“Lu jadian kan sama Matthew?” Lutva menyergap dengan suara rendah, menahan langkah Lucia yang hendak masuk kamar. Matanya tajam, sudah mengamati selama beberapa hari terakhir. Lucia berangkat lebih pagi dan pulang lebih larut, tapi tak ada secuil kelelahan di wajahnya. Justru, ada semacam cahaya samar yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Matthew juga sama—setiap kali pulang, senyumnya terlalu lebar untuk seseorang yang seharian bekerja. Lutva yang selalu berada di lantai bawah menjaga nenek Matthew sampai pria itu pulang, bisa menangkap jelas gelagat perbedaan itu.
Apalagi sebelumnya Matthew terang-terangan terus menunjukkan ketertarikannya ke Lucia yang bertahan acuh tak acuh, tapi beberapa hari terakhir, di rumah, interaksi mereka malah terasa terlalu tenang bahkan menuju ke senyap. Mencurigakan.
“Em,” sahut Lucia singkat. Tidak menyangkal.
“Lu…” Lutva melangkah mendekat, suaranya bergetar antara khawatir dan kesal. “Serius mau berhubungan sama cowok lebih muda gitu? Lu tau konsekuensinya, kan?”
Lucia menengok, tatapannya tenang bagai danau di pagi hari. “Em.”
Lutva membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Ia mengenal adiknya ini—sekali memutuskan, tak ada yang bisa mengubahnya. Di balik ketenangan itu, ia melihat keteguhan yang membuatnya merasa tak berdaya. Akhirnya, ia hanya menghela napas dan melepas lengan Lucia.
Tapi Lutva bukan orang yang mudah menyerah.
Ia langsung berjalan keluar rumah. Langkahnya tak tergesa dan penuh tekad saat ia menuruni tangga, menuju ke lantai satu.
Ketukan empat kali di pintu—cepat dan tegas.
Matthew membuka pintu, wajahnya masih menyiratkan senyum sumringah yang langsung pudar mendapati yang mengetuk pintunya adalah Lutva. “Kak Lutva?”
“Ada yang perlu gue omongin,” ucap Lutva, suaranya datar namun penuh wibawa. Ia tak menunggu undangan, melangkah langsung masuk ke dalam ruangan.
Matthew menutup pintu perlahan, dalam hati mulai menyiapkan diri. Ia tahu ini bukan sekadar kunjungan santai. Di hadapannya berdiri sang kakak—penjaga gerbang terakhir yang harus ia lalui untuk mendapatkan tempat disisi Lucia.
“Kalian udah pacaran?” tanya Lutva, tanpa basa-basi, langsung duduk di sofa.
Matthew ikut duduk, posisinya tegak, tangan terkatup di atas pangkuan. "Iya, Kak."
“Seberapa serius diri lu?” tuntut Lutva. Tubuhnya sedikit condong ke depan, menciptakan ruang yang terasa sempit dan penuh intimidasi.
Matthew menghela napas halus. "Aku nggak pernah main-main dalam hal kayak gini. Tapi sejauh mana hubungan ini berlanjut..." Ia menjatuhkan pandangannya sejenak, lalu menatap Lutva kembali. "Itu tergantung Lucia. Aku menghormati batasan dan kemauan dia."
Jawaban itu membuat Lutva terdiam sejenak. Ia mengamati Matthew dengan saksama—cara duduknya yang tenang namun penuh kesadaran, pandangan mata yang jujur namun tak mudah ditembus. Berbeda dengan Dito yang masih terlihat jelas kekanakan dan transparan, Matthew seperti memiliki lapisan yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang diperbolehkan masuk.
“Gue tahu ini mungkin terdengar prematur dan agak tak masuk akal. Tapi lu tahu umur Lucia—dia nggak semuda lu. Jadi… dari dalam diri lu sendiri, apa lu punya pikiran untuk menikah suatu hari nanti?” Lutva terdengar kesulitan merangkai pertanyaannya. “Maksud gue, gue bukan mau maksa lu nikahin dia,” tambahnya cepat-cepat. “Yang gue mau pastikan adalah, kalau lu cuma mau main-main—meski lu bilang lu serius—tolong jangan buang-buang waktu Lucia.”
Matthew tersenyum samar. Ia tak menyangka akan begitu cepat menemukan orang untuk diajak berdiskusi perihal situasi ini. Terlebih orang yang paling dekat dengan Lucia.
“Sejujurnya… kalau Lucia mau nikah besok, aku siap.” Ucapannya mungkin tak menyakinkan, tapi Matthew mengatakan yang sejujurnya. Baginya pernikahan bukan sesuatu yang perlu ditunda-tunda hanya karena usia. Selama kedua pihak mau dan siap. “Tapi sayangnya, justru dia yang bilang gak mau nikah,” sambungnya.
Ekspresi Lutva mendadak hampa. Apa yang baru saja ia dengar lebih mengejutkan daripada fakta adiknya berpacaran dengan pria enam tahun lebih muda. Ia memejamkan mata sejenak, menyandarkan tubuhnya ke kursi, sebelum menatap Matthew dengan sikap yang jauh lebih ramah.
“Lu tahu mantan Lucia yang dulu sekantor?” tanyanya kemudian.
Matthew mengangguk.
“Lu tahu mereka hampir menikah?”
Matthew kembali mengangguk tenang.
“Lu tahu alasan mereka batal?”
Kali ini Matthew tidak segera menjawab. Dalam kesenyapan singkat itu, Lutva menarik kesimpulan. “Rupanya lu tahu.” Sudut bibirnya melengkung dalam senyum getir, sebuah pengakuan tak langsung bahwa ia justru tak tahu hal tersebut.