Satu hal yang diam-diam bersemayam dalam benak Matthew sejak pertama kali menjalin hubungan dengan Lucia, yang tak pernah ia bagi dengan siapapun, yang ia gumuli dalam kebingungan sekaligus kenikmatan adalah, bagaimana cara dirinya melamar wanita ini. Ia tahu dirinya naif, tapi sejak awal menyatakan cinta, dia yang tahu berapa usia Lucia, memang sudah memikirkan ke arah sana.
Diam-diam ponselnya dipenuhi riwayat penelusuran artikel tentang ide-ide lamaran romantis. Makin dicari, makin banyak referensi, makin dia bingung sendiri.
Dan sekarang, ketika Lucia tengah berbaring nyaman di sofa, berbantal pahanya, tangan kanan Matthew sibuk membelai rambut dan puncak kepala Lucia. Sementara, tangan kirinya menggenggam tangan kiri Lucia. Diam-diam, ibu jari, telunjuk, dan jari tengahnya bergerak-gerak kecil di jari manis Lucia, seperti gerakan memilin, bukan tanpa arti, ia sedang mengira-ngira ukuran yang pas untuk sebuah cincin di jari itu. Tapi usahanya dengan cepat terbongkar karena Lucia secara blak-blakan bertanya.
“Kamu lagi ngukur jari aku ya?”
Awalnya Lucia ragu, selama beberapa saat gerakan tangan Matthew yang aneh itu berusaha ia abaikan, namun begitu Matthew menanggapi pertanyaannya dengan tertawa renyah, kepalanya langsung bersandar di sandaran sofa, matanya yang tampak basah oleh tawa itu langsung menghindar, menatap ke langit-langit rumah, mencari celah untuk menyembunyikan rasa malunya. Lucia jadi yakin dugaannya tepat.
Ia pun langsung mengangkat kepalanya dari paha Matthew. Kakinya bersila, duduk menghadap langsung ke arah pria itu. Mendapati wajah Matthew merona merah hingga ke telinga, mata Lucia menyipit penuh selidik. Pria ini sedang salah tingkah, dan tawanya, tak lebih dari sebuah pengalihan karena ia tak mampu berkata-kata saking malunya.
“Kamu mau lamar aku?” tanya Lucia lagi, terang-terangan, dengan ekspresi wajahnya yang datar. Jelas tak mempedulikan rasa gugup dan malu yang menggelayuti Matthew.
Pandangan Matthew beralih dari langit-langit menuju wajah Lucia. Ia mengangkat kepalanya dari bahu sofa. Tangannya meraih dagu Lucia, mendekatkan wajah mereka. Lalu mencium bibir Lucia. Cukup singkat, namun tidak terlalu cepat, karena Lucia masih sempat membalas dengan mengulum bibir bawah Matthew sebelum pria itu melepaskan tautan bibir mereka.
“Kenapa, ih!” tuntut Lucia, tahu Matthew sengaja menghindari jawaban dengan mengalihkannya pada ciuman barusan.
“Kamu emang mau nikah sama aku?” tanya Matthew kemudian.
Ia tak menyangka akhirnya malah melamar dengan cara yang paling tidak terencana seperti ini. Sia-sia sudah semua usahanya menelusuri cara melamar yang paling romantis. Ia malah mengajukan pertanyaan sakral ini dalam keadaan dirinya dan Lucia yang berantakan setelah ciuman panas mereka, tanpa suasana romantis, bahkan tanpa cincin. Nampaknya memiliki pasangan seperti Lucia memang sudah jelas harus merelakan hal-hal romantis.
Begitu ditanya langsung, Lucia malah terdiam, lagi-lagi benaknya diliputi keraguan. Bukan ragu karena ia tak ingin menghabiskan hidup bersama Matthew—ia sudah menyerah menimbang-nimbang hal itu saat mencium Matthew tadi. Yang ia ragukan sekarang adalah, atas dasar apa mereka harus buru-buru menikah. Ya, ia memang sempat mencetuskan ide itu beberapa hari lalu, hanya memikirkan solusi instan untuk masalah Matthew. Namun, jelas kemarin Matthew juga tidak mengiyakan. Ia justru mempermasalahkan tentang perasaan, yang sampai sekarang pun tetap belum bisa Lucia jabarkan dengan matang.
Jadi, atas alasan apa Matthew tiba-tiba membahas pernikahan lagi? Kalau sekadar membahas, mungkin Lucia tak akan menganggapnya seserius ini. Tetapi tadi, pria ini jelas-jelas sedang mengukur jari manisnya. Itu tandanya dia sedang menyiapkan cincin. Dan itu berarti, rencananya serius.
Kenapa? Padahal Matthew masih muda. Padahal hubungan mereka baru berjalan beberapa bulan.
“Kenapa?” akhirnya Lucia bertanya, suaranya sedikit tercekat. “Kenapa mau nikah?”
“Apa yang kamu pikirin sampai nanya begitu?” Matthew membalikkan pertanyaan, sebelum menjawab. Penting baginya untuk tahu apa yang berkecamuk di dalam benak Lucia.
“Ya, kamu masih muda, kita juga baru sebentar pacaran, beberapa hari lalu kamu juga nggak mau waktu aku ajak.”