Di minggu pagi yang lembab karena semalaman hujan mengguyur, Lucia keluar rumah dengan menenteng plastik berisi kipas angin yang sudah tercerai berai rakitannya. Kemarin, sepanjang hari, dia memfokuskan dirinya untuk membongkar beberapa peralatan elektronik di rumah, kipas angin di ruang tamu ini salah satunya. Bukan hanya karena penasaran apa yang ada di dalam benda-benda itu, dan bagaimana benda itu bisa bergerak, tapi karena hal itu berhasil mengalihkan pikirannya dari Matthew.
Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari dia bisa tak melihat terus menerus ke ponselnya. Benda itu ia tinggalkan tergeletak di kasur. Sementara dirinya merasa tenang karena menghabiskan berjam-jam untuk merakit ulang kipas angin yang ia bongkar, tapi ternyata, berbeda dengan speaker bluetooth dan teko listrik, kipas angin ini gagal ia rakit seperti sedia kala. Jadi jelas ia kena semprot Lutva, diminta untuk membawanya ke reparasi elektronik yang ada di RT sebelah.
Namun siapa sangka, begitu membuka pintu dan menuruni tangga, ia melihat sosok yang ia tak kira akan bisa dia lihat secepat ini—meskipun jelas ia sudah menunggu cukup lama. Matthew berdiri di ujung tangga, tersenyum ke arahnya dengan kedua tangan di belakang badan. Binar matanya cerah, padahal kantung matanya dari kejauhan saja jelas gelapnya.
Melihat senyum itu, jantung Lucia yang seakan membeku beberapa hari terakhir, mendadak berdegup lebih kencang. Bukan karena rindu yang membuncah, tapi karena amarah, ia merasa sangat teramat marah. Melihat wajah Matthew yang tersenyum padanya dengan begitu manis itu, setelah dirinya menunggu berhari-hari untuk bertemu, ia merasa marah.
Sebelumnya ia sudah berpikir banyak. Ia mencintai dirinya sendiri, ia menyukai dirinya apa adanya, ia suka dengan dirinya yang tak membutuhkan orang lain apalagi pria. Dan ia tak ingin hal itu berubah. Fakta bahwa dirinya merindukan Matthew dan kehilangan fokus selama beberapa hari, mengganggunya. Ia tak suka mengalami hal-hal seperti ini.
Nalurinya untuk bertahan di hidupnya yang tenang tanpa dinamika berlebihan, membuatnya memutuskan untuk menjaga jarak dulu dengan Matthew. Ia masih ingin berusaha untuk tetap pada komitmennya—tak menyerahkan diri pada yang namanya cinta.
Dia sudah memutuskan bagaimana ia akan bersikap kalau bertemu Matthew di hari Senin besok. Ia akan berangkat kerja duluan, dan mengabaikannya di kantor dengan alasan kesibukan. Namun tak disangka-sangka, Matthew malah datang lebih cepat. Pria itu berdiri di ujung sana, dengan senyum sumringah penuh kasih. Matanya penuh kelembutan, kedua tangannya tegap di samping badan, seolah siap memeluk kalau Lucia sampai di hadapannya.
Dan Lucia benci itu, ia benci dirinya yang lagi-lagi goyah karena wajah manis itu.
Jadi dia memutuskan untuk mempertegas langkahnya dengan hentakan yang jelas menunjukkan ketidaknyamanan dan tergesa ingin berlalu.
“Udah pulang?” sapa Lucia dingin, sambil melewati Matthew.
Mendapati sapaan dingin itu, Matthew jelas mengerjap bingung, matanya berkedip-kedip beberapa kali sebelum kakinya langsung bergerak menyusul Lucia yang sudah mendekat ke arah pagar.
“Kamu mau kemana?” panggilnya. Lucia tak menyahut, pun berhenti. Terlihat jelas sedang mengabaikan. “Sayang!” susul Matthew, buru-buru meraih tangan Lucia dan menahannya. “Kamu marah?”
Dari lantai dua, Lutva yang sedang bergerak merapatkan pintu rumah karena Lucia tak menutupnya saat keluar tadi, mendengar kericuhan kecil itu, dan mengurungkan niat. Ia membuka pintu di hadapannya lagi, bergerak keluar dan berdiri di teras. Menonton yang terjadi di bawah sana.
“Ohhh, udah pulang si Mamat,” gumamnya, bibirnya menyunggingkan senyum geli.
Di bawah, Matthew menundukkan kepala, berusaha menatap mata Lucia, namun kekasihnya itu langsung membuang muka. Terlihat jelas menghindarinya.
“Sayang, kamu marah?” tanyanya lagi. “Maaf, aku kemarin sibuk soalnya–”
“Nggak!” potong Lucia, “Aku nggak marah aku cuma ada urusan.” Ia mengeratkan pegangannya pada plastik di tangannya.
Mata Matthew langsung tertuju pada plastik besar yang Lucia bawa itu. Benda di dalamnya terlihat cukup besar dan berat, dari bentuknya Matthew tahu itu adalah kipas angin. Kenapa Lucia bawa-bawa kipas angin rusak pagi begini? Wajahnya seketika menunjukkan kekhawatiran. “Kamu mau kemana? Aku anterin, sini,” katanya, berniat menyambut beban itu. Ia lantas mengulurkan tangan hendak meraih kantong plastik dari genggaman Lucia, namun Lucia dengan sigap mengeratkan pegangannya lagi dan mendekapnya ke tubuh, seperti takut benda itu dicuri.
“Nggak usah!” tolaknya dingin.
Kali ini, Matthew tak ada keraguan lagi, Lucia jelas sedang marah. “Gak apa-apa, aku yang bawa,” Bujuknya, berusaha menyambar plastik itu lagi, namun Lucia menghentak keras pegangannya.
“Nggak usah!” ulang Lucia, suaranya mulai meninggi.
“Sayang, kamu marah sama aku? Sini, sini aku pegangin dulu kipasnya, kita ngobrol dulu,” Bujuknya.
“Nggak usah!” tolak Lucia lagi. Makin menjadi, matanya melirik penuh emosi.
“Nggak apa-apa, itu berat, sini aku pegang,” Matthew bersikeras, menyambar sekali lagi, tangannya mencoba menginterupsi beban di tangan Lucia itu.