Sejak membukakan pintu, mempersilahkan masuk, menyuguhkan minuman, dan menemani duduk di sofa, seluruh gerak-gerik Hadin terasa sangat-sangat tidak ramah. Raut mukanya keruh, bibirnya mencibir, hidungnya berkerut tak suka.
Sahabatnya ini, sudah berbulan-bulan lamanya tak memberi kabar. Semenjak menjalin kasih dengan ‘si brondong’—demikian Hadin selalu menyebutnya—Lucia seolah melupakannya. Sejatinya, Hadin tak terlalu ambil pusing atau mendendam. Sebagai orang dewasa, kuantitas pertemuan dengan sahabat bukan lagi sebuah keharusan. Namun, ketika Lucia tiba-tiba saja muncul di depan pintu kosnya tanpa pemberitahuan, dengan wajah ditekuk penuh kekesalan, kejengkelan Hadin sontak menyala.
“Lu nyari gue cuma kalau lagi pusing doang ya!” lontarnya sarkastis.
Lucia tak menyahut, matanya masih menatap tajam penuh emosi ke arah langit-langit ruangan. Sejak kedatangannya, sepatah kata pun belum terucap. Ia hanya duduk sambil menyandarkan kepala di bahu sofa, menatap kesal seolah langit-langit itulah biang keladi dari segala masalah yang ingin ia hancurkan.
“Atap gue bisa jebol lu pelototin begitu, Cia!” tegur Hadin lagi.
Diiringi helaan napas lelah, Lucia menegakkan kepala, menoleh ke arah Hadin dengan enggan.
“Kenapa lu? Berantem sama pacar brondong lu?” Hadin menyindir.
Dengan dahi berkerut samar, Lucia mulai mengisahkan secara ringkas apa yang terjadi antara dirinya dan Matthew hari itu. Meskipun ia bukan tipe yang gemar berkeluh kesah, apalagi soal asmara, entah mengapa saat meninggalkan rumah tadi, dan berkeliling tak tentu arah demi menjernihkan pikiran, langkah kakinya malah tertuju pada Hadin. Sahabatnya ini, nampaknya satu-satunya orang yang mampu memberikan jawaban atas kebingungannya saat ini.
“Cia, lu tahu nggak, kalau lu tuh nyebelin banget?” Hadin menanggapi, begitu penjelasan singkat dari Lucia usai.
Jelas saja Lucia langsung mendelik, tak terima.
“Gini,” Hadin menumpukan kedua sikunya di masing-masing lutut. “Lu emang dari dulu gak punya empati dan dingin, tapi gue gak pernah lihat lu sebodoh ini.”
Mendengar ucapan itu, lirikan mata Lucia makin bengis.
“Kan lu udah dewasa, Cia, bahkan lebih dewasa dari Matthew. Seenggak-mengertinya lu soal perasaan orang lain, masa lu gak bisa mikir kalau omongan lu itu nyinggung Matthew? Emangnya lu benar-benar mau nikah sama dia? Bukannya lu emang cuma kasihan?” cecar Hadin, gemas.
Sejak tahu Lucia akhirnya berpacaran dengan Matthew, Hadin sudah menduga hubungan mereka tidak akan berjalan mulus. Pasalnya, Lucia yang ia kenal memang terlalu meremehkan perasaan orang lain hanya karena ia tak merasakannya. Sementara Matthew, tampak sebagai pribadi yang lebih sensitif dan perasa. Namun, ia tak menyangka Lucia kini lebih parah dari sebelumnya. Di saat Matthew terlihat lebih dewasa dari usianya, Lucia malah bersikap layaknya anak kecil yang tak memahami kondisi pasangannya.
“Ya bukan berarti gue gak paham, Din! Gue juga tahu. Cuma maksud gue, kalau ada solusi praktis dan emang dia suka, kenapa dia harus ribut-ribut masalah gue kasihanin dia segala? Kalau kasihan ‘kan memang wajar, namanya juga gue pacarnya dia. Gue lihat dia begitu melulu berhari-hari, ‘kan gue mau bantu.”
Hadin segera menutup separuh kelopak matanya, sambil menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan kesabaran yang luar biasa. Sebab, di hadapannya ini bukanlah wanita biasa, melainkan robot berkedok wanita. Sebuah sistem yang hanya bekerja untuk mencari solusi berdasarkan perhitungan pasti. Ia terlalu mencintai penyelesaian masalah, mencari jalan paling praktis dan efisien, mengesampingkan variabel-variabel yang tak dapat dihitung, seperti yang dinamakan—perasaan.
“Tapi, lu cinta gak sama dia?” Hadin memantapkan posisi duduknya.
“Ya... cinta... emang cinta harus gimana sih, bingung gue!” keluh Lucia, raut frustasi terukir jelas di dahinya.
“Kalau si Mamat neneknya gak meninggal, terus dia gak terpuruk begitu, lu tetap akan ngajak nikah?”