Perasaan hampa yang menusuk ini, inikah yang dinamakan sakit rindu?
Lucia tak pernah mengalaminya seumur hidup. Ia memang beberapa kali menjalin hubungan dengan pria, tetapi sebagian besar kisahnya sebelum bertemu Matthew, berakhir cukup mengenaskan—kata Hadin, dia sih biasa saja merasanya. 'Tak punya hati' dan 'Tidak Peka' adalah vonis para mantan kekasihnya. Jika diingat-ingat, hubungan-hubungannya tak pernah bertahan lebih dari enam bulan.
David, adalah pengecualian. Pria itu berfokus pada tujuan. Meski tak sedingin Lucia, David terbilang sama kakunya. Salah satu alasan hubungan mereka lumayan langgeng adalah karena kesamaan sifat: tak suka berbincang tanpa tujuan jelas, tak masalah jika jarang berkabar, dan fokus pada kegiatan masing-masing. Alhasil, hubungan yang mereka anggap normal itu, mungkin terlihat platonik di mata orang lain. Tapi karena itu justru tahan lama.
Maka, di usianya yang beberapa bulan lagi menginjak kepala tiga, Lucia baru merasakan yang namanya nyeri karena kerinduan. Ia tak bisa tidur nyenyak, selera makannya hilang, dan tak henti-hentinya mengecek ponsel. Biasanya, ia adalah pihak yang tak pernah memulai obrolan dan jarang membalas pesan, namun kini ia menunggu balasan Matthew bagai seorang pengemis. Di kantor, ia bekerja seperti orang kesetanan; dua hari ini ia bahkan berangkat pagi-pagi buta dan pulang saat malam sudah pekat. Semua dilakukannya demi mengalihkan pikiran, yang tanpa henti menantikan kepulangan Matthew.
Setelah menemui ayahnya, Matthew mengabarkan bahwa ia memiliki urusan mendesak di luar kota. Lucia mengira kekasihnya itu akan pulang malam ini atau paling lambat esok paginya. Namun, Matthew belum kembali. Ia bahkan memperpanjang cutinya, sebuah tindakan aneh namun nyata. Saking penasarannya, Lucia sampai harus memastikan perihal ketidakhadiran Matthew ini kepada David.
"Kayaknya, kali ini, kamu suka banget sama pacar kamu ya..." ledek David setelah Lucia memintanya merahasiakan pertanyaan ini dari siapapun.
Dan ya, Lucia tak menyangkalnya. Ia pun tak pernah merasa begini sebelumnya.
Saat ini, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Dan dia masih berguling-guling gelisah di atas kasur, memandangi ponselnya seolah benda mati itu adalah hal paling berharga di dunia—layaknya tabung oksigen yang membantunya bernafas saat ia tenggelam dalam lautan rindu.
Ia rindu Matthew.
Tiga hari sudah mereka tak bertemu. Tak ada kabar yang jelas karena katanya Matthew sedang teramat sibuk mengurus sesuatu. Ia benar-benar ingin melihat Matthew. Ingin bertemu.
Lucia tak pernah merasakan hal separah ini, ia pun tak mengerti mengapa ia jadi begini. Padahal, ia selalu mengandalkan akal sehat dalam setiap hubungan, tapi saat ini, akal itu sendiri seolah telah mengkhianatinya entah sejak kapan.
Sesaat kemudian, ketika jarum jam menunjuk pukul sebelas lewat sepuluh menit, ia mendengar derit pintu pagar besi bergerak di luar. Mata Lucia mendelik statis, tubuhnya melonjak dari kasur, langsung melesat keluar kamar. Dan saat ia berlari ke arah pintu utama, pintu rumah malah terbuka dengan sendirinya dari luar.
Itu Lutva. Entah baru pulang dari mana. Lucia juga mendapati Lutva terkejut dan heran melihatnya berdiri tegang saat pintu terbuka. Namun, kakaknya yang terlihat sedang dilanda banyak pikiran itu, nampak enggan memulai percakapan. Ia melewati Lucia begitu saja, masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sambil menutup pintu, Lucia terhenyak.
Apa sih sebenarnya yang ia lakukan sejak kemarin?
Padahal ia tahu betul bagaimana kondisi ibunya setelah kepergian sang ayah. Ia adalah orang yang paling tak mau menjalani hidup seperti itu. Namun, apa yang terjadi pada dirinya saat ini, jelas-jelas menjilat ludahnya sendiri. Tragis. Semua prinsip yang susah payah ia bangun, kini meninggalkannya.
Ia pun kembali ke dalam kamar dengan langkah kaki yang terasa berat. Mulai menata ulang pikirannya. Ia tak seharusnya bertingkah seperti ini.
"Sadar, Lucia," gumamnya, sambil merebahkan diri kembali ke kasur. Hawa malam sudah merayap dingin ke seluruh ruangan. Sambil menyadari bahwa besok adalah akhir pekan, dan Matthew kemungkinan masih belum akan kembali sampai lusa, Lucia memejamkan matanya erat-erat. "Sadar Lucia," ulangnya, seperti mantra yang menjadi pegangan terakhir agar dirinya tak terperosok jatuh ke dalam jurang yang bernama cinta buta.
Bukan hanya Lucia yang sedang mengafirmasi diri untuk tetap berpikir logis dan tak keluar dari jalur aman yang sudah susah payah dibangun untuk menjaga diri sendiri. Di dalam kamar sebelah, Lutva juga sama kacaunya.
Berhari-hari, dengan dalih mengecek keberadaan Matthew, Dito terus saja bolak-balik mendatangi rumahnya, meminta kesempatan untuk ngobrol.