Sekat Dalam Asa

Arisyifa Siregar
Chapter #36

35. Membalut Luka

Hujan baru saja reda, meninggalkan jejak basah di tanah pemakaman yang masih beraroma petrichor. Udara lembab menggantung berat, seakan ikut berduka. Matthew berdiri tegak bagai patung di antara nisan-nisan, serba hitam yang dikenakannya semakin menonjolkan pucatnya wajahnya. Tangannya tergenggam kaku di sisi tubuh, bunga yang seharusnya ditaburkan masih terkatup rapat dalam genggamannya.

Sejak pagi, ketika peti pelan-pelan diturunkan ke dalam liang lahat, hingga mentari tepat di atas kepala, Matthew tak bergerak dari tempatnya. Pelayat satu per satu telah meninggalkan area pemakaman, memberikan ruang baginya untuk berduka. Tapi ia tetap diam membatu, bagai kehilangan kemampuan untuk bersuara.

Di sampingnya, Lucia mengamati dengan hati remuk. Pria yang biasanya begitu hidup—dengan senyum menawan dan kelakar manja—kini berubah menjadi sosok asing. Matanya yang biasa bersinar penuh semangat, kini kosong bagai danau beku. Setiap garis di wajahnya mengukir kesedihan yang dalam, seolah jiwa yang penuh warna itu tiba-tiba memudar menjadi abu-abu.

Lucia mengulurkan tangan, membiarkan telapaknya menempel lembut di punggung Matthew. Di balik kain kemeja hitam yang basah oleh keringat, ia bisa merasakan getaran halus yang tak terbendung. "Yang kuat, Sayang," bisiknya dalam hati, karena tahu kata-kata takkan cukup untuk menyentuh luka sedalam ini.

Yang lebih mengkhawatirkannya adalah bagaimana Matthew menahan segala sesaknya di dalam. Tubuhnya yang tegap itu kini terlihat rapuh, seperti kaca yang retak namun masih mempertahankan bentuknya. Lucia lebih memilih melihatnya menjerit, meratap, atau bahkan marah—apapun asalkan tidak diam membeku seperti ini, seolah udara pun enggan masuk ke paru-parunya.

Matahari terus bergerak, menebar cahaya keemasan yang kontras dengan kesedihan yang menyelimuti mereka. Tapi Matthew tetap tak bergerak, terpaku pada gundukan tanah yang kini menjadi peristirahatan terakhir orang yang paling berarti dalam hidupnya. Dalam hening itu, Lucia hanya bisa berdiri bersamanya, menjadi penopang diam-diam untuk jiwa yang sedang hancur berkeping-keping.

Tiba-tiba seorang wanita dengan gaun hitam sederhana mendekat. "Matthew," panggilnya suara yang bergetar halus.

Matthew hanya melirik, namun tatapannya begitu tajam dan menusuk—sebuah ekspresi asing yang tak pernah Lucia saksikan sebelumnya.

Wanita ini memang telah menarik perhatian Lucia sejak tadi. Kedatangannya diikuti bisikan-bisikan pelayat lain, dan meski prosesi pemakaman telah usai, ia tetap bertahan seolah menunggu momen yang tepat untuk mendekat.

"Nenek sudah nggak ada, lebih baik kamu ikut Mama sekarang."

Kata "Mama" itu seperti pukulan bagi Lucia. Ini ibu Matthew? Matanya bergerak cepat mempertimbangkan apakah ini saat yang tepat untuk menyapa dan memperkenalkan diri.

"Mama gak perlu khawatir, aku gak akan ganggu keluarga Mama," jawab Matthew dengan nada datar yang menusuk.

Lucia mengatupkan bibirnya. Mengurungkan niatnya. Jelas ini bukan momen untuk basa-basi.

"Kamu ini memang keras kepala!" suara Dini, ibu Matthew, mulai meninggi. "Masih mau bertahan nunggu ayahmu itu?"

Matthew menoleh sepenuhnya, matanya memerah, rahangnya menegang. Lucia hampir tak percaya dengan transformasi emosional yang terjadi pada pria biasanya kalem ini. "Mama lebih baik pergi daripada bicara hal gak berguna di sini!"

"Kurang ajar! Gak tahu terima kasih!" Dini melangkah mendekat. "Mama menawarkan hidup yang layak, tapi kamu memilih susah! Semua itu Mama lakukan buat kalian, buat kamu, buat Max!"

Matthew mendesiskan tawa pahit. "Tapi Mama lupa, Papa dipenjara karena keserakahan Mama yang pengen hidup layak dengan standar mama itu!"

"Anak durhaka!" teriak Dini sambil mengangkat tangan.

Dengan refleks cepat, Lucia bergerak menghalangi, tangannya menahan pergelangan Dini yang hendak menampar. "Siapa kamu? Beraninya ikut campur!" amuk Dini.

Matthew hendak bersuara, tapi Lucia sudah melangkah maju, dagunya terangkat, matanya memancarkan keteguhan.

"Siapa saya nggak penting," suara Lucia rendah namun tegas. "Yang jelas, Tente gak pantas buat keributan disini."

Lihat selengkapnya