Support. Hari ini dia juga melakukan rapat dengan stakeholder dari divisi lain, termasuk Matthew.

Ia juga dengan cekatan mengambil alih pekerjaan yang tertunda karena Vino tak ada. Ia mengkategorikan backlog yang ada berdasarkan prioritas dan urgensi. Semua dilakukannya dengan penuh energi dan fokus.

Sayangnya, dalam kesibukan itu, Matthew sama sekali tidak mendapat perhatiannya.

Bagi Matthew—yang meski sama sibuknya—ia tetap selalu memastikan tidak ada orang di sekitarnya yang merasa diabaikan. Ia selalu berusaha membuat semua orang merasa nyaman dan diikutsertakan. Namun ironisnya, sebagai pacar, justru dialah yang merasa terus menerus ditinggalkan oleh Lucia karena kesibukan barunya. Satu-satunya yang selalu berada di sisi Lucia hanyalah Anggi, setia menemani seperti punggawa yang tak pernah meninggalkan tuannya. Dengan bodoh, Matthew bahkan iri dengan posisi Anggi itu.

Di balik penampilannya ia tetap kelihatan kharismatik berwibawa. Ia tetap kelihatan bersosialisasi dengan—hampir—semua orang yang ia temui, mengobrol berbagai topik dengan tenang dan nyaman baik masalah pekerjaan ataupun hal lainnya. Padahal di dalam, ia bagai anak ayam tersesat terus mencari keberadaan induknya. Matanya tak henti menyapu ruangan mencari Lucia, dan ketika akhirnya wanita itu masuk dalam jangkauan pandangnya, ia terus berharap untuk sekadar ditatap.

Namun Lucia sama sekali mengabaikannya.

Dan siang ini, secara sepihak dan mendadak Lucia bahkan membatalkan rencana makan siang mereka. Padahal itu satu-satunya momen mereka bisa bersama selain di rumah—dimana ada mata Lutva dan Adam yang mengawasi, dan mereka juga masih belum mengungkap hubungan mereka di sana.

Persoalannya ini ternyata bukan lagi tentang menyembunyikan hubungan mereka di kantor atau di rumah, melainkan menjelma menjadi kenyataan pahit yang harus diterima Matthew: di tempat kerja, bagi Lucia, mereka tidak lebih dari sekadar rekan kerja, di rumah ia tak lain hanya tetangga penyewa.

“Maaf, lama nunggunya?” Lucia membuka pintu mobil dan masuk.

Matthew tidak langsung menjawab. Wajahnya berkerut, bibirnya mengerucut dalam cemberut.

“Kenapa?” tanya Lucia sambil meletakkan tasnya di kursi belakang.

Matthew melirik dengan raut menggerutu. “Kamu inget perjanjian kita? Setiap hari harus ngapain?”

Lucia mengangguk. “Kasih tahu perasaan satu sama lain.”

Mereka memang memiliki kesepakatan itu. Awalnya Lucia memandangnya dengan sikap apatis—baginya, rutinitas semacam itu tidak perlu. Namun belakangan, ia mulai memahami maksud Matthew: pria ini menginginkan komunikasi perasaan yang jelas antara mereka, tanpa ruang untuk salah paham.

Dulu, saat berpacaran dengan David, pertanyaan yang ia terima hanya seputar, “Kamu suka nggak?” atau, “Kamu senang nggak?” atau, “Kamu nggak tersinggung, kan?”—pertanyaan-pertanyaan yang cukup dijawab dengan “ya” atau “tidak.”

Matthew berbeda. Ia tidak bertanya langsung, melainkan meminta mereka berdua menyampaikan perasaan masing-masing setiap hari. Bagi Lucia, ini lebih seperti menuangkan isi pikirannya: apa yang ia pikirkan hari ini, mengapa ia bertindak tertentu, dan hal-hal apa yang membuatnya tidak nyaman. Lalu, Matthew akan merespons dengan perasaannya sendiri, memberi apresiasi, dan menanggapi pemikiran Lucia. Perlahan, Lucia mulai memahami kaitan antara keputusannya dengan perasaan Matthew, dan sebaliknya. Dengan lembut dan sabar, Matthew membimbingnya.

Itulah salah satu hal yang Lucia kagumi dari Matthew.

“Jadi, aku mau mulai duluan. Aku mau kasih tahu perasaanku,” ujar Matthew. Biasanya, dialah yang mendengarkan Lucia terlebih dahulu, tapi hari ini dengan raut yang tak sesabar biasa, ia ingin menyuarakan isi hatinya lebih dulu.

“Aku kecewa karena kamu membatalkan janji makan siang kita tiba-tiba. Aku juga kesal karena seharian ini kamu sama sekali tidak menatapku. Bahkan, kamu menolak diajak bicara di pantry tadi." Matthew berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Kamu ada tanggapan?"

Lucia memproses ucapan Matthew sesaat. Tampaknya ada tiga poin yang perlu ditanggapi.

Pertama, "Maaf, aku tadi merasa tidak enak menolak ajakan tim tech support untuk makan siang bersama. Memang ada pembahasan yang belum tuntas dari rapat tadi."

Kedua, "Aku bukan nggak lihat kamu seharian. Aku lihat kok, pas kamu lagi nggak lihat ke aku. Aku tau tadi kamu sempet ngobrol sama Rafael tentang bola, kan?"

Lihat selengkapnya